Rabu, 04 Juni 2014

Mengapa Sebagian Anak Sukses dan Selebihnya Tidak?

Mengapa Sebagian Anak Sukses dan Selebihnya Tidak?

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA,  02 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
INI bukan soal takdir sebagaimana paham asketisme, qadariyah, ataupun jabariyah, bahwa manusia selalu dikatakan mampu dan tidak mampu bergantung pada bagaimana Tuhan telah menentukannya. Ada banyak tafsir tentang nasib manusia di muka bumi ini, tetapi tafsir yang paling unggul pasti terlihat dari seberapa besar usaha yang dilakukan seseorang.

Usaha dalam konteks teologis keislamanan salah satunya dinisbatkan pada eksplorasi daya kerja akal pikiran yang menghasilkan pengetahuan. Kata tanfuzu dalam ayat la tanfuzu illa bisulthan dalam salah satu ayat Quran seakan membenarkan bahwa manusia setiap saat tak boleh berdiam diri menerima ketentuan atau takdirnya, tetapi harus mencari dan mencari dengan bekal kualitas pengetahuan yang mampu diciptakan akal pikiran.

The mind is not a vessel to be filled, but a fire to be ignited,” kata Plutarch, salah seorang penganut paham filsafat Socrates. Keyakinan selama berabad-abad tentang kemampuan akal pikiran itu, dalam dunia pendidikan, secara terus-menerus menemukan bukti empirisnya melalui kajian-kajian psikologi pendidikan yang berkembang amat pesat. Dulu banyak orang berpandangan bahwa kunci sukses itu ialah dengan cara mengajarkan anak beragam pengetahuan kunci. 
Namun, dalam 10 tahun terakhir semakin banyak ahli menemukan bahwa kunci sukses itu ternyata bukan hanya terletak pada banyaknya pengetahuan, melainkan juga terbentuknya karakter yang sehat secara pribadi.

Dalam buku Paul Tough, How Children Succeed: Grit, Curiosity, and the Hidden Power of Character (2013), jelas dibuktikan bahwa keberhasilan seorang anak ternyata tidak terletak pada bekal seberapa banyak pengetahuan yang mereka dapatkan ketika di sekolah, tetapi justru bergantung pada seberapa efektif proses pendampingan orangtua dan guru ketika mereka tumbuh dan berkembang. Bagi seorang anak, belajar terjadi bila mereka dihadapkan dengan sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang telah mereka mengetahui sebelumnya. Sesuatu yang baru tersebut sebaiknya dan seharusnya ialah daftar kualitas karakter anak seperti kegigihan, rasa ingin tahu, dan hormat pada orang lain.

Keterampilan nonkognitif seperti kegigihan, rasa ingin tahu, hormat pada orang lain, dan sebagainya ternyata memegang peranan penting dalam kesuksesan seseorang di masa depannya. Jenis keterampilan nonkognitif itu biasanya tumbuh dalam sebuah lingkungan belajar yang sehat, penuh harmoni, dan tentu saja suasana belajar yang selalu menyenangkan, berbeda dengan lingkungan belajar yang membuat anak-anak seperti di dalam penjara dan tak membebaskan. Jika lingkungan belajar tidak kondusif, peluang stres lebih besar akan terjadi pada anak-anak, yakni dalam jangka panjang akan menumbuhkan orang-orang yang tidak siap menerima kegagalan.

Ada kutipan menarik dari buku Paul Tough (2013) itu. Katanya, “The part of the brain most affected by early stress is the prefrontal cortex, which is critical in self-regulatory activities of all kinds, both emotional and cognitive. As a result, children who grow up in stressful environments generally fi nd it harder to concentrate, harder to sit still, harder to rebound from disappointments, and harder to follow directions. And that has a direct effect on their performance in school.” Ini artinya jika dunia pendidikan kita tidak peduli dengan lingkungan belajar yang baik dan sehat, anak-anak akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab.

Studi lain juga menunjukkan anak pada dasarnya selalu merespons sesuatu yang baru atau berbeda dengan tiga cara, yaitu penggabungan, adaptasi, dan penolakan. Penggabungan memungkinkan anak untuk mengakumulasi informasi baru dengan informasi sebelumnya. Adaptasi dilakukan otak untuk memilah dan memilih informasi berdasarkan kebutuhan intuitif anak. Penolakan terjadi jika informasi yang diterima tidak sesuai dengan atau bertolak belakang dengan gagasan yang telah diterima sebelumnya.

Karena tingkat aktivitas otak secara langsung berkaitan dengan tingkat stimulasi dari dan dalam lingkungan belajar, menggunakan media dan sarana belajar yang tepat akan membantu anak untuk belajar banyak secara baik dan konsisten. Sifat otak juga sangat responsif dan untuk itu, dibutuhkan media belajar dalam bentuk grafis dan gambar yang dapat merangsang kerja otak secara maksimal. Penting juga untuk diketahui para guru bahwa sifat rangsangan tidak terbatas dalam waktu atau tempat--mereka dapat muncul terus-menerus-secara baik formal maupun informal.

Proses belajar yang menggunakan media belajar secara tepat dan terus-menerus itulah yang akan menghasilkan atau meningkatkan apa yang telah disebut Howard Gardner sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligence). Artinya penting bagi seorang guru untuk memahami ragam talenta siswa mereka secara cerdas dan bertanggung jawab berdasarkan minat dan bakat yang dimilikinya. Jika kesadaran itu tumbuh dan meluas, proses belajar-mengajar tidak lagi berorientasi pada hasil, tetapi pada prosesnya itu sendiri yang membutuhkan banyak sekali kreativitas guru dalam mengajar dalam menunjang ragam talenta siswa.

Sekali lagi yang penting bagi kita sekarang ialah bagaimana berusaha semaksimal mungkin membantu anak-anak untuk tumbuh dan berkembang bersama kualitas nonkognitif seperti kegigihan (persistence), pengendalian diri (self-control), rasa ingin tahu (curiosity), serta memeliki kepekaan terhadap sesama dan lingkungan (conscientiousness). Believe it or not, jenis keterampilan nonkognitif seperti itu tak banyak disentuh, apalagi diuji dalam sebuah proses belajarmengajar di sekolah-sekolah kita. Anak-anak dan para guru selalu disibukkan dengan agenda ujian nasional yang hanya mengukur kemampuan kognitif dan lalai untuk mengawal karakter siswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar