Pemilu
yang Bermutu
Abdul Mu’ti ; Sekretaris PP
Muhammadiyah,
Pengajar FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 05 April 2014
Tanggal
9 April, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu). Walaupun
hari pemungutan suara sudah dekat, suasana hajatan akbar demokrasi masih
terlihat adem ayem. Kampanye
terbuka juga tidak begitu meriah.
Bahkan
hasil survei yang baru saja dirilis 3 April menunjukkan bahwa hanya 8% calon
pemilih menyatakan mengikuti kampanye dan hanya 8,9% mengaku telah dikontak
oleh partai, caleg DPR/ DPRD, tim sukses, atau relawan. Secara umum, sikap
masyarakat terhadap pemilu dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, kelompokkritisyangskeptis dan antipati terhadap pemilu. Kelompok ini
terdiri dari dua golongan. Pertama, mereka yang menolak Pemilu karena alasan
teologis. Pemilu adalah sistem kafir yang bertentangan dengan agama.
Kedua,
mereka yang menolak pemilu karena alasan sistemik. Bagi mereka demokrasi
hanyalah formalitas politik yang muspra,
hanya menguntungkan elite politik dan kendaraan para penguasa untuk
melanggengkan kekuasaannya. Kelompok pertama ini cenderung tidak memilih
(golput). Kedua, kelompok apatis-pragmatis yang memilih sesuai ”pesanan”. Ada
tiga istilah peyoratif NPWP (Nomor Piro
Wani Piro), ARAS (Ada Rupiah Ada
Suara), PESTA (Tipis-tipis tapi
merata). Pemilu merupakan kesempatan untuk mengais rezeki dan memeras
caleg.
Mereka
mengikuti partai apa saja dan menerima uang dari siapa saja. Ketiga, kelompok
idealis-konstruktif. Bagi kelompok ini, pemilu adalah proses penting untuk
menentukan masa depan. Pemilu adalah bentuk sistem permusyawaratan rakyat
modern yang sangat diperintahkan oleh agama. Walaupun memiliki kekurangan,
pemilu adalah sistem yang paling damai, objektif dan adil dalam pengambilan
keputusan publik serta membuka harapan spirit level dan mobilitas sosial
vertikal bagi setiap warga negara. Untuk itu diperlukan pemilu yang bermutu.
Penyelenggaraan dan Hasil Bermutu
Terdapat
dua parameter pemilu yang bermutu. Pertama, penyelenggaraan yang bermutu.
Untuk ini, ada empat hal yang harus terpenuhi. Pertama, data yang bermutu.
Akurasi data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pemilih adalah penentu
keberhasilan. Masyarakat memerlukan kepastian dan kepercayaan bahwa mereka
yang berhak memilih (eligible)
mendapatkan haknya. Dalam demokrasi, memilih bukan sekedar hak tetapi
kedaulatan. Kedua, logistik yang bermutu. Hal ini terkait erat dengan
ketersediaan dan kualitas surat suara. Ketiga, pemungutan suara yang bermutu.
Diperlukan
suasana yang aman, nyaman dan bersahabat yang menjamin kerahasiaan dan
ketenangan masyarakat menentukan pilihan di bilik suara. Keempat, penghitungan
suara yang bermutu. Potensi kisruh pemilu yang terbesar terletak pada hasil
pemilu. Kuncinya adalah kejujuran para penyelenggara pemilu. Setiap suara
adalah amanah, bagaimanapun dan apapun motif seseorang memberikan suara.
Nihilisasi suara adalah pengkhianatan. Pencurian suara adalah tindak
kriminal.
Parameter
pemilu bermutu yang kedua adalah hasil pemilu. Ada tiga ukuran hasil pemilu
yang bermutu.
Pertama,
anggota legislatif yang bermutu. Meskipun pemilu tinggal menghitung hari,
sebagian masyarakat bimbang menentukan pilihan. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
memandu umat Islam agar memilih caleg muslim/muslimah yang berkualitas,
berakhlak mulia, jujur, amanah, dan berkomitmen memajukan umat dan bangsa
menuju cita-cita negara yang adil dan makmur. Muhammadiyah menganjurkan
warganya agar memilih caleg dari kalangan kader yang aspiratif terhadap
perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi
munkar. Panduan MUI dan Muhammadiyah sangat jelas. Masalahnya, masyarakat
tidak mengenal siapa mereka. Masyarakat tidak mengenal caleg yang fotonya
terpajang di mana-mana dan gagal memaknai dermawan dadakan yang mengetuk
pintu rumahnya.
Kedua,
semakin kukuhnya persatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Esensi
demokrasi adalah kebebasan. Ibarat memilih pasangan hidup, pilihan politik
adalah persoalan preferensi subyektif yang harus mendapatkan penghormatan.
Apa pun partainya, Indonesia Raya harus tetap jaya. Perlu sikap ksatria dan
kedewaan politik: sing menang ora umuk,
sing kalah ora ngamuk (yang menang
tidak takabur, yang kalah tidak merusak).
Ketiga,
kehidupan bangsa yang lebih baik. Hasil yang ketiga ini bersifat longitudinal
tergantung kinerja, komitmen dan konsistensi anggota legislatif terpilih.
Anggota legislatif bukan manusia biasa. Mereka memiliki kewenangan
konstitusional yang menentukan arah biduk Indonesia dengan ratusan juta
penumpangnya. Para legislator adalah aktor di balik produk undang-undang yang
menentukan merah-hitamnya Indonesia. Hasil-hasil pemilu adalah penentu siapa
nakhoda Indonesia: presiden dan wakil presiden.
Pemilu gagal
bukan karena tidak terselenggara. Pemilu akan gagal jika yang dihasilkan
adalah anggota dewan badut yang mahir menyihir dengan kebohongan manis di
balik topeng politiknya. Pemilu akan sia-sia dan mubazir belaka, jika yang
terpilih adalah para kartel yang menjual kekayaan negara, biadab menguras
kekayaan alam demi kekayaan pribadi dan terbahak di tengah keterpurukan
rakyatnya. Suara adalah simbol kemerdekaan, kedaulatan dan kebebasan. Setiap
suara memiliki makna, mengapa tidak menunaikannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar