Kasus
Pajak Mantan Dirjen Pajak
Chandra Budi ; Bekerja di Ditjen Pajak, Penulis buku “Urus Pajak Itu Sangat
Mudah”
|
JAWA
POS, 23 April 2014
KETIKA
mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo (HP) ditetapkan
sebagai tersangka atas kasus keberatan pajak BCA semasa menjabat Dirjen Pajak
pada periode 2003-2004 (21 April 2014), tentu publik penasaran tentang detail
kasus yang disangkakan. Juga alasan menyangkut materi penyidikan, Ketua KPK
Abraham Samad sangat terbatas dalam menjelaskan detail kasus yang terjadi.
Yang pasti, menurut KPK, ditemukan dua alat bukti yang kuat sehingga HP
diduga menyalahgunakan wewenang selaku Dirjen Pajak dan negara dirugikan
sekitar Rp 375 miliar.
Seperti
yang banyak diberitakan, kasus pajak HP ini berkaitan dengan pengajuan
keberatan oleh wajib pajak -BCA- atas kredit macet (nonperforming loan/NPL) sebesar Rp 5,75 triliun. Kalau merujuk
informasi ini, materi yang disangkakan kepada HP dapat ditebak. Tentu
pengajuan keberatan oleh BCA berawal dari satu keputusan pajak yang
ditetapkan sebelumnya, produk hukum hasil pemeriksaan.
Karena
kasus pajak tersebut terjadi pada 2003-2004, kebijakan tentang NPL mengacu
pada UU Pajak Penghasilan (PPh) Perubahan pada 2000 dan Keputusan Dirjen
Pajak Nomor 238 Tahun 2001. Disebutkan dalam pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh
bahwa besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri
ditentukan dari penghasilan bruto dikurangi piutang yang nyata-nyata tidak
dapat ditagih dengan persyaratan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Dirjen
Pajak. Dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 diuraikan NPL yang
dapat dijadikan biaya harus memenuhi syarat akumulatif berupa: telah
dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial, telah diserahkan
perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau badan urusan piutang dan
lelang negara atau adanya perjanjian tentang penghapusan piutang antara
kreditor dan debitor yang bersangkutan, telah diumumkan di media massa dan
wajib pajak harus menyerahkan daftar debitor NPL kepada Ditjen Pajak.
Nah,
walaupun telah menyerahkan seluruh persyaratan, tetap terjadi koreksi karena
secara material tidak memenuhi syarat. Misalnya, apabila pemeriksa pajak
menemukan bahwa di dalam daftar debitor NPL yang disampaikan terdapat debitor
yang memiliki hubungan istimewa dengan pengurus bank atau keluarganya atau
ditemukan identitas debitor yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Di pihak
lain, wajib pajak tetap berpendapat benar karena Peraturan Dirjen Pajak Nomor
238 Tahun 2001 tidak mengatur hal tersebut. Karena baru pada 2010 menteri
keuangan menerbitkan aturan NPL yang lebih komprehensif yang di dalamnya juga
mengatur hubungan istimewa debitor. Akibatnya, wajib pajak mengajukan
keberatan atas ketetapan pajak sebelumnya, yang kemudian ditangani tim
keberatan Kantor Pusat Ditjen Pajak karena jumlahnya sangat signifikan.
Karena
belum diatur, analisis, kebijakan, dan keputusan keberatan yang dikeluarkan
Ditjen Pajak seharusnya konsisten untuk seluruh kasus serupa. Maka, wajar
ketika KPK menemukan kejanggalan atas dikabulkannya keberatan BCA ini.
Solusi
Terlepas
dari polemik dan intrik politis kasus ini, yang sering disebut ada
hubungannya dengan kasus Bank Century yang diaudit BPK atau melimpahnya harta
hibah milik HP, setidaknya dari perspektif perpajakan ada hikmah berharga di
dalamnya. Satu hal yang harus diakui bahwa ketentuan atau aturan hukum
tentang perpajakan masih terus harus disempurnakan.
Sebenarnya
Keputusan Dirjen Pajak Nomor 238 Tahun 2001 yang mengatur pembiayaan NPL juga
telah disusun dengan prinsip kehati-hatian dan bertujuan mendukung likuiditas
dunia perbankan. Untuk meminimalkan kerugian negara atas produk hukum pajak
yang diterbitkan, diatur klausul apabila di kemudian hari NPL yang telah
dibebankan tersebut ternyata dibayarkan oleh debitor yang bersangkutan, maka
piutang yang dibayarkan tersebut merupakan penghasilan dan dikenakan pajak.
Namun, ternyata, masih banyak celah akibat belum adanya pengaturan yang jelas
dan terperinci tentang ini. Karena itu, terbitnya UU PPh yang baru pada 2009,
dan pengaturan tentang pembebanan NPL didasarkan pada Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Tahun 2010 -bukan lagi pada Keputusan Dirjen Pajak- diharapkan
mampu meminimalkan perbedaan penafsiran.
Terjadinya
sengketa pajak -keberatan dan banding- sebagian besar diawali dengan
penafsiran aturan pajak yang berbeda antara petugas pajak dan wajib pajak.
Maka, solusi mengatasi hal ini adalah menciptakan aturan pajak yang tidak
multitafsir.
Selain
itu, struktur organisasi yang menangani keberatan pajak juga perlu
dievaluasi. Sejak 2011, sebagian fungsi regulasi di bidang perpajakan telah
dijalankan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan. Dapat saja,
untuk menjawab kritikan besarnya wewenang Ditjen Pajak saat ini, wewenang
penyelesaian keberatan pajak dilepas dari Ditjen Pajak. Kementerian Keuangan
dapat membentuk unit kerja baru yang bertugas menangani proses keberatan
wajib pajak, yang selama ini ditangani Kantor Wilayah Ditjen Pajak. Dengan
demikian, Ditjen Pajak lebih berfungsi sebagai operator penerimaan pajak
dengan fokus pada aspek edukasi dan pengawasan terhadap wajib pajak.
Mau
tidak mau, kasus pajak mantan Dirjen Pajak ini kembali menyeret Ditjen Pajak
ke stigma negatif. Ketika kasus ini terjadi, rentang 2003-2004, Ditjen Pajak
memang baru memulai reformasi perpajakan. Di mana, ada satu Kantor Wilayah
Ditjen Pajak yang menjadi proyek percontohannya, yang kebetulan wajib pajak
BCA terdaftar di salah satu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kantor
Wilayah Ditjen Pajak tersebut. Maka, alangkah eloknya ketika kasus ini masuk
ke ranah pengadilan nantinya, masyarakat dapat terkonfirmasi
ketidakterlibatan tim pemeriksa pajak di KPP pionir reformasi birokrasi
tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar