Kedaulatan
dalam Pendidikan
Anita
Lie ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Widya Mandala, Surabaya
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
RUMUSAN
visi misi kedua calon presiden tak bisa menghindari penggunaan pernyataan
yang jargonistik. Dalam komunikasi politik, memang jargon dibutuhkan untuk
menarik hati calon pemilih dan menggalang dukungan. Mencermati agenda dan
program nyata dalam bidang pendidikan kedua capres, mengarahkan kita untuk
berupaya menggali filosofi pendidikan yang mungkin terangkum dalam jargon
yang sudah disampaikan kepada masyarakat dan poin-poin yang masih butuh
klarifikasi lebih lanjut.
Jargon
dalam visi misi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ”Membangun Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Adil, dan Makmur, serta
Bermartabat”. Untuk bidang pendidikan, diterjemahkan dalam agenda IV:
meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melaksanakan reformasi
pendidikan.
Jargon
dalam visi misi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla, ”Jalan Perubahan untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan
Berkepribadian”. Pembangunan bidang pendidikan secara spesifik diwadahi
dalam tiga dari sembilan agenda prioritas. Pertama (agenda ke-5), peningkatan
kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan
dalam program Indonesia Pintar. Kedua (agenda ke-8), penataan kembali
kurikulum pendidikan nasional untuk revolusi karakter bangsa akan
mengedepankan pendidikan kewarganegaraan dan mengevaluasi model penyeragaman
dalam sistem pendidikan nasional termasuk ujian akhir nasional. Ketiga
(agenda ke-9), mengajukan pendidikan kebinekaan.
”Mengejar ketertinggalan”
Kedua
capres mengemukakan semangat kedaulatan. Menggali dari amanat Pancasila,
Jokowi- JK memaknai kedaulatan sebagai hak setiap warga negara untuk
menentukan nasibnya sendiri dan apa yang terbaik bagi bangsanya dalam
kesadaran akan adanya kesalingtergantungan dalam kehidupan bermasyarakat dan
antarbangsa.
Tentu
saja visi misi serta agenda kedua capres masih perlu dijabarkan lebih lanjut,
terutama dalam kaitan dengan kebijakan dan praksis pendidikan. Satu isu
kedaulatan dalam sistem pendidikan nasional adalah kemandirian sikap dalam
menentukan tujuan dan target kebijakan pendidikan nasional secara spesifik.
Partisipasi
Indonesia dalam berbagai tes internasional pada TIMMS (Matematika dan IPA) sejak 2009, PISA (Matematika, Sains, dan Membaca) pada 2000, dan PIRLS (khusus
kemampuan membaca) pada 2006, menunjukkan pencapaian yang masih masuk dalam
kategori rendah.
Jebloknya
posisi Indonesia selama beberapa kali partisipasi tampaknya belum mampu
mendorong otoritas sistem pendidikan nasional untuk mendongkrak mutu
pendidikan dalam dua masa pemerintahan.
Bahkan, kegagalan dalam tes-tes internasional tampaknya makin membuat
Indonesia terjebak dalam sindrom ”mengejar
ketertinggalan”. Ekses dari sindrom ini, di antaranya, manipulasi dalam
pelaksanaan ujian nasional dan kebanggaan semu terhadap prestasi beberapa
individu cemerlang di pentas internasional.
Pertanyaan
strategis yang harus didiskusikan dan dijawab adalah apakah Indonesia akan
terus mengikuti tes-tes internasional tersebut sambil terus berusaha
merangkak pada tangga pencapaian? Ataukah sebaiknya Indonesia merumuskan dan
memantapkan dahulu visi, misi, dan program kerja, serta menentukan sendiri
target-target pencapaian pendidikan yang lebih relevan dengan kondisi riil?
Titik tengah dari kedua posisi ini adalah partisipasi secara terseleksi dan
bertahap seperti yang dilakukan Tiongkok yang diwakili oleh Shanghai dan
Hongkong.
Berbagai
tes internasional punya aspek positif yang bisa bermanfaat bagi peningkatan
mutu pendidikan nasional. Soal-soal dalam tes-tes itu didesain untuk
memberikan gambaran pencapaian tingkat berpikir dan menyelesaikan masalah.
Sayangnya, keikutsertaan Indonesia selama lebih dari satu dekade ternyata
belum mampu menggulirkan reformasi pendidikan secara signifikan. Bahkan,
tampak ada ketidakkonsistenan dalam acuan pencapaian dan keterputusan dalam
kebijakan pendidikan.
Jika
Indonesia mengambil posisi pertama (terus berpartisipasi), otoritas sistem
pendidikan nasional perlu merumuskan desain dan strategi reformasi sistem
pendidikan serta jadi akuntabel atas pencapaiannya. Jika memutuskan
menerjemahkan kedaulatan sebagai menentukan sendiri apa yang terbaik bagi
anak- anak usia sekolah tanpa benchmark internasional, otoritas sistem
pendidikan nasional perlu punya alternatif pengukuran target pencapaian
pendidikan.
Kuantitas ke kualitas
Besarnya
jumlah penduduk usia sekolah, kompleksitas situasi geografis, dan keberagaman
budaya di Indonesia memang tantangan luar biasa bagi pengelola otoritas
sistem pendidikan nasional. Jumlah besar anak usia sekolah di Indonesia dan
pengukuran indeks pembangunan telah membuat perhatian terfokus pada indikator
kuantitas, seperti angka partisipasi sekolah, rerata lama sekolah, dan
harapan lama sekolah.
Tantangan
yang harus diselesaikan oleh pemerintahan mendatang adalah mengubah kuantitas
menjadi kualitas. Ketika anggaran 20 persen dari APBN/APBD untuk pendidikan
sudah dipenuhi dan angka partisipasi sekolah sudah dilaporkan meningkat dari
tahun ke tahun, kualitas peserta didik di Indonesia masih tergolong sangat
rendah dalam berbagai perbandingan ujian internasional. Kurikulum yang
berorientasi pada peningkatan kualitas seharusnya memperhatikan keseluruhan
proses, mulai dari hulu (cita-cita dan tujuan pendidikan), peta jalan
(rencana strategis dan program aksi), kesiapan para pemangku kepentingan dan
sarana prasarana, hingga hilir (profil lulusan sekolah yang diharapkan).
Agenda
Prabowo-Hatta untuk merekrut 800.000 guru dan memberikan tunjangan profesi Rp
4 juta per bulan serta dana fasilitas Rp 150 juta per sekolah terkesan sangat
populis dan kurang berlandaskan data. Janji populis ini akan mengalami
kendala dalam implementasi.
Menghentikan
model-model penyeragaman yang dikemukakan dalam visi misi Jokowi-JK, termasuk
kebijakan UN, bisa menjadi terobosan dalam strategi peningkatan mutu
pendidikan. Indonesia memang terlalu besar dan kompleks untuk dikelola dengan
model yang sama. Pekerjaan dan pencapaian yang dibebankan kepada otoritas
sistem pendidikan nasional memang terlalu berat dan rumit untuk diatasi dalam
model penyeragaman, apalagi tanpa koordinasi efektif dengan kementerian yang
lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar