Rabu, 04 Juni 2014

Ibadah Haji tanpa Korupsi

Ibadah Haji tanpa Korupsi

Emerson Yuntho  ;   Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
JAWA POS,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEMUA agama di negeri ini melarang umatnya untuk melakukan korupsi. Namun, sungguh ironis jika praktik korupsi justru terjadi di Kementerian Agama yang merupakan wakil pemerintah untuk urusan agama.

Tidak tanggung-tanggung, praktik korupsi di Kementerian Agama diduga dilakukan Menteri Agama Suryadharma Ali. Menteri agama yang seharusnya menjadi panutan bagi semua pranata pemerintahan dan umat beragama justru tersandung kasus korupsi.

Adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada 22 Mei 2014 secara berani dan mengejutkan menetapkan menteri agama sebagai tersangka dugaan korupsi dalam penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012–2013. Suryadharma diduga menggunakan dana setoran jamaah haji untuk memfasilitasi kerabat dan koleganya untuk menunaikan ibadah haji serta menggelembungkan harga (mark up) katering, pemondokan, dan transportasi jamaah haji. Dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus tersebut sangat fantastis, mencapai Rp 100 miliar.

Bukan kali pertama Kementerian Agama tercemar korupsi. Sebelumnya KPK juga mengungkap dugaan korupsi pengadaan kitab suci Alquran yang melibatkan politisi dan pejabat di kementerian.

Bahkan, dalam catatan sejarah, Suryadhama adalah menteri agama kedua yang tersandung kasus korupsi terkait dengan penyelenggaraan haji di Kementerian Agama. Sebelumnya, menteri agama periode 2001–2004, Said Agil Husin Al Munawar, tersangkut korupsi dalam pengelolaan dana abadi umat yang berasal dari setoran haji. Pada 2006, Said Agil dinyatakan terbukti melakukan korupsi dan divonis lima tahun penjara.

Praktik korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji sesungguhnya bukanlah hal baru. Indonesia Corruption Watch sejak 2004 mengungkap sedikitnya 4 (empat) potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji.

Pertama, pengelolaan tabungan dari setoran awal calon haji, baik yang reguler maupun khusus (BPIH khusus). Untuk mendapat nomor antrean keberangkatan, calon haji harus membayar biaya haji yang telah ditentukan pemerintah. Jumlah setoran ongkos haji yang mencapai triliunan rupiah dan bunga bank yang diperoleh berpotensi disalahgunakan.

Kedua, penentuan besaran ongkos biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Besaran biaya haji ditentukan bersama oleh Kementerian Agama dan komisi urusan agama di DPR. Dalam praktiknya, mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel menimbulkan terjadinya kongkalingkong atau suap-menyuap untuk menentukan biaya haji yang cenderung naik tiap tahun.

Ketiga, pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Pengadaan yang berpotensi kolusi dan korupsi adalah pengadaan transportasi darat dan udara di Arab Saudi, katering, pemondokan, vaksin, hingga asuransi untuk jamaah haji. Proses pengadaan yang tertutup cenderung membuat mereka yang dekat dengan pejabat di Kementerian Agama dan DPR menjadi pemenang. Jika hal itu terjadi, kompetensi dan profesionalitas sudah pasti diabaikan. Dampaknya, jamaah sering mengeluhkan pelayanan haji selama berada di Tanah Suci.

Keempat, penggunaan dana abadi umat (DAU) dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji. Sudah menjadi rahasia umum, DAU menjadi dana taktis atau nonbujeter di Kementerian Agama yang sering digunakan untuk kepentingan atau kegiatan yang bersifat pribadi. Kriteria penggunaan dan mekanisme pertanggungjawabannya yang tidak jelas membuka peluang terjadinya penyalahgunaan.

Korupsi di sektor ibadah haji juga diungkap KPK pada 2010 setelah mengkaji dan menemukan sejumlah titik rawan korupsi pengelolaan ibadah haji yang dikelola Kementerian Agama. Dari kajian tersebut, muncul 48 rekomendasi yang harus dibenahi Kementerian Agama agar tidak terjadi lagi peluang korupsi dalam penyelenggaraan haji. Namun, pada praktiknya, tidak semua rekomendasi tersebut dilaksanakan Kementerian Agama.

Selain KPK, pada 2013 Pusat Laporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap adanya dugaan penyalahgunaan dana haji. Dari setoran BPIH Rp 80 triliun, bunga bank sekitar Rp 2,3 triliun diduga diselewengkan. PPATK juga menemukan dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Agama senilai Rp 230 miliar yang tidak jelas penggunaannya.

Upaya KPK dan PPATK mengungkap penyimpangan dalam urusan haji di Kementerian Agama harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi dalam penyelenggaraan haji.

Pengunduran diri Suryadharma Ali selaku menteri agama dan Anggito Abimanyu sebagai Dirjen Haji bukanlah akhir penyelesaian masalah korupsi dalam penyelenggaraan haji maupun yang terjadi di Kementerian Agama. Pemerintah perlu segera memperbaiki tata kelola penyelenggaraaan haji sekaligus mencegah praktik korupsi dana haji tidak terjadi lagi pada masa mendatang.

Kementerian Agama sebaiknya kooperatif dalam mendukung proses hukum oleh KPK. Siapa pun yang diduga terlibat dan menikmati uang haram dari dana setoran haji harus diusut tuntas. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum seberat-beratnya. Kementerian juga tidak punya pilihan selain melaksanakan semua rekomendasi komisi antikorupsi itu dalam memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.

Harus ada keberanian dari pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan dan pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji. Salah satu rekomendasi yang bisa dilakukan pemerintah adalah melepas tanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji dari Kementerian Agama. Penyelenggaraan haji tidak lagi diurus Kementerian Agama, namun sudah seharusnya ditangani badan khusus haji yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan khusus haji itu nanti juga harus dikelola secara profesional dan akuntabel serta diawasi secara terus-menerus, baik oleh internal maupun eksternal.

Sebelum badan khusus haji itu terbentuk, perlu ada penghentian sementara atau moratorium pendaftaran calon haji dan setoran dana haji. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari munculnya sejumlah ’’rekening gendut’’ dan penyimpangan dalam pengelolaan tabungan haji. Pada 2012, KPK mewacanakan gagasan moratorium pendaftaran dan setoran dana. Sayangnya, hal tersebut tidak direspons Kementerian Agama.

Ketika semua proses perbaikan sudah dilakukan, akhirnya semua pihak berharap pada masa mendatang penyelenggaraan ibadah haji bebas dari praktik korupsi dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik untuk para jamaah haji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar