Jumat, 13 Juni 2014

Pada Mulanya Pendidikan

MENYAMBUT TAHUN KEDAULATAN RAKYAT

Pada Mulanya Pendidikan

Laporan Diskusi Panel Kompas-LMI
KOMPAS,  10 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
REFERENSI yang selalu kita dengar mengenai kedaulatan rakyat adalah kedaulatan dalam terjemahan versi Bung Karno yang sekarang dihidupkan kembali, yakni bagaimana suatu bangsa bisa berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Namun, sampai sekarang hal itu belum pernah dikerjakan secara lebih operasional. Kita hanya menghapalnya sebagai slogan, mengulanginya sebagai slogan, tanpa pengertian lebih mendalam mengenai apa yang kita slogankan.

Misalnya, apakah berdikari secara ekonomi itu berarti kita harus mandiri, itu belum pernah dibahas. Berdikari juga mustahil pada zaman yang serba global.

Demikian juga berkepribadian dalam kebudayaan, apakah berarti kita harus bersifat takut atau xenofobis terhadap kebudayaan asing? Juga belum pernah kita bahas apa sebetulnya berkepribadian dalam hubungan dengan kebudayaan asing.

Berdaulat di dalam politik ada dua aspek, berdaulat secara domestik ke dalam dan berdaulat berhadapan dengan masyarakat internasional. Bagaimana kedaulatan dalam dua wajah tersebut belum pernah kita rumuskan.

Rumusan Bung Karno ini bagus. Hanya saja, seperti biasa, kita malas berpikir. Tiap hari kita hanya mengulang kata-kata itu, tetapi tidak bertambah pengertian kita tentang apa yang kita ucapkan karena tidak pernah dielaborasi, tidak pernah dikerjakan, dan tidak pernah dijabarkan. Inilah yang membuat bangsa Indonesia sangat mandek dalam banyak hal. Tugas kita pada masa ini ialah merumuskan ketiga hal itu menjadi operasional. Kalau tidak, kita tidak lebih maju dari 55 tahun lalu.

Rumusan KH Dewantara

Sebetulnya di antara para pemimpin kita sudah ada yang pemikirannya cukup mendalam tentang arti kedaulatan. Ki Hajar Dewantara merumuskannya juga dalam tiga aspek. Suatu bangsa dikatakan berdaulat pertama-tama kalau dia independen, tidak berada di bawah penjajahan. Suatu bangsa berdaulat kalau dia memiliki self determination, bisa menentukan dirinya sendiri, serta tidak gampang dibodoh-bodohi. Suatu bangsa berdaulat kalau dia mempunyai tingkatan tertentu dalam self reliance, tidak hidup dari ketergantungan.

Pertama menolak penjajahan, kedua menolak pembodohan, dan ketiga menolak ketergantungan. Inilah pemikiran yang jernih dari salah satu Bapak Bangsa. Sayangnya, bangsa Indonesia sangat sepi dari keintelektualan, tidak mengerjakan kembali pikiran-pikiran intelektual yang pernah tumbuh di dalam sejarah kita.

Perlu ditambahkan satu aspek dari kedaulatan itu ke dalam Trisakti Bung Karno ini. Aspek yang satu ini sekarang menjadi penyebab bangsa Indonesia cukup telantar, yakni kita tidak memasukkan ke dalam kedaulatan itu suatu pendidikan nasional yang mempunyai otonomi.

Kita berpolitik ataupun bersaing dalam bisnis, tetapi tidak ada pengaruhnya secara langsung ke dalam pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU Pendidikan. Pendidikan di Indonesia menjadi korban politik. Pendidikan kita menjadi salah satu yang terburuk di dunia saat ini karena tidak punya otonomi.

Keberanian moral

Pada masa penjajahan, pendidikan tidak bisa diintervensi oleh politik kolonial. Hasilnya adalah lahir orang-orang hebat seperti Bung Karno, Tan Malaka, dan Sjahrir. Mereka dibesarkan di dalam suatu pendidikan dengan nilai-nilai dan etos yang otonom yang tidak diintervensi gubernur jenderal, misalnya. Tradisi ini tidak ada di dalam pendidikan kita sekarang. Saban ganti menteri, pendidikan kita berubah. Pendidikan seakan-akan obyek politik melalui tangan menteri pendidikan.

Pemerintah harus merasa sangat berdosa. Dengan mengabaikan pendidikan, pemerintah tidak memberikan kesempatan kepada beratus-ratus genius di kalangan anak-anak kecil kita. Mereka tidak bertumbuh menjadi genius hanya karena pendidikan kita salah. Jadi, ke dalam Trisakti Bung Karno itu, kalangan muda saat ini perlu mengampanyekan bahwa pendidikan harus mempunyai otonomi. Tidak bisa pendidikan menjadi proyek politik.

Otonomi pendidikan mempunyai tujuan yang sangat sederhana. Pertama, mendidik orang berpikir benar menurut aturan-aturan dan metode-metode berpikir yang kita kenal, dan kedua, yang sangat penting, menjadikan kebisaan berpikir yang baik itu menjadi bagian dari etos kepribadian seseorang, menjadi habitus.

Pemikiran yang benar itu baru berguna kalau orang juga hidup berdasarkan dan berani mempergunakan pemikiran yang benar. Tampaknya banyak sekali orang-orang kita yang cerdas, mempunyai pemikiran yang hebat, tetapi tidak mempunyai keberanian moral mempertahankan kebebasan mereka di dalam berpikir. Mereka takluk pada kekuasaan politik. Jadi, yang perlu diperjuangkan di dalam pendidikan bukan hanya skill berpikir, melainkan juga courage to think, keberanian untuk berpikir. Itulah yang harus dibina.

Terhadap pendidikan nasional, harus diberikan otonomi yang harus dihormati oleh semua politisi, semua presiden, dan siapa pun yang berkuasa. Pendidikan nasional tidak boleh diintervensi sewenang-wenang setiap kali mereka mendapat kekuasaan. Hanya dengan cara itu kita bisa mengharapkan, dalam 10-25 tahun, dapat men-generate generasi terang. Kalau tidak, dapat diduga akan terus lahir generasi gelap gulita sebab tidak ada pegangan dalam pendidikan.

Hadapi dengan waras

Semua slogan mengenai pendidikan, yang sekarang menawarkan segala yang serba lekas, harus dihadapi dengan waras. Belajar bahasa Inggris bisa lancar dalam dua minggu, umpamanya, adalah sesuatu yang harus ditertawakan, tetapi banyak orang yang tertipu dengan slogan semacam itu. Kita tidak bisa mempercepat pertumbuhan pohon jati dari 10 tahun menjadi enam bulan. Proses belajar manusia tidak bisa dipercepat, hanya bisa difasilitasi.

Anak-anak kita sekarang—karena melihat orangtua, saudara, atau tetangganya lekas menjadi kaya—berpikir bahwa mereka juga bisa menjadi pintar dalam waktu yang singkat. Anak-anak melihat orang-orang dekat atau orang-orang di sekitarnya bisa mempunyai satu-dua mobil dalam waktu setengah tahun berharap juga menjadi master atau doktor dalam waktu sembilan bulan. Terjadilah transfer kesalahpahaman.

Otonomi pendidikan nasional harus diperjuangkan kembali. Satu hal yang patut dicatat, reformasi yang kemarin memang mereformasi banyak sektor, tetapi sama sekali tidak mereformasi sektor pendidikan sebab basis dari pendidikan Orde Baru itu belum berubah. Metodik-metodik dan sistem ujian yang dididikkan Orde Baru adalah ketaatan kepada kekuasaan, bukan ketaatan pada akal sehat.

Yang disebut terakhir ini sama sekali belum berubah di era Reformasi. Masih ditemukan soal ujian pilihan ganda di sekolah pada era Reformasi seperti ini, Anak bangun pagi minum... (a) air putih, (b) jeruk, (c) teh. Kalau anak itu tidak menjawab karena dia tidak menemukan susu sebab memang merupakan kebiasaannya, dia akan disalahkan. Inilah pendidikan yang mentransfer ketaatan pada kekuasaan, bukan ketaatan pada akal sehat.

Belum komisi serius

Pendidikan belum menjadi komisi yang serius di DPR. Indonesia belum mempunyai niat baik secara nasional mengenai apa yang ingin dicapai oleh pendidikan nasional. Apakah kita ingin kembali meneruskan tradisi Orde Baru mendidik orang-orang yang taat kepada kekuasaan, tapi tidak taat pada akalnya sendiri, itulah dasar pertanyaannya. Kalau itu tidak tercapai, kita tidak mempunyai kedaulatan apa pun.

Mengenai kedaulatan, pada mulanya adalah pendidikan. Inti persoalan kedaulatan rakyat ialah bahwa kedaulatan rakyat itu hanya mungkin bertumbuh pada orang-orang yang pada dirinya sendiri berdaulat. Karena itu, pendidikan harus mendidik individu yang kuat. Salah paham di dalam pemikiran politik Indonesia adalah mendidik individu yang kuat berarti memihak individualisme. Itu kebodohan. Sama sekali tak ada hubungan antara ”mendidik individu yang kuat” dan ”individualisme”.

Orang-orang seperti Ki Hajar Dewantara sama sekali bukan orang yang mempropagandakan individualisme, tapi sangat pro pada pendidikan individu yang kuat. Tidaklah mungkin mengharapkan kedaulatan rakyat berdiri kuat apabila warga negaranya sendiri bukan merupakan individu yang kuat.

Pendidikan kita tidak memberikan perhatian pada pendidikan individu yang kuat, yang selalu dislogankan ”jangan individualistis”. Padahal, individu yang kuat belum tentu individualistis. Individu yang kuat sangat bisa menjadi orang yang memperhatikan orang lain, mungkin lebih baik daripada kita yang mengklaim diri sebagai orang beragama dan macam-macam.

Mendidik individu yang kuat (tidak identik sama sekali dengan individualistis) adalah tugas pertama pendidikan. Hanya individu yang berdaulat yang bisa mempertahankan kedaulatan rakyat. Individu yang bergantung dari hari ke hari, yang gampang dibeli dengan Rp 100 juta atau Rp 150.000, tidak bisa menjamin kedaulatan karena, menurut rumusan Ki Hajar Dewantara, dia sama sekali tidak punya self determination dan sama sekali tidak independen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar