Mengapa
Sebagian Anak Sukses dan Selebihnya Tidak?
Ahmad
Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Juni 2014
INI bukan soal takdir
sebagaimana paham asketisme, qadariyah, ataupun jabariyah, bahwa manusia
selalu dikatakan mampu dan tidak mampu bergantung pada bagaimana Tuhan telah
menentukannya. Ada banyak tafsir tentang nasib manusia di muka bumi ini,
tetapi tafsir yang paling unggul pasti terlihat dari seberapa besar usaha
yang dilakukan seseorang.
Usaha dalam konteks teologis
keislamanan salah satunya dinisbatkan pada eksplorasi daya kerja akal pikiran
yang menghasilkan pengetahuan. Kata tanfuzu
dalam ayat la tanfuzu illa bisulthan
dalam salah satu ayat Quran seakan membenarkan bahwa manusia setiap saat tak
boleh berdiam diri menerima ketentuan atau takdirnya, tetapi harus mencari
dan mencari dengan bekal kualitas pengetahuan yang mampu diciptakan akal
pikiran.
“The mind is not a vessel to be filled, but a fire to be ignited,”
kata Plutarch, salah seorang penganut paham filsafat Socrates. Keyakinan
selama berabad-abad tentang kemampuan akal pikiran itu, dalam dunia
pendidikan, secara terus-menerus menemukan bukti empirisnya melalui
kajian-kajian psikologi pendidikan yang berkembang amat pesat. Dulu banyak
orang berpandangan bahwa kunci sukses itu ialah dengan cara mengajarkan anak
beragam pengetahuan kunci.
Namun, dalam 10 tahun terakhir semakin banyak ahli
menemukan bahwa kunci sukses itu ternyata bukan hanya terletak pada banyaknya
pengetahuan, melainkan juga terbentuknya karakter yang sehat secara pribadi.
Dalam buku Paul Tough, How Children Succeed: Grit, Curiosity, and
the Hidden Power of Character (2013), jelas dibuktikan bahwa keberhasilan
seorang anak ternyata tidak terletak pada bekal seberapa banyak pengetahuan
yang mereka dapatkan ketika di sekolah, tetapi justru bergantung pada
seberapa efektif proses pendampingan orangtua dan guru ketika mereka tumbuh
dan berkembang. Bagi seorang anak, belajar terjadi bila mereka dihadapkan
dengan sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang telah mereka mengetahui
sebelumnya. Sesuatu yang baru tersebut sebaiknya dan seharusnya ialah daftar
kualitas karakter anak seperti kegigihan, rasa ingin tahu, dan hormat pada
orang lain.
Keterampilan nonkognitif seperti
kegigihan, rasa ingin tahu, hormat pada orang lain, dan sebagainya ternyata
memegang peranan penting dalam kesuksesan seseorang di masa depannya. Jenis
keterampilan nonkognitif itu biasanya tumbuh dalam sebuah lingkungan belajar
yang sehat, penuh harmoni, dan tentu saja suasana belajar yang selalu
menyenangkan, berbeda dengan lingkungan belajar yang membuat anak-anak
seperti di dalam penjara dan tak membebaskan. Jika lingkungan belajar tidak
kondusif, peluang stres lebih besar akan terjadi pada anak-anak, yakni dalam
jangka panjang akan menumbuhkan orang-orang yang tidak siap menerima
kegagalan.
Ada kutipan menarik dari buku
Paul Tough (2013) itu. Katanya, “The
part of the brain most affected by early stress is the prefrontal cortex,
which is critical in self-regulatory activities of all kinds, both emotional
and cognitive. As a result, children who grow up in stressful environments
generally fi nd it harder to concentrate, harder to sit still, harder to
rebound from disappointments, and harder to follow directions. And that has a
direct effect on their performance in school.” Ini artinya jika dunia
pendidikan kita tidak peduli dengan lingkungan belajar yang baik dan sehat,
anak-anak akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.
Studi lain juga menunjukkan anak
pada dasarnya selalu merespons sesuatu yang baru atau berbeda dengan tiga
cara, yaitu penggabungan, adaptasi, dan penolakan. Penggabungan memungkinkan
anak untuk mengakumulasi informasi baru dengan informasi sebelumnya. Adaptasi
dilakukan otak untuk memilah dan memilih informasi berdasarkan kebutuhan
intuitif anak. Penolakan terjadi jika informasi yang diterima tidak sesuai
dengan atau bertolak belakang dengan gagasan yang telah diterima sebelumnya.
Karena tingkat aktivitas otak
secara langsung berkaitan dengan tingkat stimulasi dari dan dalam lingkungan
belajar, menggunakan media dan sarana belajar yang tepat akan membantu anak
untuk belajar banyak secara baik dan konsisten. Sifat otak juga sangat
responsif dan untuk itu, dibutuhkan media belajar dalam bentuk grafis dan
gambar yang dapat merangsang kerja otak secara maksimal. Penting juga untuk
diketahui para guru bahwa sifat rangsangan tidak terbatas dalam waktu atau
tempat--mereka dapat muncul terus-menerus-secara baik formal maupun informal.
Proses belajar yang menggunakan
media belajar secara tepat dan terus-menerus itulah yang akan menghasilkan
atau meningkatkan apa yang telah disebut Howard
Gardner sebagai kecerdasan majemuk (multiple
intelligence). Artinya penting bagi seorang guru untuk memahami ragam
talenta siswa mereka secara cerdas dan bertanggung jawab berdasarkan minat
dan bakat yang dimilikinya. Jika kesadaran itu tumbuh dan meluas, proses
belajar-mengajar tidak lagi berorientasi pada hasil, tetapi pada prosesnya
itu sendiri yang membutuhkan banyak sekali kreativitas guru dalam mengajar
dalam menunjang ragam talenta siswa.
Sekali
lagi yang penting bagi kita sekarang ialah bagaimana berusaha semaksimal
mungkin membantu anak-anak untuk tumbuh dan berkembang bersama kualitas
nonkognitif seperti kegigihan (persistence),
pengendalian diri (self-control),
rasa ingin tahu (curiosity), serta
memeliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan (conscientiousness). Believe
it or not, jenis keterampilan nonkognitif seperti itu tak banyak
disentuh, apalagi diuji dalam sebuah proses belajarmengajar di
sekolah-sekolah kita. Anak-anak dan para guru selalu disibukkan dengan agenda
ujian nasional yang hanya mengukur kemampuan kognitif dan lalai untuk
mengawal karakter siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar