Ibadah
Haji tanpa Korupsi
Emerson
Yuntho ; Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
|
JAWA
POS, 03 Juni 2014
SEMUA
agama di negeri ini melarang umatnya untuk melakukan korupsi. Namun, sungguh
ironis jika praktik korupsi justru terjadi di Kementerian Agama yang
merupakan wakil pemerintah untuk urusan agama.
Tidak
tanggung-tanggung, praktik korupsi di Kementerian Agama diduga dilakukan
Menteri Agama Suryadharma Ali. Menteri agama yang seharusnya menjadi panutan
bagi semua pranata pemerintahan dan umat beragama justru tersandung kasus
korupsi.
Adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang pada 22 Mei 2014 secara berani dan
mengejutkan menetapkan menteri agama sebagai tersangka dugaan korupsi dalam
penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012–2013. Suryadharma diduga
menggunakan dana setoran jamaah haji untuk memfasilitasi kerabat dan
koleganya untuk menunaikan ibadah haji serta menggelembungkan harga (mark up) katering, pemondokan, dan
transportasi jamaah haji. Dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus
tersebut sangat fantastis, mencapai Rp 100 miliar.
Bukan
kali pertama Kementerian Agama tercemar korupsi. Sebelumnya KPK juga
mengungkap dugaan korupsi pengadaan kitab suci Alquran yang melibatkan
politisi dan pejabat di kementerian.
Bahkan,
dalam catatan sejarah, Suryadhama adalah menteri agama kedua yang tersandung
kasus korupsi terkait dengan penyelenggaraan haji di Kementerian Agama.
Sebelumnya, menteri agama periode 2001–2004, Said Agil Husin Al Munawar,
tersangkut korupsi dalam pengelolaan dana abadi umat yang berasal dari
setoran haji. Pada 2006, Said Agil dinyatakan terbukti melakukan korupsi dan
divonis lima tahun penjara.
Praktik
korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji sesungguhnya bukanlah hal baru. Indonesia Corruption Watch sejak 2004
mengungkap sedikitnya 4 (empat) potensi korupsi dalam penyelenggaraan ibadah
haji.
Pertama,
pengelolaan tabungan dari setoran awal calon haji, baik yang reguler maupun
khusus (BPIH khusus). Untuk mendapat nomor antrean keberangkatan, calon haji
harus membayar biaya haji yang telah ditentukan pemerintah. Jumlah setoran
ongkos haji yang mencapai triliunan rupiah dan bunga bank yang diperoleh
berpotensi disalahgunakan.
Kedua,
penentuan besaran ongkos biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Besaran
biaya haji ditentukan bersama oleh Kementerian Agama dan komisi urusan agama
di DPR. Dalam praktiknya, mekanisme yang tidak transparan dan akuntabel
menimbulkan terjadinya kongkalingkong atau suap-menyuap untuk menentukan
biaya haji yang cenderung naik tiap tahun.
Ketiga,
pengadaan barang dan jasa yang berkaitan dengan pelaksanaan haji. Pengadaan
yang berpotensi kolusi dan korupsi adalah pengadaan transportasi darat dan
udara di Arab Saudi, katering, pemondokan, vaksin, hingga asuransi untuk
jamaah haji. Proses pengadaan yang tertutup cenderung membuat mereka yang
dekat dengan pejabat di Kementerian Agama dan DPR menjadi pemenang. Jika hal
itu terjadi, kompetensi dan profesionalitas sudah pasti diabaikan. Dampaknya,
jamaah sering mengeluhkan pelayanan haji selama berada di Tanah Suci.
Keempat,
penggunaan dana abadi umat (DAU) dari hasil efisiensi biaya penyelenggaraan
ibadah haji. Sudah menjadi rahasia umum, DAU menjadi dana taktis atau
nonbujeter di Kementerian Agama yang sering digunakan untuk kepentingan atau
kegiatan yang bersifat pribadi. Kriteria penggunaan dan mekanisme
pertanggungjawabannya yang tidak jelas membuka peluang terjadinya
penyalahgunaan.
Korupsi
di sektor ibadah haji juga diungkap KPK pada 2010 setelah mengkaji dan
menemukan sejumlah titik rawan korupsi pengelolaan ibadah haji yang dikelola
Kementerian Agama. Dari kajian tersebut, muncul 48 rekomendasi yang harus
dibenahi Kementerian Agama agar tidak terjadi lagi peluang korupsi dalam
penyelenggaraan haji. Namun, pada praktiknya, tidak semua rekomendasi
tersebut dilaksanakan Kementerian Agama.
Selain
KPK, pada 2013 Pusat Laporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
mengungkap adanya dugaan penyalahgunaan dana haji. Dari setoran BPIH Rp 80
triliun, bunga bank sekitar Rp 2,3 triliun diduga diselewengkan. PPATK juga
menemukan dugaan transaksi mencurigakan di Kementerian Agama senilai Rp 230
miliar yang tidak jelas penggunaannya.
Upaya
KPK dan PPATK mengungkap penyimpangan dalam urusan haji di Kementerian Agama
harus menjadi momentum untuk melakukan reformasi dalam penyelenggaraan haji.
Pengunduran
diri Suryadharma Ali selaku menteri agama dan Anggito Abimanyu sebagai Dirjen
Haji bukanlah akhir penyelesaian masalah korupsi dalam penyelenggaraan haji
maupun yang terjadi di Kementerian Agama. Pemerintah perlu segera memperbaiki
tata kelola penyelenggaraaan haji sekaligus mencegah praktik korupsi dana
haji tidak terjadi lagi pada masa mendatang.
Kementerian
Agama sebaiknya kooperatif dalam mendukung proses hukum oleh KPK. Siapa pun
yang diduga terlibat dan menikmati uang haram dari dana setoran haji harus
diusut tuntas. Jika terbukti bersalah, mereka harus dihukum seberat-beratnya.
Kementerian juga tidak punya pilihan selain melaksanakan semua rekomendasi
komisi antikorupsi itu dalam memperbaiki penyelenggaraan ibadah haji.
Harus
ada keberanian dari pemerintah untuk mengevaluasi secara menyeluruh
pelaksanaan dan pengelolaan penyelenggaraan ibadah haji. Salah satu rekomendasi
yang bisa dilakukan pemerintah adalah melepas tanggung jawab penyelenggaraan
ibadah haji dari Kementerian Agama. Penyelenggaraan haji tidak lagi diurus
Kementerian Agama, namun sudah seharusnya ditangani badan khusus haji yang
bertanggung jawab langsung kepada presiden. Badan khusus haji itu nanti juga
harus dikelola secara profesional dan akuntabel serta diawasi secara
terus-menerus, baik oleh internal maupun eksternal.
Sebelum
badan khusus haji itu terbentuk, perlu ada penghentian sementara atau moratorium
pendaftaran calon haji dan setoran dana haji. Hal itu penting dilakukan untuk
menghindari munculnya sejumlah ’’rekening gendut’’ dan penyimpangan dalam
pengelolaan tabungan haji. Pada 2012, KPK mewacanakan gagasan moratorium
pendaftaran dan setoran dana. Sayangnya, hal tersebut tidak direspons
Kementerian Agama.
Ketika semua proses perbaikan sudah dilakukan, akhirnya semua pihak
berharap pada masa mendatang penyelenggaraan ibadah haji bebas dari praktik
korupsi dan mampu memberikan pelayanan yang terbaik untuk para jamaah haji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar