Urgensi
Pemilu Damai
Herdiansyah Rahman ; Peneliti di Lembaga
Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD)
|
HALUAN,
04 April 2014
Artikel ini telah dimuat di DETIKNEWS 02 April 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/urgensi-pemilu-damai_5.html
Artikel ini telah dimuat di DETIKNEWS 02 April 2014
http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/urgensi-pemilu-damai_5.html
Jika tidak ada aral melintang, bangsa Indonesia akan melaksanakan
Pemilu Legislatif 2014 pada 9 April 2014, sedangkan masyarakat Indonesia
yang tinggal di luar negeri sudah menunaikan kewajibannya untuk memilih
lebih awal pada 31 Maret 2014 yang lalu. Tentunya melalui pilihannya,
masyarakat Indonesia sangat berharap dan merindukan adanya anggota-anggota
legislatif yang benar-benar dapat mewakili aspirasi masyarakatnya, bukan
anggota-anggota legislatif yang sudah memiliki niatan jelek sebelumnya.
Memang banyak yang meragukan
pelaksanaan Pemilu 2014 akan berjalan dengan aman, karena ada sejumlah
masalah yang belum dapat ditangani secara secepatnya ataupun karena
masalah-masalah tersebut terkait dengan irisan politik praktis yang semakin
kental dan tajam mendekati 9 April 2014.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP), Jimly Ashidiqie khawatir
pemilihan umum legislatif dan presiden 2014 bakal diwarnai dengan kericuhan.
Kekhawatiran ini diperkuat oleh munculnya sejumlah tulisan resmi yang
menggambarkan keadaan tersebut. Jimly Ashidiqie mengatakan tidak pernah akan
ada kudeta yang konstitusional, sehingga mengimbau masyarakat untuk
tidak menggiring isu tersebut sehingga menjadi kenyataan, karena apa yang terjadi di Mesir, Ukraina dan Thailand yang
mengandalkan militer dalam politik tidak akan terjadi di Indonesia,
sehingga bangsa Indonesia harus memastikan Pemilu 2014 akan berjalan dengan
aman dan lancar.
Menurut mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi ini, langkah yang perlu didorong adalah menghilangkan potensi
golput di masyarakat, karena jika masyarakat masuk golput maka suara mereka
akan digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk mencapai kehendak politiknya,
sehingga dapat berdampak buruk bagi kehidupan bangsa ke depan.
Penulis sepakat dengan pendapat
Jimly Ashidiqie soal meminimalisir ancaman golput pada Pemilu 2014 sebagai
prasyarat agar Pemilu dapat berjalan dengan damai, aman dan lancar bukan
kisruh. Untuk dapat melakukannya, maka langkah awal yang perlu segera
direalisasikan adalah memetakan kelompok-kelompok yang selama ini akan
bersikap golput pada Pemilu 2014 melalui berbagai pernyataan atau statement
mereka melalui pemberitaan media massa, sosial media, selebaran,
siaran pers atau pernyataan sikap dll.
Pernyataan kelompok-kelompok
yang kemungkinan besar akan golput pada Pemilu 2014 antara lain kelompok
yang menyatakan bahwa Pemilu bisa menjadi ruang propaganda politik, pemilu
juga bisa menjadi alat kekuatan untuk memperjuangkan melawan imperialisme,
karena kehadiran asing sangat terkait dengan praktik-praktik kolonialisme.
Kedua, seruan boikot Pemilu
2014 yang dikeluarkan Mayjen Terianus Sato (Kepala Staf Umum Komando
Nasional TPN-OPM). Dalam selebaran tersebut, TPN-OPM menyerukan kepada
seluruh rakyat Papua untuk tidak memberikan hak suaranya dalam Pemilu 2014,
meminta PBB untuk mengadakan pemilihan bebas yang demokratis di Papua
untuk menentukan nasib rakyat Papua, rakyat Papua yang ikut memilih dalam
Pemilu 2014 merupakan pengkhianat perjuangan bangsa Papua, dan meminta
dunia internasional datang untuk melihat pelaksanaan Pemilu 2014 di Papua
guna melihat militer Indonesia memaksa rakyat Papua memilih. Sebelumnya di
Kota Jayapura juga beredar seruan boikot Pemilu 2014 dari Benny Wenda
(pemimpin OPM di Inggris) yang berisi antara lain, meminta Pemerintah Indonesia
segera meninggalkan tanah Papua, meminta PBB untuk mengirim pasukan penjaga
perdamaian untuk menggantikan militer Indonesia di Papua, meminta masyarakat
internasional khususnya Amerika Serikat dan Belanda bertanggung jawab atas
pelanggaran HAM di Papua, meminta PBB mengadakan referendum di Papua.
Ketiga, kelompok yang
menyatakan bahwa Indonesia telah mengalami penyimpangan sistem demokrasi
sehingga menimbulkan berbagai konflik horizontal. Oleh karena itu, sistem demokrasi
di Indonesia harus segera diganti dengan sistem khilafah Islamiyah. Mereka
menyebarkan seruannya tersebut melalui media sosial (twitter, facebook,
blogger dll). Mereka juga menyatakan, demokrasi adalah musuh Islam dan para
penyelenggara demokrasi adalah musuh orang yang beriman. Selain itu, demokrasi
dinilai sumber perpecahan dan pertikaian sesama bangsa, sehingga sistem
demokrasi harus diganti dengan Syari’at Islam.
Kepada kelompok-kelompok yang
berencana untuk memboikot Pemilu 2014 ataupun setidaknya tidak memilih atau
golput, maka perlu diberikan pencerahan secara terus menerus melalui
pemberitaan media massa yang sehat, pemikiran tokoh-tokoh masyarakat yang
berimbang dan tidak memihak, penyelesaian masalah-masalah yang masih
mengganjal pelaksanaan Pemilu 2014 sampai kepada melakukan penegakkan
hukum secara proporsional jika ditemukan adanya kelompok-kelompok tertentu
dengan menggunakan kekerasan berusaha untuk memboikot atau
menggagalkan Pemilu 2014 atau melarang masyarakat ke TPS-TPS, karena kelompok
ini sebenarnya jelas ingin merusak negara.
Melorot dan Terpuruk
Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) mengukur kebebasan sipil, hak-hak politik dan lembaga demokrasi. Dari
3 aspek dibreakdown menjadi 11 variabel (kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari
diskriminasi, hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan
keputusan dan pengawasan pemerintahan, Pemilu yang bebas dan jurdil,
peran DPRD, peran parpol, peran birokrasi pemda dan peradilan yang
independen). Dari hasil pengukuran IDI selama 2009-2012, tahun 2009 capaian
kinerja demokrasi Indonesia dengan indeks 67,30, 2010 turun menjadi 63,17,
tahun 2011 menjadi 65,48 dan tahun 2012 menjadi 62,63. Capaian IDI tersebut
menunjukkan Indonesia dalam kategori demokrasi berkinerja sedang. Sebanyak
27 propinsi berkinerja sedang dan 6 propinsi berkinerja rendah. 5 indikator
dari 28 indikator yang menyebabkan turunnya IDI tahun 2012 yaitu jumlah
kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan
berpendapat, kualitas daftar pemilih, jumlah demonstrasi/mogok yang bersifat
kekerasan, prosentase jumlah perda yang berasal dari hak inisiatif DPRD dan
jumlah rekomendasi DPRD kepada eksekutif.
Provinsi yang mengalami
kenaikan indeks pada aspek kebebasan sipil pada 2012 yaitu DIY, Papua Barat,
Lampung, Sulteng, Aceh, NTB, Papua, Kaltim, Sultra, Sulsel, Sumsel dan Jatim,
sedangkan 21 propinsi lainnya mengalami penurunan pada 2012. Propinsi yang
tetap/naik indeks pada hak-hak politik pada 2012 sebanyak 19 daerah yaitu
Jateng, NTB, Jabar, Sultra, Jambi, Sulteng, Papua Barat, DIY, NTT, Papua,
Babel, Jakarta, Sulsel, Sulut, Sumsel, Gorontalo, Banten, Kaltim dan Maluku
Utara.
Sedang 14 propinsi mengalami penurunan indeks aspek hak-hak politik
pada 2012. Propinsi yang mengalami kenaikan indeks pada aspek lembaga demokrasi
pada 2012 sebanyak 15 daerah yaitu Sumbar, Bengkulu, Lampung, Babel,
Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulbar, Maluku Utara
dan Papua Barat, sedangkan 18 propinsi lainnya mengalami penurunan.
Namun, jika pelaksanaan Pemilu
2014 tidak berjalan dengan aman, lancar dan damai bahkan sempat ditandai
dengan adanya asassination terhadap figur-figur capres tertentu, maka dapat
dipastikan Indonesia akan semakin melorot dan terpuruk, sehingga tidak
menutup kemungkinan Indonesia akan diisolasi oleh masyarakat dunia, karena
dinilai sebagai negara yang kurang beradab. Oleh karena itu, tidak ada alasan
apapun juga: Pemilu 2014 harus diupayakan semaksimal mungkin untuk berjalan
dengan aman, lancar dan damai dengan et all cost. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar