“Legitimasi”
Kudeta
Anna
Yulia Hartati ; Peneliti pada lab diplomasi, Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 02 Juni 2014
’’DEMOKRASI
dari atas tank’’ (Trias
Kuncahyono, 2006), kira-kira itulah komentar yang tepat untuk menggambarkan situasi politik dan
pemerintahan Thailand saat ini. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Prayuth
Chan-ocha melakukan kudeta pada Kamis 22 Mei 2014. Ia kemudian menunjuk
dirinya sebagai perdana menteri (PM) sementara.
Kudeta seperti menjadi bagian
tidak terpisahkan dari sejarah politik di Negeri Gajah Putih. Sejak Revolusi
Siam 1932, negeri itu dilanda berbagai kudeta, baik kudeta berdarah maupun
tidak berdarah. Sejak 1932 sampai 2014 tercatat 12 kali kudeta secara
berturut-turut, yaitu tahun 1932, 1933, 1947, 1957, 1957, 1958, 1971, 1976,
1977, 1991, 2006, dan 2014.
Kudeta militer Thailand
merupakan tamparan keras bagi ASEAN. Selama ini ia menjadi salah satu model
negara ASEAN dengan sistem demokrasi yang menjamin partisipasi rakyat secara
luas, dan sudah berlangsung 14 tahun. Sistem demokrasi di negeri itu dimulai
tahun 1992 setelah setahun sebelumnya rakyat menumbangkan kekuasaan militer hasil
kudeta.
Dengan demikian, sebenarnya
sistem demokrasi di Thailand mendahului Indonesia, yang dimulai dengan
tumbangnya Presiden Soeharto tahun 1998. Sejak itu banyak warga ASEAN sadar
demokrasi menjadi satu-satunya jalan untuk berpolitik. Namun sekarang banyak
kalangan khawatir gaung kudeta Thailand menginspirasi sejumlah elite di
negara-negara ASEAN untuk kembali mempertanyakan demokrasi yang ternyata tak
bisa mengatasi semua persoalan.
Mengapa kudeta di Thailand
menjadi legitimate dengan dukungan
rakyat, bahkan kelas menengah yang notabene ìmusuhî militer? Tidakkah juga
ironis melihat rakyat yang telah bersusah payah menjauhkan militer dari
politik kini kembali “merestui” campur tangan mereka?
Krisis dalam suatu negaara akan
menyebabkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan (Habermas, 2004). Akhirnya kita sampai pada preposisi bahwa
demokrasi yang kuat bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan mencapai
kebaikan atau kemaslahatan bersama. Karena itu, demokrasi mesti berkaitan
dengan persoalan perwakilan kehendak rakyat.
Jika kehendak perwakilan itu
gagal menjalankan tugas mewakili rakyat maka rakyat juga yang akan
menuntaskannya. Pemerintahan selegal apa pun akhirnya digulung oleh
masyarakat, walaupun meminjam tangan militer. Apa pun hasilnya, rakyat
Thailand merasa puas dengan kerja militer. Orang di luar mungkin sulit
memahami.
Tahun 1950 John F Embree menulis
artikel berjudul ’’Thailand: Aloosely
Structured Social System’’ dalam American
Anthropologist nomor 54. Sebagaimana layaknya antropolog Embree berusaha
mengamati tingkah laku sekelompok masyarakat Thailand dan kemudian mengambil
kesimpulan karakter mereka.
Menurut Embree, masyarakat
Thailand punya karakter yang disebutnya lossely
structured yang kurang lebih bisa diartikan masyarakat yang punya
nilai-nilai yang longgar. Secara
singkat juga bisa diartikan masyarakat yang bertingkah laku individualistik,
tidak disiplin, kurang menghormati peraturan, kurang menghormati aturan main
yang disepakati, dan kurang menekankan
akan pentingnya kewajiban dalam keluarga.
Mengubah Sikap
Karakter itu terbawa pula dalam
berpolitik dan dalam pemerintahan. Karena terlalu individualistik maka orang
Thailand kurang bisa berorganisasi dengan baik dan bekerja dalam kerangka
sebuah tim. Dalam berpolitik pun mereka begitu mudah mengubah sikap dan teman
aliansinya. Orang yang sekarang jadi kawan, boleh jadi lusa menjadi lawan
politiknya.
Maka jika rakyat Thailand
mendukung kudeta oleh militer, yang semula menjadi lawan, juga bukan hal aneh
karena memang karakter masyarakat seperti itu, dan akhirnya terbawa dalam
konteks politik. Untuk memahami kelas menengah yang juga mendukung kudeta
militer bisa menggunakan karakteristik masyarakat Thailand.
Masyarakat negara itu juga
bersifat permisif, mudah memaafkan kesalahan orang lain. Seperti yang kita
lihat, pelaku kudeta yang gagal di Thailand jarang yang dijatuhi hukuman
berat. Perilaku itu mungkin bisa berdampak positif bagi perkembangan
demokrasi mengingat demokrasi hanya dapat tumbuh dalam budaya yang menolerasi
ketidakseragaman.
Seperti dikatakan Samuel
Huntington bahwa pencapaian demokrasi memerlukan beberapa tahap. Pertama;
faksionalisasi, kedua; polarisasi, ketiga; ekspansi, dan keempat; institusionalisasi. Seperti juga dikatakan
William Liddle bahwa demokrasi hanya akan berjalan bila ada security
relationship yaitu adanya jaminan keamanan (nyawa, harta benda, dan karier
politik selanjutnya) bagi orang-orang yang akan turun dari kekuasaannya.
Masyarakat
Thailand mempunyai sebagian dari syarat-syarat itu. Orang yang pernah jatuh
dari kekuasaannya, bisa kembali diterima oleh rakyatnya bahkan untuk kembali
memerintah. Bahkan mereka bisa memaafkan orang-orang yang pernah terlibat
kudeta, dan memulihkan kedudukannya
dalam jajaran militer. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar