Selasa, 25 Maret 2014

Revisi Regulasi Perbankan

Revisi Regulasi Perbankan

Susidarto  ;   Praktisi Perbankan di Yogyakarta
SUARA MERDEKA  24 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
DEWAN Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kini tengah membahas revisi UU Nomor 10 Tahun 1998 (yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 29 Tahun 1999) tentang Perbankan.

Revisi undang-undang itu sudah masuk Prolegnas 2014, dengan nomor urut 49 dari 66 rancangan. Kendati berada pada nomor urut jauh, sinyal positif sudah datang dari sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Mereka mengagendakan mengundang sejumlah pihak guna menjaring masukan terkait rencana revisi.

Pihak yang diundang antara lain Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda), dan Perbarindo (untuk BPR). Termasuk Bank Indonesia (BI), pejabat yang akan memimpin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pakar bidang keuangan.

Benar apa yang dikatakan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono, yang meminta penundaan pembahasan revisi UU itu hingga jelas falsafah dan tujuannya. Ia berpendapat pemangku kepentingan perlu lebih dulu menetapkan filosofi dan target dari revisi tersebut. Misal untuk memfasilitasi supaya negeri ini segera memiliki bank terbesar di kawasan regional.

Cita-cita itu harus tercakup dalam rancangan baru regulasi. Saat ini, para wakil rakyat belum bisa menjelaskan dasar perlunya merevisi regulasi itu. Jangan sampai penyusunan dilakukan tergesa-gesa, berkait kesibukan Pileg dan Pilpres 2014, sehingga hasil dari revisi tersebut tak memiliki landasan jelas.

Bila sudah jelas landasan utama dan tujuannya maka bisa merumuskan berbagai hal yang mengerucut pada pencapaian tujuan mulia. Tujuan mulia itu di antaranya memiliki bank berkaliber internasional, atau bank khusus seperti bank pertanian, bank infrastruktur dan sebagainya.

Melalui penetapan tujuan yang jelas pula kita bisa menyusun roadmapyang jelas, yang nantinya dibingkai dalam format regulasi baru. Hal semacam ini harus bisa dideskripsikan sebelum berlanjut membahas revisi undang-undang.

Ada beberapa isu penting mengacu berbagai tujuan tersebut, yakni urgensi penerapan asas resiprokal, persoalan kepemilikan saham, izin berjenjang (multiple license), dan pendirian bank khusus. Itulah sederetan persoalan yang menjadi isu krusial dalam revisi UU Perbankan Nomor 10 tahun 1998. Kepesatan perkembangan dunia keuangan perbankan harus diakomodasi regulasi baru supaya bisa menjadi pijakan industri perbankan ke depan.

Masalah kepemilikan saham misalnya, harus diatur ulang. Terlebih kepemilikan saham berkait keamanan perbankan atau good corporate governance, termasuk mencegah penguasaan asing terhadap sektor perbankan domestik. Aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan harus mengacu P B I bernomor 14/8/ PBI/2012.

Peraturan dari bank sentral tersebut menyebutkan batas maksimal kepemilikan saham bank untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan 30%, dan kategori pemegang saham perorangan 20%. Adapun jumlah kepemilikan asing yang semula boleh 99% akan diturunkan menjadi kurang dari 50%.

Dengan begitu, posisi kepemilikan pemodal domestik mendapat kesempatan lebih besar, berada di atas pemodal asing. Kendati demikian, kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia harus dipelihara. Pasalnya jika hanya mengandalkan pemodal dalam negeri, hanya beberapa pengusaha yang bisa masuk.

Berlaku Surut

Perbankan adalah industri padat modal sehingga bila aset meningkat tajam, harus dicover modal bank. Andai terbit peraturan baru mengenai kepemilikan saham sebaiknya retroaktif. Hal itu mengingat sudah ada regulasi dari BI yang mengatur kepemilikan saham asing pada industri perbankan domestik.

Karena itu, regulasi baru berkait kepemilikan saham sebaiknya berlaku surut ke belakang supaya tak bertabrakan dengan regulasi yang ada. Masalah krusial lain yang perlu diperhatikan adalah perlindungan nasabah dan investor. Jangan sampai hasil dari revisi UU tersebut kontraproduktif dengan iklim investasi perbankan.

Terlebih belakangan ini saham perbankan domestik sangat seksi sehingga menarik minat banyak investor asing. Perlu mencari titik baru keseimbangan baru sehingga di mata investor asing, UU baru tersebut juga ramah, serta tidak diskriminatif dan tak alergi terhadap unsur yang berbau asing.

Tentunya, membangun perbankan yang kuat dan besar butuh iklim kondusif bagi pembukaan kantor cabang di luar negeri. Untuk itu, aspek krusial lain adalah penerapan asas kesetaraan atau asas resiprokal.

Kalau perbankan asing boleh membuka cabang di Indonesia konsekuensinya perbankan Indonesia juga memiliki hak akses sama untuk membuka cabang di luar negeri. Tak ada salahnya persoalan ini sedari awal diakomodasi regulasi yang baru. Lebih dari itu semua, amendemen UU Perbankan perlu dilakukan seiring dengan berpindahnya kewenangan pengawasan industri keuangan dari BI kepada OJK.

Tujuannya supaya ada kejelasan separasi tugas sehingga masing-masing institusi bisa menjalankan tugas sesuai kewenangan. Dengan demikian, regulasi yang baru juga harus mampu menata ulang tugas dan wewenang BI dan OJK supaya tidak berkesan tumpang tindih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar