Hajatan
Itu Bernama Pemilu
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 05 April 2014
Pemilu,
sebagai peristiwa budaya, tak lebih sakral dari hajatan perkawinan. Banyak
yang terlibat, lebih banyak lagi yang repot, walau yang berkepentingan hanya
pengantinnya. Banyak sekali yang repot menjadi panitia, mengatur tata krama,
lengkap dengan pasal dan sanksi serta hukuman, serta berbagai kecemasan yang
diciptakan karena tak bisa dipenuhi.
Kapan
hajatan, siapa yang diundang, pakaian seragam penyambut tamu, sampai siapa
duduk di mana. Pemilu yang merepotkan kita lakoni karena kita memilih
demokrasi. Apa dan berapa pun harga yang dituntut kita bayar. Hajatan
perkawinan kita adakan karena kita memilih itu cara terbaik melakoni rumah
tangga— meskipun tetap ada kumpul kebo, kawin di bawah tangan, atau apa pun
namanya. Demikianlah kita hidup pada pilihan yang menjadi kesepakatan
bersama.
Suara Rakyat, Milik Partai?
Karena
mirip hajatan, harusnya kita tak risau-risau amat dengan uang politik. Baik
itu sejak di pengerahan massa waktu kampanye atau waktu ”serangan fajar”
menjelang pencoblosan. Bukan karena apa, karena itu hal yang biasa, yang
wajar. Beberapa tokoh masyarakat sok suci dengan mengecam, menyalahkan–walau
tak bisa menghentikan, menemukan alasan pelarangan. Peraturan yang dibuat dan
akhirnya bikin frustrasi sendiri karena tak bisa mengawasi atau menangani.
Atau hal yang lebih besar: pengawasan kampanye, di mana memakai media apa.
Peta
pemilu 2014 pastilah berbeda jauh dengan tahun 1955, di mana peran media
massa sekarang ini demikian dominan. Satu-satunya kontrol yang berlaku adalah
tiadanya pemaksaan. Itu juga berlaku untuk nonpemilu dan audit yang terbuka.
Yang harus dirumus kembali mestinya adalah peranan parpol sebagai panitia
penampung titipan suara saat pemilu. Dalam hal ini rakyat memilih orang, dan
kalau suatu ketika orang yang dipilih itu tidak benar—banyak membolos, banyak
tidur, korupsi— harusnya dipecat dan hak keanggotaan sebagai wakil rakyat
hilang.
Bukan
menjadi milik partai, yang seenaknya menunjuk ”pengganti antarwaktu”. Sejak
kapan ada anggapan bahwa partai politik menjadi pemilik suara, kalau
pemilihan yang dilakukan berdasar pilihan pada pribadi? Ini bisa dilihat lagi
meski para petinggi partai yang duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat lebih
banyak ogahnya mempersoalkan hal yang merugikan wewenangannya.
Kompromi dan atau Kerja Sama
Meski
pemilu telah dilakukan sejak tahun 1955, kayaknya tidak ada desain besar yang
menjadi pijakan yang sama dan berkesinambungan. Masing-masing pemilu—atau
bahkan saat tak ada pemilu padahal seharusnya ada—memiliki kuasa, warna, yang
bisa berbeda. Demikianlah pemilu bisa diikuti dua partai atau banyak partai,
bisa ditentukan 12 atau tambah tiga untuk daerah. Atau, juga bagaimana nanti
menentukan suara ini masuk ke mana jika ada kelebihan yang tidak masuk dalam
pembagian. Termasuk, mengajukan syarat calon presiden atau wakil presiden.
Atau,
yang sederhana misalnya berapa jumlah proporsional yang berjenis kelamin
perempuan. Dengan demikian, sebenarnya sejak awal pun kompromi atau
penyesuaian telah dilakukan, telah dioplos, dan disepakati— terpaksa atau
tidak. Kompromi atau kerja sama atau kata lain yang lebih sedap, lebih
didengungkan. Dalam dinamika yang sama kompromi, atau menjajal- jajal, terjadi
sejak awal dalam masing-masing kandidat. Sehingga, selalu ada dukun politik,
sehingga selalu ada survei, selalu ada siapa mengecam siapa— atau mengecam
diri sendiri, selalu ada yang merasa lebih ideologis dari yang pragmatis,
karena selalu ada dan selalu terbuka semua kemungkinan.
Semua
serbamungkin dan dibolehkan, termasuk mencalonkan orang gila sekalipun selama
tidak terdeteksi sebelumnya. Pada titik pertarungan ini kadang bukan siapa
yang menyampaikan visi dan misi yang lebih cemerlang, melainkan siapa yang
lebih dungu terlihat sebagai pecundang. Baik karena ketidaksiapan atau karena
kasus dadakan yang menghancurkan. Dengan kata lain, bukan perang
ideologi—karena nyaris sama, melainkan siapa yang lebih banyak melakukan
kesalahan ialah yang tersingkir. Dalam sepak bola, mungkin kemenangan
kesebelasan karena lawan melakukan gol bunuh diri.
Siapa Sakti, Siapa Sakit
Tidak
berarti tak perlu tokoh yang sakti untuk menjadi pemenang atau yang terpilih.
Tokoh sakti tetap diperlukan atau menjadi modal utama. Namun untuk menjadi
pemenang, masih banyak faktor lain, faktor yang di luar desain besar, di luar
perencanaan atau simpulan para cerdik cendekia. Kini kita berada dalam
situasi ini. Sebagian mungkin tak tertarik memilih partai, namun itu jalannya
kalau mau memilih calon. Sebagian, bahkan mungkin sekali, tak berminat
dicalonkan oleh partainya—biasanya yang sudah mapan dengan kerja
profesionalnya, tapi terpaksa ikutan.
Masyarakat
ikut menilai tokoh-tokoh itu begitu, kurang ini atau kurang itu, tapi andai
saja, tokoh itu yang ke-mudian terpilih, kita mengiya. Andai partai politik
yang tak kita kehendaki menjadi pemenang, akhirnya kita semua akan menerima
juga. Bukan tidak mungkin tokoh yang sekarang kita tertawakan atau sinisi,
yang bermodal ketenaran atau kenekatan, bisa terpilih, bisa menjadi wakil
kita semua. Dia akan memberi warna penentu untuk lima tahun mendatang. Karena
negeri ini memilih pijakan demokrasi, ya sudahlah, kita saksikan ada pemilu.
Kita rela untuk ikut memilih. Walau tak bisa memaksa kalau ada yang tak mau
memilih. Dan, karena secara pribadi kita dulu dihajati dalam kawinan, ya kita
teruskan ke anak cucu. Begitulah, baik pemilu dan perkawinan menjadi hajatan.
Mudahmudahan jadinya makin baik— untuk semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar