Internalisasi
Bibit Kebinekaan
Asruriyati ; Guru SMP 3 Wanayasa
Kabupaten Banjarnegara
|
SUARA
MERDEKA, 05 April 2014
Apa yang terbersit dalam benak
para pelajar Indonesia saat mendengar kata Bhinneka Tunggal Ika? Patut
menyodorkan pertanyaan ini mengingat
dinamika kebangsaan saat ini benar-benar menuntut penerimaan dan penghargaan
yang luas terhadap keberbedaan dan keteguhan untuk tetap merasa sebagai satu
bangsa.
Pelajar adalah cikal yang akan
mengejawantahkan semboyan itu pada masa mendatang. Penting memastikan bahwa
Bhinneka Tunggal Ika bagi mereka bukan hanya slogan pada lambang negara, dan
bukan pula sekadar pengetahuan tentang ragam rumah adat, pakaian tradisional,
dan makanan khas daerah.
Bhinneka Tungal Ika adalah nilai
adiluhung yang harus
diinternalisasikan dan diterapkan, dan sedapat mungkin membuat mereka
merasakan dan mengalami kebinekaan, tak hanya dalam tataran kognitif. Untuk
mendukung internalisasi kebinekaan pada kalangan pelajar, Kemdikbud merancang
program Afirmasi Pendidikan Menengah
(Adem).
Program ini dilatarbelakangi
kesenjangan pendidikan antara Jawa dan daerah terdepan, terluar, dan
tertinggal (3T). Kesenjangan ini merupakan salah satu faktor yang menghambat
pencapaian indeks pembangunan manusia (IPM) nasional yang tinggi. Program Adem dianggap dapat mengurangi
kesenjangan itu.
Tahun 2013, program itu
memfasilitasi siswa asal Papua dan Papua Barat untuk menempuh pendidikan
jenjang SMA/SMK di sekolah unggulan di Provinsi Jateng, DIY, Banten, Jabar,
Jatim, dan Bali. Tahun 2014 spektrum program diperluas untuk Provinsi Kalbar,
Maluku dan NTT.
Selain mempercepat pembangunan
di daerah 3T, program tersebut juga sebagai upaya transformasi kultur
akademik sehingga pelajar dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal tidak
mengalami gegar budaya bila melanjutkan pendidikan tinggi di Jawa.
Dalam perspektif kebinekaan,
program Adem sangat mendukung
internalisasi semboyan Bhinneka Tunggal Ika di kalangan pelajar. Mereka bisa
bergaul dengan sesama anak bangsa, dari daerah dengan kultur berbeda.
Pergaulan ini memungkinkan terjadinya akulturasi budaya, pemahaman dan
penerimaan terhadap keberbedaan.
Apabila dilakukan secara masif,
Adem bisa memperkokoh persatuan bangsa melalui generasi muda. Bagi pelajar
yang berasal dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, program tersebut
memungkinkan mereka merasa sebagai bagian dari bangsa yang besar tanpa
kesulitan akses sebagaimana selama ini mereka alami.
Nilai Kebinekaan
Kemerebakan tawuran di kalangan
pelajar juga menjadi indikasi kurangnya internalisasi nilai kebinekaan yang
memicu pelajar begitu rentan terhadap risiko konflik. Permasalahan sepele
bisa memantik pertikaian yang mempertaruhkan nyawa. Alangkah baiknya bila mereka
disibukkan berbaur dengan sesama anak bangsa dari berbagai penjuru Tanah Air.
Generasi muda yang
direpresentasikan oleh pelajar/mahasiswa diyakini sebagai ujung tombak
pembangunan pada masa depan. Ketika mereka menjadi tidak toleran terhadap
perbedaan, misal berkait kasus tawuran maka patut mempertanyakan keberhasilan
pendidikan karakter di sekolah.
Sekali lagi, kebinekaan bukan
hanya untuk diketahui melainkan juga untuk dirasakan dan dialami. Hal ini
pula yang melatarbelakangi kemunculan gerakan ’’Sabang Merauke’’ (Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali)
yang diprakarsai sekelompok anak muda di Jakarta.
Melalui gerakan itu, anak-anak
sekolah dari berbagai daerah (biasa disebut AMS,
Anak Sabang Merauke) diasuh oleh keluarga dengan suku, budaya, bahkan
agama berbeda (disebut FMS, Famili Sabang Merauke).
Dengan mengalami sekaligus
menjalani kebinekaan dan toleransi, peserta Sabang Merauke mengerti kebesaran
bangsanya bukan isapan jempol. Ragam suku, bahasa, adat istiadat, agama,
hingga kebiasaan sehari-hari mencerminkan betapa besar bangsa ini. Program Adem memungkinkan disemaikan secara
masif melalui dinas yang terkait di tiap daerah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar