Pertarungan
Sengit
M
Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
SEORANG
tetangga mengurung diri seharian di rumah. Dia tidak berani membuka pintu
gara-gara tidak menggunakan hak pilihnya. Dia takut didatangi dan
diinterogasi tentara. Itu peristiwa di suatu pagi pada hari pencoblosan
Pemilu 1977. Pada zaman Orde Baru, jangankan tidak memilih, pilihan berbeda
saja, dianggap subversif. Sebab, Orde Baru membuat semuanya ”menguning” alias
wajib memilih Golkar, salah satu mesin politik pemerintah. Berbeda warna
politik, hijau (PPP) atau merah (PDI), berarti siap untuk diinteli dan
dikuntit, apabila perlu, dipanggil aparat.
Padahal,
setiap momen pemilu, penguasa Orde Baru selalu mengampanyekan slogan ”luber”.
Bukan luber berarti tumpah ruah, melainkan ”langsung-umum-bebas-rahasia”.
Namun, jangan tanya soal realitasnya. Karena ”lain di bibir, lain di
perbuatan”. Pada zaman Orde Baru, gaya politiknya sentralistik, otoriter, dan
penuh mobilisasi. Warga negara menjadi terlarang ketika tidak memilih partai
pemerintah. Jadi, luber itu hanya slogan politik penguasa.
Pemilu
2014 ketika kita semua (rakyat, pemerintah, elite politik) merasa dewasa
dalam berdemokrasi, sepertinya gaya Orde Baru masih terwariskan. Ketika
demokrasi lagi mekar-mekarnya, cara-cara tidak demokratis pun masih dipilih.
Tiba-tiba ada babinsa (bintara pembina desa) main data saja, misalnya di
rumah-rumah warga di Cideng, Jakarta Pusat. Lucu saja mendengar alasan
tentara bahwa pendataan itu untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan
preferensi suara terhadap partai politik atau kandidat tertentu. Memang lucu
jika pendataan itu demi mengamankan dan mencegah potensi terjadinya bentrokan
antar-pendukung.
Atmosfer
pemilu kali ini memang terasa beda. Aroma persaingan terasa begitu sengit.
Barangkali karena pasangan calon presiden-calon wakil presiden cuma dua,
Prabowo-Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Kalau dua calon,
posisinya berhadap-hadapan, satu lawan satu. Inilah zero sum game, hanya ada
”kalah dan menang”. Beda rasanya kalau calonnya lebih dari dua pasang.
Polarisasi persaingan akan lebih berpencar dan terdistribusi ke banyak kutub,
tidak berada pada posisi berlawanan.
Misalnya,
pada Pemilu 2009, ada tiga pasang capres-cawapres, yakni Megawati
Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, dan Jusuf
Kalla-Wiranto. Pemilu 2004 lebih banyak lagi, ada lima pasang calon. Mereka
adalah Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, Hamzah Haz-Agum Gumelar,
Megawati-Hasyim Muzadi, Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, dan
Wiranto-Salahuddin Wahid. Kalau pasangan Abdurrahman Wahid-Marwah Daud
Ibrahim lolos, bisa bertambah banyak lagi.
Dua
pemilu lalu, rasanya tak terasa sesengit sekarang. Kini, betapa sengit
kampanye negatif, saling tuding, saling menjatuhkan, saling tangkis. Ada yang
sangat proaktif, dan ada yang defensif. Bahkan, bisa jadi suasana Pemilu 2014
ini mirip tahun 1995 ketika ruang politik sampai memasuki ranah pribadi. Ada
orang yang benar-benar mendukung dan membela mati-matian calonnya.
Sampai-sampai di media sosial dan ruang publik begitu banyak ”perang”
menjelang pemilu ini. ”Memangnya situ
siapa sih, apa saudaranya capres A/B? Kok bela banget mati-matian?”
Lingkungan
tentara lebih terasa persaingan dan kubu-kubuanya. Terutama jenderal-jenderal
purnawirawan. ”Bintang-bintang” itu
jelas-jelas memperlihatkan dukung-mendukung, baik ke pasangan Prabowo-Hatta
atau Joko Widodo-Jusuf Kalla. TNI pun dibikin rikuh. Padahal, TNI sudah jelas-jelas
bertobat dari kekuasaan politik. Pasca reformasi, TNI sudah ”kembali ke barak” dan berani menolak
dari daya tarik politik. Apakah sekarang ini mulai rindu kuasa kembali? Kita
berharap TNI tetap menjadi alat negara dan mengabdi kepada rakyat, bukan ke
kepentingan politik. Itulah harga mati tentara yang lahir dari rahim rakyat.
Kalau
bernostalgia, memang TNI (ABRI kala itu) mengalami masa-masa indah. Sejak
konsep dwifungsi yang merupakan kelanjutan konsep ”Jalan Tengah” Jenderal AH Nasution pada akhir 1950-an, TNI punya
peran strategis. Mereka tidak hanya mengurusi persoalan pertahanan, tetapi
juga dapat tempat istimewa untuk menentukan keputusan-keputusan politik
pemerintahan. Jangan heran jika TNI mendapat jatah kursi kekuasaan. Pada masa
lalu, kursi bupati, wali kota, atau gubernur ada alokasi untuk TNI. TNI
memang begitu lama menikmati privilese pada masa Orde Baru.
Akan
tetapi, tanggal 9 Juli nanti, kita memilih presiden dan wakil presiden yang
baik, jujur, bersih, berintegritas. Bukan memilih idola, teman, saudara, atau
kelompok. Siapa pun juga, dialah yang terbaik untuk dipilih meskipun bukan
dari kelompok sendiri. Presiden dan wakil presiden terpilih nanti harus bisa
membawa bangsanya sejahtera dan makmur. Ada 240 juta lebih rakyat yang berharap
dan tengah berupaya mendapat masa depan yang lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar