Survei
Politik
Kadir ; Bekerja di Badan
Pusat Statistik (BPS), Jakarta
|
TEMPO.CO,
05 April 2014
Statistik
kadang-kadang identik dengan kebohongan, yang dibungkus dengan cita rasa
ilmiah, cita rasa kuantitatif. Dalam soal statistik, sungguh menarik bila
kita mencermati dua hasil kerja statistik (baca: survei) terbaru mengenai
tingkat keterpilihan (elektabilitas) sejumlah figur sebagai calon presiden
(capres).
Dua
hasil survei ini dirilis oleh lembaga survei yang berbeda pada Maret lalu,
dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Anehnya, meski kedua survei
dilakukan pada bulan yang sama, bahkan pada rentang waktu yang hampir
bersamaan, hasilnya sungguh jauh berbeda.
Hasil
survei pertama dirilis oleh Indonesia
Network Election Survey (INES) pada 31 Maret. Survei dihelat pada 14-21
Maret lalu, dan hasilnya menunjukkan, lima figur dengan elektabilitas tertinggi
adalah Prabowo Subianto (35,6 persen), Megawati Soekarnoputri (17,1 persen),
Jokowi (16,2 persen), Wiranto (9,5 persen), dan Aburizal Bakrie (7,5 persen).
Selang
beberapa hari sebelumnya (26 Maret), Charta Politika juga merilis hasil
survei mengenai elektabilitas capres. Dari sejumlah figur yang disurvei pada
1-8 Maret 2014, hasilnya menunjukkan, lima figur dengan elektabilitas
tertinggi adalah Jokowi (37,4 persen), Prabowo (14,5 persen), Aburizal Bakrie
(9,9 persen), Wiranto (7,2 persen), dan Jusuf Kalla (5,5 persen).
Hasil
survei memang merupakan potret pandangan pemilih pada saat survei dilakukan.
Tapi, apakah pandangan itu begitu dinamis dengan volatilitas yang sangat
tinggi, sehingga bisa berubah dalam sekejap waktu? Menariknya lagi, konon kedua survei ini
menggunakan metode pencuplikan sampel berpeluang (probability sampling
method), sehingga kesahihannya bisa dipertanggungjawabkan menurut kaidah
statistik.
Secara
statistik, perbedaan hasil dua buah survei yang memotret variabel yang sama
(elektabilitas) dari populasi yang sama (pemilih) memang sebuah keniscayaan.
Namanya juga survei sampel. Perbedaan muncul karena setiap survei memotret
populasi dari sampel responden yang berbeda. Namun, lain soal bila perbedaan
yang terjadi begitu tajam, bahkan dengan pola yang saling bertolak belakang.
Dengan
perbedaan setajam ini, pertanyaan yang menyeruak bisa jadi bukan soal hasil
survei mana yang paling presisi, tapi mana yang bisa menjadi pegangan (baca:
benar) untuk menggambarkan preferensi pemilih. Karena itu, cukup beralasan
bila kita sedikit khawatir: lembaga survei telah menjadi alat politik untuk
mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam semalam. Dan, bisa jadi
survei-survei politik yang dilakukan selama ini atas pesanan pihak-pihak yang
ingin dilambungkan popularitasnya.
Idealnya,
ada semacam lembaga (watchdog) yang memiliki otoritas untuk memverifikasi
kesahihan dan keandalan metodologi yang digunakan oleh lembaga survei. Siapa
yang bisa menjamin sampel 1.200 atau 6.588 responden tidak bias dalam
menggambarkan pandangan 187 juta pemilih yang begitu heterogen?
Lembaga
yang dimaksud dapat berasal dari kalangan akademisi, praktisi lembaga survei,
atau lembaga khusus bentukan pemerintah. Selain aspek metodologi,
independensi, dan obyektivitas, lembaga survei juga harus dikawal. Dengan
demikian, hasil survei politik yang disajikan di ruang publik adalah potret
mengenai realitas, bukan informasi yang bias dan menyesatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar