Revisi
Regulasi Perbankan
Susidarto ; Praktisi
Perbankan di Yogyakarta
|
SUARA
MERDEKA 24 Maret 2014
DEWAN
Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kini tengah membahas revisi UU Nomor 10
Tahun 1998 (yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 29 Tahun 1999) tentang
Perbankan.
Revisi
undang-undang itu sudah masuk Prolegnas 2014, dengan nomor urut 49 dari 66
rancangan. Kendati berada pada nomor urut jauh, sinyal positif sudah datang
dari sejumlah anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR. Mereka mengagendakan
mengundang sejumlah pihak guna menjaring masukan terkait rencana revisi.
Pihak
yang diundang antara lain Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas),
Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara), Asosiasi Bank Pembangunan Daerah
(Asbanda), dan Perbarindo (untuk BPR). Termasuk Bank Indonesia (BI), pejabat
yang akan memimpin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pakar bidang keuangan.
Benar
apa yang dikatakan Ketua Umum Perbanas Sigit Pramono, yang meminta penundaan
pembahasan revisi UU itu hingga jelas falsafah dan tujuannya. Ia berpendapat
pemangku kepentingan perlu lebih dulu menetapkan filosofi dan target dari
revisi tersebut. Misal untuk memfasilitasi supaya negeri ini segera memiliki
bank terbesar di kawasan regional.
Cita-cita
itu harus tercakup dalam rancangan baru regulasi. Saat ini, para wakil rakyat
belum bisa menjelaskan dasar perlunya merevisi regulasi itu. Jangan sampai
penyusunan dilakukan tergesa-gesa, berkait kesibukan Pileg dan Pilpres 2014,
sehingga hasil dari revisi tersebut tak memiliki landasan jelas.
Bila
sudah jelas landasan utama dan tujuannya maka bisa merumuskan berbagai hal
yang mengerucut pada pencapaian tujuan mulia. Tujuan mulia itu di antaranya
memiliki bank berkaliber internasional, atau bank khusus seperti bank
pertanian, bank infrastruktur dan sebagainya.
Melalui
penetapan tujuan yang jelas pula kita bisa menyusun roadmapyang jelas, yang
nantinya dibingkai dalam format regulasi baru. Hal semacam ini harus bisa
dideskripsikan sebelum berlanjut membahas revisi undang-undang.
Ada
beberapa isu penting mengacu berbagai tujuan tersebut, yakni urgensi
penerapan asas resiprokal, persoalan kepemilikan saham, izin berjenjang (multiple license), dan pendirian bank
khusus. Itulah sederetan persoalan yang menjadi isu krusial dalam revisi UU
Perbankan Nomor 10 tahun 1998. Kepesatan perkembangan dunia keuangan
perbankan harus diakomodasi regulasi baru supaya bisa menjadi pijakan
industri perbankan ke depan.
Masalah
kepemilikan saham misalnya, harus diatur ulang. Terlebih kepemilikan saham
berkait keamanan perbankan atau good
corporate governance, termasuk mencegah penguasaan asing terhadap sektor
perbankan domestik. Aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan harus
mengacu P B I bernomor 14/8/ PBI/2012.
Peraturan
dari bank sentral tersebut menyebutkan batas maksimal kepemilikan saham bank
untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan
bank 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan 30%, dan kategori pemegang saham
perorangan 20%. Adapun jumlah kepemilikan asing yang semula boleh 99% akan
diturunkan menjadi kurang dari 50%.
Dengan
begitu, posisi kepemilikan pemodal domestik mendapat kesempatan lebih besar,
berada di atas pemodal asing. Kendati demikian, kepemilikan asing dalam
perbankan di Indonesia harus dipelihara. Pasalnya jika hanya mengandalkan
pemodal dalam negeri, hanya beberapa pengusaha yang bisa masuk.
Berlaku Surut
Perbankan
adalah industri padat modal sehingga bila aset meningkat tajam, harus dicover
modal bank. Andai terbit peraturan baru mengenai kepemilikan saham sebaiknya
retroaktif. Hal itu mengingat sudah ada regulasi dari BI yang mengatur
kepemilikan saham asing pada industri perbankan domestik.
Karena
itu, regulasi baru berkait kepemilikan saham sebaiknya berlaku surut ke
belakang supaya tak bertabrakan dengan regulasi yang ada. Masalah krusial
lain yang perlu diperhatikan adalah perlindungan nasabah dan investor. Jangan
sampai hasil dari revisi UU tersebut kontraproduktif dengan iklim investasi
perbankan.
Terlebih
belakangan ini saham perbankan domestik sangat seksi sehingga menarik minat
banyak investor asing. Perlu mencari titik baru keseimbangan baru sehingga di
mata investor asing, UU baru tersebut juga ramah, serta tidak diskriminatif
dan tak alergi terhadap unsur yang berbau asing.
Tentunya,
membangun perbankan yang kuat dan besar butuh iklim kondusif bagi pembukaan
kantor cabang di luar negeri. Untuk itu, aspek krusial lain adalah penerapan
asas kesetaraan atau asas resiprokal.
Kalau
perbankan asing boleh membuka cabang di Indonesia konsekuensinya perbankan
Indonesia juga memiliki hak akses sama untuk membuka cabang di luar negeri.
Tak ada salahnya persoalan ini sedari awal diakomodasi regulasi yang baru. Lebih
dari itu semua, amendemen UU Perbankan perlu dilakukan seiring dengan
berpindahnya kewenangan pengawasan industri keuangan dari BI kepada OJK.
Tujuannya
supaya ada kejelasan separasi tugas sehingga masing-masing institusi bisa
menjalankan tugas sesuai kewenangan. Dengan demikian, regulasi yang baru juga
harus mampu menata ulang tugas dan wewenang BI dan OJK supaya tidak berkesan
tumpang tindih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar