Jumat, 20 Juni 2014

Satu atau Dua Putaran

Satu atau Dua Putaran

Slamet Sudjono ;   Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Untag Semarang, Anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008
SUARA MERDEKA,  19 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
DI tengah tensi politik yang makin tinggi menjelang coblosan tanggal 9 Juli 2014, kepastian hukum putaran pilpres masih diperdebatkan. Ada dua ayat dalam Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur ketentuan penetapan pasangan capres terpilih. Pertama; Ayat (3) yang menyatakan pasangan capres yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di tiap provinsi tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi, dilantik menjadi presiden-wakil presiden.

Mengamati model itu, Ayat (3) mengamanatkan suara terbanyak mutlak bersyarat. Mutlak karena mensyaratkan suara lebih dari 50%, dan bersyarat karena mensyaratkan perolehan suara sedikitnya 20% di tiap provinsi tersebar di lebih setengah provinsi di Indonesia.

Kedua; Ayat (4) yang menyatakan bahwa dalam hal tidak ada pasangan capres terpilih maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden.

Mencermati model pemungutan suara tersebut, Ayat (4) mengamanatkan model suara terbanyak biasa karena cukup memperoleh suara lebih banyak dari yang lain. Ketentuan Ayat (4) ini dimaksudkan sebagai penyempurnaan guna mengantisipasi kemungkinan semisal syarat suara terbanyak mutlak bersyarat pada Ayat (3) tidak terpenuhi.

Sejatinya, Pasal 6A UUD 1945 tidak mengatur putaran pilpres satu atau dua putaran. Namun dalam praktik pilpres ataupun pilkada selama ini, konstruksi semacam ini diaplikasikan dalam undang-undang dengan dua putaran. Misalnya pada pilkada putaran pertama harus memperoleh suara 50% lebih, dan bila tidak terpenuhi maka baru dipakai syarat minimal 30%, terkecuali khusus untuk Pilgub DKI Jakarta yang mensyaratkan harus lebih dari 50%.

Penguatan Legitimasi

Ketentuan syarat suara terbanyak mutlak (lebih dari 50%) dimaksudkan untuk penguatan legitimasi dukungan rakyat kepada calon terpilih. Mengenai ditambahkannya syarat persebaran di wilayah propvinsi, hal itu supaya legitimasi pasangan capres menggambarkan dukungan merata dari wilayah RI.

Selain itu, norma pasal UUD 1945 (perubahan) pascaamendemen, berbeda dari UUD 1945 (murni) sebelum amandemen. Norma pasal UUD 1945 sebelum amandemen disusun menggunakan klasifikasi konstitusi norm vague (norma yang samar/ambigu) sehingga memberi kebebasan dalam penjabaran, penambahan, dan penafsirannya (multitafsir).

Sebaliknya, norma pasal UUD 1945 pascaamendemen memakai klasifikasi konstitusi norm concrete (Maarseveeen, 1978). Dengan demikian, sebenarnya Pasal 6A Ayat (3) dan (4) UUD 1945 yang mengatur ketentuan penetapan pasangan capres terpilih sangat konkret mengamanatkan pada pembentuk undang-undang.

Pertama; penetapan pasangan capres terpilih mendasarkan perolehan suara terbanyak mutlak bersyarat. Kedua; andai suara terbanyak mutlak bersyarat tidak terpenuhi maka cukup mendasarkan pada suara terbanyak biasa, yang selama ini dilaksanakan dengan dua putaran.

Tapi ada dua persoalan yang muncul. Pertama; UU Nomor 42 Tahun 2008 hanya konkret menderivasi norma Pasal 6AAyat (3) UUD sebagai syarat suara terbanyak mutlak bersyarat ke dalam Pasal 159 Ayat (1) yang menyatakan pasangan calon terpilih adalah pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pilpres dengan sedikitnya 20% suara di tiap provinsi tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi , dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Padahal norma Pasal 6AAyat (4) UUD sebagai syarat suara terbanyak biasa belum dirumuskan secara konkret terutama pada frasa penetapan capres terpilih yang menyatakan,’’...maka pasangan capres yang memperoleh suara lebih banyak dari yang lain ditetapkan sebagai pasangan capres terpilih (dilantik). Kedua; UU Nomor 42 Tahun 2008 belum merumuskan pilpres yang diikuti ’’hanya’’ dua pasang calon. Selama ini, potret yang dibangun selalu menggunakan logika bila treshold-nya 25% berarti capres-cawapres bisa 3 atau 4 pasang. Dua hal inilah memicu ketidakpastian/kekosongan hukum.

Secara juridis normatif ada beberapa solusi yang sudah ditawarkan publik. Pertama; dengan revisi terbatas melalui perppu untuk menyempurnakan Pasal 159 UU Nomor 42 Tahun 2008. Logika cara ini benar, cuma permasalahannya perppu itu harus mendapatkan persetujuan lebih lanjut dari DPR dalam persidangan berikutnya. Menjadi rawan andai parlemen menolak. Sebaliknya, bila parlemen menerima pun, masih teradang kemungkinan publik menggugat melalui judicial revive padahal masalah tersebut perlu segera teratasi.

Kedua; melalui delegasi perundangan yang dirancang KPU yang akan mengajukan dua alternatif. Opsi pertama; mengadopsi ketentuan Pasal 6AAyat (3) UUD 1945 juncto Pasal 159 Ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 melalui model suara terbanyak bersyarat pada putaran pertama. Opsi kedua; mengadopsi ketentuan Pasal 6A Ayat (4) secara utuh melalui model suara terbanyak biasa dalam putaran kedua andai suara terbanyak mutlak bersyarat pada putaran pertama tidak terpenuhi sebagaimana lazim diterapkan dalam penetapan calon terpilih di pilpres ataupun pilkada selama ini. Konstruksi ini lebih aman karena tidak bertentangan dengan konstitusi, terlebih lagi selama ini sudah menjadi konvensi.

Opsi ketiga; melalui judicial revive, sebagaimana dilakukan Forum Pengacara Konstitusi dan Perludem. Judicial review menjadi solusi yang lebih cepat, tepat, dan final dalam menentukan kepastian hukum karena MK merupakan penafsir final konstitusi. Namun hampir dipastikan terjadi dissenting opinionyang ketat dalam MK mengingat kasusnya bukan menguji pertentangan antara Pasal 159 UU Nomor 42 Tahun 2008 dan Pasal 6AUUD.

Kasus itu lebih kepada penafsiran dan penambahkan pasal yang belum dijabarkan dengan konkret ,yaitu ketentuan Pasal 6A Ayat (4) terutama berkait frasa kalimat, ’’ ...dan pasangan yang memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden-wakil presiden.’’

Jadi, esensinya lebih pada persoalan bagaimana seandainya syarat suara terbanyak mutlak bersyarat tidak dapat dipenuhi dua pasangan (Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK) maka cukup menggunakan suara terbanyak biasa, sebagaimana konvensi selama ini yang menggunakan dua putaran, kendati MK bisa saja menafsirkan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar