Sabtu, 01 Februari 2014

Tamu Agung Itu Bernama Bencana

                Tamu Agung Itu Bernama Bencana

Suparto Wijoyo  ;   Dosen Hukum Lingkungan Universitas Airlangga
JAWA POS,  31 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
JOMBANG menyapa melengkapi derita Jakarta, Manado, Pati, Kudus, sampai "bersin" Gunung Sinabung di Kabupaten Karo yang ditetapkan sebagai bencana nasional. Kata bencana pun secara matang dan menantang hadir di haribaan bangsa. Bencana senyatanya bukan soal istilah semata, tetapi soal nestapa yang menyentuh titik terdalam kemanusiaan. Publik tersedak sontak dengan munculnya tragedi ekologi di ibu kota. Peristiwa ini semakin melengkapi derita panjang kehidupan peradaban Indonesia yang tidak pernah sepi didera apa yang dinisbatkan sebagai bencana alam. 

Kenapa Indonesia selalu dilanda bencana? Siapakah insan dan institusi yang harus bertanggung jawab dalam kerangka pengelolaan negara? Bagaimanakah sesungguhnya bencana itu diposisikan oleh pemerintah? Adakah struktur politik negara memang pernah menyesali adanya bencana atau justru bencana selalu disyukuri sebagai bagian dari kinerja mereka? Adakah secara filosofis-ekososiologis bencana itu sebagai tamu agung kita?

Dalam takaran teologi lingkungan, tentu banyaknya bencana dikualifikasi akibat kurangnya bersedekah oksigen. Bukankah ada ucap suci Nabi Muhammad saw yang intinya adalah sedekah itu menolak bencana. Kita abai terhadap prinsip inter-generational equity maupun intra-generational equity dalam pengelolaan lingkungan. Prinsip tersebut memberikan panduan manajemen lingkungan yang memberikan keadilan bagi generasi sekarang maupun generasi masa depan.

Marilah menyimak zona sumber daya alam (SDA) kita secara cermat dan tematik. Perspektif ekologis menginformasikan betapa rapuhnya konservasi SDA. Bahkan, "di rahim" Ibu Pertiwi tampak dengan sengaja dilakukan bunuh diri ekologi (ecological suicide). Secara planologis, realitas telanjang perkotaan yang kian menjalar ke desa-desa tengah menyuguhkan pentas drama menjungkirbalikkan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan landasan substansi geografis-topografisnya. SDA di berbagai daerah dikuras habis dengan meninggalkan jejak kemiskinan yang kian panjang pada daerah yang kaya tambang. 

Tatkala hutan digunduli dan gunung-gunung ditambangi, air hujan yang semula nikmat berubah menjadi laknat. Tatkala tata ruang disulap menjadi tata uang, air hujan yang berkah berubah menjadi prahara. Kata bencana kemudian dimunculkan agar tidak digugat dan Tuhan dihadirkan sebagai saksi atas derita anak negeri. Semua tahu bahwa erosi dan sedimentasi hanyalah produk dari disfungsionalnya lembaga negara yang berwenang dan banjir atau longsor hanyalah implikasi terdekat yang mesti dituai. Kasus banjir bandang dan tanah longsor adalah potret kerancuan pemikiran yang dihukumkan dengan retorika belasungkawa. Soal banjir dan gunung meletus adalah soal ketanggapsegeraan pemerintah yang dipertaruhkan dan bukan yang sekadar dipetuahkan.

Secara institusional telah cukup. Republik ini sudah punya Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Sosial, Kementerian Pekerjaan Umum, bahkan sudah punya Badan Penanggulangan Bencana (BPBN-D). Semua lembaga tersebut memiliki tugas pokok dan fungsi serta anggaran maupun sarana prasana yang setiap tahun disodorkan. Beranikah mereka berkata: "Maaf, kami gagal menjalankan tugas" meski anggaran telah diserap. Berdasar UU Penataan Ruang (UU No 26 Tahun 2007) maupun UU Lingkungan Hidup (UU No 32 Tahun 2009), pastinya institusi publik yang berwenang harus diminta pertanggungjawaban hukum atas kasus lingkungan dan berkenaan dengan bencana harus ada pertanggungjawaban yuridis atas pejabat sesuai UU Penanggulangan Bencana (UU No 24 Tahun 2007). 

Saya khawatir bahwa bencana yang selama ini terjadi justru menjadi agenda kenegaraan sebagai implementasi keberlakuan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sejak awal, saya miris tentang adanya kesalahan paradigmatik dalam memperlakukan bencana. Dengan undang-undang ini, seloroh saya adalah bahwa bencana itu diundang. Kata undang-undang bisa diartikan ada undangan, jadi sugeng rawuh ya bencana. Untuk itulah, keberlakuan UU Penanggulangan Bencana mohon dibaca sebagai Perlindungan Sumber Daya Alam saja. Munculnya UU Penanggulangan Bencana diniscayakan secara yuridis telah terjadi legalisasi bencana. Sekmen ekologis telah dibungkus secara yuridis yang melegitimasi bencana sebagai program dan bagian penting kinerja pemerintahan. DPR dan presiden dalam kerangka politik hukum adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya bencana. Bukankah dalam regulasi tersebut secara tegas terdapat formulasi normatif yang mengagendakan bencana untuk diatasi dengan membuat program-program kerja pemerintahan dengan alokasi anggaran APBN dan APBD. 

Karena itulah, kehadiran bencana secara yuridis-ekologis "ditunggu" sebagai bentuk keberlakuannya hukum kebencanaan. Hukum pada maknanya yang paling "ingkar" benar-benar telah mengundang bencana untuk selalu datang sebagai tamu kehormatan negara. Inilah panggilan yuridis-ekologis yang saya khawatirkan terhadap kelahiran rezim hukum kebencanaan. Meski demikian, ada yang positif secara legalistik semisal pengaturan sanksi kepada setiap orang yang melakukan pembangunan yang tidak dilengkapi dengan analisis risiko. Apabila ini dikaitkan dengan sanksi pidana dalam UU Penataan Ruang dan UU Lingkungan Hidup, pejabat di jajaran pemerintah harus diproses hukum. Akankah ini terjadi? Kita lihat bagaimana kasus bencana ini diselesaikan secara yuridis? Adakah bencana memang memerlukan hukum untuk mengentasnya? Atau justru keterpanggilan kerja gotong royong sesama anak bangsa untuk mengubah bencana menjadi lencana persaudaraan kita. Itulah yang dibutuhkan, bukan? Salam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar