MENYAMBUT
TAHUN KEDAULATAN RAKYAT
Pada
Mulanya Pendidikan
Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
|
KOMPAS,
10 Juni 2014
REFERENSI
yang selalu kita dengar mengenai kedaulatan rakyat adalah kedaulatan dalam
terjemahan versi Bung Karno yang sekarang dihidupkan kembali, yakni bagaimana
suatu bangsa bisa berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan
berkepribadian dalam kebudayaan. Namun,
sampai sekarang hal itu belum pernah dikerjakan secara lebih operasional.
Kita hanya menghapalnya sebagai slogan, mengulanginya sebagai slogan, tanpa
pengertian lebih mendalam mengenai apa yang kita slogankan.
Misalnya,
apakah berdikari secara ekonomi itu berarti kita harus mandiri, itu belum pernah
dibahas. Berdikari juga mustahil pada zaman yang serba global.
Demikian
juga berkepribadian dalam kebudayaan, apakah berarti kita harus bersifat
takut atau xenofobis terhadap kebudayaan asing? Juga belum pernah kita bahas
apa sebetulnya berkepribadian dalam hubungan dengan kebudayaan asing.
Berdaulat
di dalam politik ada dua aspek, berdaulat secara domestik ke dalam dan
berdaulat berhadapan dengan masyarakat internasional. Bagaimana kedaulatan
dalam dua wajah tersebut belum pernah kita rumuskan.
Rumusan
Bung Karno ini bagus. Hanya saja, seperti biasa, kita malas berpikir. Tiap
hari kita hanya mengulang kata-kata itu, tetapi tidak bertambah pengertian
kita tentang apa yang kita ucapkan karena tidak pernah dielaborasi, tidak
pernah dikerjakan, dan tidak pernah dijabarkan. Inilah yang membuat bangsa
Indonesia sangat mandek dalam banyak hal. Tugas kita pada masa ini ialah
merumuskan ketiga hal itu menjadi operasional. Kalau tidak, kita tidak lebih
maju dari 55 tahun lalu.
Rumusan KH Dewantara
Sebetulnya
di antara para pemimpin kita sudah ada yang pemikirannya cukup mendalam
tentang arti kedaulatan. Ki Hajar Dewantara merumuskannya juga dalam tiga
aspek. Suatu bangsa dikatakan berdaulat pertama-tama kalau dia independen,
tidak berada di bawah penjajahan. Suatu bangsa berdaulat kalau dia memiliki
self determination, bisa menentukan dirinya sendiri, serta tidak gampang
dibodoh-bodohi. Suatu bangsa berdaulat kalau dia mempunyai tingkatan tertentu
dalam self reliance, tidak hidup dari ketergantungan.
Pertama
menolak penjajahan, kedua menolak pembodohan, dan ketiga menolak
ketergantungan. Inilah pemikiran yang jernih dari salah satu Bapak Bangsa.
Sayangnya, bangsa Indonesia sangat sepi dari keintelektualan, tidak
mengerjakan kembali pikiran-pikiran intelektual yang pernah tumbuh di dalam
sejarah kita.
Perlu
ditambahkan satu aspek dari kedaulatan itu ke dalam Trisakti Bung Karno ini.
Aspek yang satu ini sekarang menjadi penyebab bangsa Indonesia cukup
telantar, yakni kita tidak memasukkan ke dalam kedaulatan itu suatu
pendidikan nasional yang mempunyai otonomi.
Kita
berpolitik ataupun bersaing dalam bisnis, tetapi tidak ada pengaruhnya secara
langsung ke dalam pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU Pendidikan.
Pendidikan di Indonesia menjadi korban politik. Pendidikan kita menjadi salah
satu yang terburuk di dunia saat ini karena tidak punya otonomi.
Keberanian moral
Pada
masa penjajahan, pendidikan tidak bisa diintervensi oleh politik kolonial.
Hasilnya adalah lahir orang-orang hebat seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan
Sjahrir. Mereka dibesarkan di dalam suatu pendidikan dengan nilai-nilai dan
etos yang otonom yang tidak diintervensi gubernur jenderal, misalnya. Tradisi
ini tidak ada di dalam pendidikan kita sekarang. Saban ganti menteri,
pendidikan kita berubah. Pendidikan seakan-akan obyek politik melalui tangan
menteri pendidikan.
Pemerintah
harus merasa sangat berdosa. Dengan mengabaikan pendidikan, pemerintah tidak
memberikan kesempatan kepada beratus-ratus genius di kalangan anak-anak kecil
kita. Mereka tidak bertumbuh menjadi genius hanya karena pendidikan kita
salah. Jadi, ke dalam Trisakti Bung Karno itu, kalangan muda saat ini perlu
mengampanyekan bahwa pendidikan harus mempunyai otonomi. Tidak bisa
pendidikan menjadi proyek politik.
Otonomi
pendidikan mempunyai tujuan yang sangat sederhana. Pertama, mendidik orang
berpikir benar menurut aturan-aturan dan metode-metode berpikir yang kita
kenal, dan kedua, yang sangat penting, menjadikan kebisaan berpikir yang baik
itu menjadi bagian dari etos kepribadian seseorang, menjadi habitus.
Pemikiran
yang benar itu baru berguna kalau orang juga hidup berdasarkan dan berani
mempergunakan pemikiran yang benar. Tampaknya banyak sekali orang-orang kita
yang cerdas, mempunyai pemikiran yang hebat, tetapi tidak mempunyai
keberanian moral mempertahankan kebebasan mereka di dalam berpikir. Mereka
takluk pada kekuasaan politik. Jadi, yang perlu diperjuangkan di dalam
pendidikan bukan hanya skill berpikir, melainkan juga courage to think,
keberanian untuk berpikir. Itulah yang harus dibina.
Terhadap
pendidikan nasional, harus diberikan otonomi yang harus dihormati oleh semua
politisi, semua presiden, dan siapa pun yang berkuasa. Pendidikan nasional
tidak boleh diintervensi sewenang-wenang setiap kali mereka mendapat kekuasaan.
Hanya dengan cara itu kita bisa mengharapkan, dalam 10-25 tahun, dapat
men-generate generasi terang. Kalau tidak, dapat diduga akan terus lahir
generasi gelap gulita sebab tidak ada pegangan dalam pendidikan.
Hadapi dengan waras
Semua
slogan mengenai pendidikan, yang sekarang menawarkan segala yang serba lekas,
harus dihadapi dengan waras. Belajar bahasa Inggris bisa lancar dalam dua
minggu, umpamanya, adalah sesuatu yang harus ditertawakan, tetapi banyak
orang yang tertipu dengan slogan semacam itu. Kita tidak bisa mempercepat
pertumbuhan pohon jati dari 10 tahun menjadi enam bulan. Proses belajar
manusia tidak bisa dipercepat, hanya bisa difasilitasi.
Anak-anak
kita sekarang—karena melihat orangtua, saudara, atau tetangganya lekas
menjadi kaya—berpikir bahwa mereka juga bisa menjadi pintar dalam waktu yang
singkat. Anak-anak melihat orang-orang dekat atau orang-orang di sekitarnya
bisa mempunyai satu-dua mobil dalam waktu setengah tahun berharap juga
menjadi master atau doktor dalam waktu sembilan bulan. Terjadilah transfer
kesalahpahaman.
Otonomi
pendidikan nasional harus diperjuangkan kembali. Satu hal yang patut dicatat,
reformasi yang kemarin memang mereformasi banyak sektor, tetapi sama sekali
tidak mereformasi sektor pendidikan sebab basis dari pendidikan Orde Baru itu
belum berubah. Metodik-metodik dan sistem ujian yang dididikkan Orde Baru
adalah ketaatan kepada kekuasaan, bukan ketaatan pada akal sehat.
Yang
disebut terakhir ini sama sekali belum berubah di era Reformasi. Masih ditemukan
soal ujian pilihan ganda di sekolah pada era Reformasi seperti ini, Anak
bangun pagi minum... (a) air putih, (b) jeruk, (c) teh. Kalau anak itu tidak
menjawab karena dia tidak menemukan susu sebab memang merupakan kebiasaannya,
dia akan disalahkan. Inilah pendidikan yang mentransfer ketaatan pada
kekuasaan, bukan ketaatan pada akal sehat.
Belum komisi serius
Pendidikan
belum menjadi komisi yang serius di DPR. Indonesia belum mempunyai niat baik
secara nasional mengenai apa yang ingin dicapai oleh pendidikan nasional.
Apakah kita ingin kembali meneruskan tradisi Orde Baru mendidik orang-orang
yang taat kepada kekuasaan, tapi tidak taat pada akalnya sendiri, itulah
dasar pertanyaannya. Kalau itu tidak tercapai, kita tidak mempunyai
kedaulatan apa pun.
Mengenai
kedaulatan, pada mulanya adalah pendidikan. Inti persoalan kedaulatan rakyat
ialah bahwa kedaulatan rakyat itu hanya mungkin bertumbuh pada orang-orang
yang pada dirinya sendiri berdaulat. Karena itu, pendidikan harus mendidik
individu yang kuat. Salah paham di dalam pemikiran politik Indonesia adalah
mendidik individu yang kuat berarti memihak individualisme. Itu kebodohan.
Sama sekali tak ada hubungan antara ”mendidik individu yang kuat” dan
”individualisme”.
Orang-orang
seperti Ki Hajar Dewantara sama sekali bukan orang yang mempropagandakan
individualisme, tapi sangat pro pada pendidikan individu yang kuat. Tidaklah
mungkin mengharapkan kedaulatan rakyat berdiri kuat apabila warga negaranya
sendiri bukan merupakan individu yang kuat.
Pendidikan
kita tidak memberikan perhatian pada pendidikan individu yang kuat, yang
selalu dislogankan ”jangan individualistis”. Padahal, individu yang kuat
belum tentu individualistis. Individu yang kuat sangat bisa menjadi orang
yang memperhatikan orang lain, mungkin lebih baik daripada kita yang
mengklaim diri sebagai orang beragama dan macam-macam.
Mendidik individu yang kuat (tidak identik sama sekali dengan
individualistis) adalah tugas pertama pendidikan. Hanya individu yang
berdaulat yang bisa mempertahankan kedaulatan rakyat. Individu yang
bergantung dari hari ke hari, yang gampang dibeli dengan Rp 100 juta atau Rp
150.000, tidak bisa menjamin kedaulatan karena, menurut rumusan Ki Hajar
Dewantara, dia sama sekali tidak punya self determination dan sama sekali
tidak independen. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar