Pendapatan
Petani
Iswadi ; Pemerhati Ketahanan Pangan Indonesia
|
KOMPAS,
23 April 2014
Nilai
tukar petani (NTP), Maret 2014, hanya mampu merangkak naik 0,07 persen
setelah bulan sebelumnya turun 0,16 persen dari kondisi Januari. Sejak 2008,
NTP yang merupakan indikator kesejahteraan dan pendapatan relatif petani
tidak menunjukkan perbaikan berarti. Kenaikan nilai dan harga produksi
pertanian tak mampu ”menaklukkan” kenaikan nilai yang dibayar petani untuk
kebutuhan pokok dan input usaha pertanian. NTP nasional Maret 2014 sebesar
101,86 masih cukup jauh dari target pemerintah minimal 110.
Pada
2013, sektor pertanian—termasuk peternakan, perikanan, dan kehutanan—hanya
mampu memberikan sumbangan 0,45 persen terhadap 5,78 persen pertumbuhan
ekonomi Indonesia, lebih kecil dibandingkan sektor jasa kemasyarakatan,
sosial, dan perseorangan. Bahkan, sektor pertanian jadi penyebab utama
turunnya pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) di triwulan IV-2013
sebanyak 1,42 persen dengan kontribusi penurunan sangat besar (22,84 persen)
dibanding triwulan III-2013. Wajar jika tenaga kerja, terutama angkatan kerja
baru, lebih memilih bekerja di luar sektor pertanian. Faktual, jumlah rumah tangga
usaha pertanian turun 5,10 juta rumah tangga atau 16,32 persen selama satu
dekade terakhir (Sensus Pertanian 2013).
Miris
memang jika melihat komposisi umur petani utama, petani dengan nilai produksi
tertinggi di satu rumah tangga, hasil Sensus Pertanian 2013. Sektor pertanian
masih banyak (32,76 persen) mengandalkan petani berumur 55 tahun atau lebih.
Komposisi ini sungguh menyedihkan, mengingat idealnya petani dengan usia
tersebut seharusnya sudah pensiun dan tak lagi jadi tulang punggung rumah tangga.
Sebaliknya,
persentase petani utama dengan umur di bawah 35 tahun hanya sekitar 12,87
persen. Angka ini mengisyaratkan kurangnya keterlibatan tenaga kerja muda di
usaha produksi pertanian. Suatu fenomena yang sangat berbahaya bagi
kedaulatan pangan negeri yang masih menyandang sebutan ”negara agraris” ini.
Jika dibiarkan, pertanian sepi peminat dan berakibat menurunnya usaha
produksi pangan.
Sebenarnya
sangat masuk akal jika angkatan kerja baru enggan berkecimpung dalam usaha
produksi pertanian. Gambaran kehidupan pedesaan yang dihiasi kemiskinan
seolah jadi mimpi buruk. Jarang orangtua yang mengarahkan anak mereka untuk
menjadi petani. Sebagian besar sarjana pertanian sekalipun ketika mereka
lulus kuliah tidak memilih bekerja sebagai petani.
Faktanya,
gambaran miskin petani bukan sekadar isapan jempol. Angka BPS menunjukkan,
dari 28,55 juta penduduk miskin, 62,76 persen tinggal di pedesaan yang
sebagian besar bergantung pada pekerjaan di sektor pertanian, baik sebagai
petani maupun buruh tani.
Tak ada jaminan
Usaha
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan petani melalui peningkatan
pendapatan masih bisa dibilang ”kurang” berhasil. Meski berbagai program
telah dijalankan, mulai dari bantuan pengadaan input usaha dan alat sarana pertanian, subsidi harga, subsidi
bunga pinjaman, hingga jaminan harga untuk beberapa komoditas strategis,
kenyataannya pendapatan relatif petani terhadap naiknya biaya hidup tak
kunjung mencapai hasil yang memuaskan.
Hasil
Sensus Pertanian 2003 menunjukkan, selama periode Juni 2003-Mei 2004, lebih
dari 90 persen rumah tangga pertanian tak pernah memperoleh bantuan dari
pemerintah, baik berupa kredit maupun nonkredit. Kondisi membaik pada 2011
(Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Pangan 2011) untuk usaha komoditas
padi, jagung, dan kedelai, hampir 50 persen telah menerima bantuan dari
pemerintah. Tapi, usaha tanaman pangan lainnya hanya 30 persen yang pernah
menerima bantuan pemerintah. Keterlibatan lembaga nonpemerintah dalam
meningkatkan pendapatan petani juga masih sangat minim. Kurang dari 1 persen
rumah tangga usaha tanaman pangan yang pernah menerima bantuan dari mereka.
Peningkatan
pendapatan petani melalui pemberlakuan jaminan harga seperti harga pokok
penjualan beras dan harga beli petani (HBP) kedelai sebenarnya menunjukkan keseriusan
pemerintah mengupayakan perbaikan pendapatan petani. Kenyataan di lapangan,
sosialisasi informasi jaminan harga, terutama HBP kedelai, belum optimal.
Banyak petani masih ragu akan adanya jaminan harga itu, mendorong mereka
tidak memilih usaha kedelai mengingat risiko yang lebih tinggi dibanding
komoditas lainnya.
Keterlambatan
bantuan input usaha pertanian seperti benih dan pupuk masih sering dikeluhkan
petani. Untuk usaha tanaman padi, misalnya, puncak tanam terjadi pada sekitar
awal Maret setiap tahunnya. Akan tetapi, alur birokrasi yang kurang pas
membuat bantuan benih belum tersedia saat petani harus segera melakukan
penanaman. Walhasil, daripada terlambat tanam, petani lebih memilih menanam
dengan benih apa adanya tanpa memedulikan kualitas. Keterlambatan penyediaan
bantuan juga berkaitan sistem tahun anggaran di negeri ini. Anggaran belum
bisa dicairkan dengan mudah pada awal-awal tahun kalender, padahal sifat
musim di sebagian besar wilayah potensi pertanian di Indonesia menuntut
petani untuk segera memulai penanaman di awal tahun.
Informasi
mengenai kondisi pendapatan petani sangat urgen untuk segera diketahui.
Sebab, pendapatan yang cukup kunci bagi petani tetap semangat mempertahankan
usaha menyediakan pangan di negeri ini. Pendapatan yang tinggi juga merupakan
daya tarik yang ”sexy” bagi angkatan kerja baru untuk mulai melirik usaha
produksi pangan.
Survei
Pendapatan Rumah Tangga Usaha Pertanian 2013 (SPP 2013) yang tengah memasuki
tahap pengolahan data merupakan upaya BPS memenuhi kebutuhan akan informasi
pendapatan petani yang mutakhir. Lebih lanjut, survei penting ini juga
mengumpulkan informasi mengenai karakteristik usaha serta keadaan sosial
ekonomi rumah tangga pertanian. Menurut jadwal, hasil survei ini sudah dapat
digunakan untuk analisis pada Juni 2014.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar