Pasar
Mengendalikan APBN
Kusfiardi ; Pengamat
Ekonomi
|
KORAN
SINDO, 08 Februari 2014
Kebijakan fiskal merupakan instrumen bagi pemerintah dalam
mengatur kegiatan perekonomian nasional melalui anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN). Kebijakan tersebut memuat besaran pendapatan dan
belanja negara selama satu tahun anggaran yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Kebijakan fiskal tersebut memiliki fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas. Tiga fungsi tersebut secara sinergis bertujuan untuk mengoptimalkan kebijakan pendapatan dan belanja negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan rakyat yang menjadi amanat UUD 1945 adalah penciptaan lapangan kerja agar setiap warga negara bisa mendapatkan haknya atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kemudian terpenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan umum yang layak, tempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Termasuk ada jaminan sosial, terutama untuk fakir miskin dan anak-anak telantar. Untuk itulah, pemerintah diberikan wewenang menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Termasuk wewenang untuk menguasai faktorfaktor produksi yang penting bagi negara dan memengaruhi hajat hidup orang banyak. Namun, dalam pelaksanaannya, kebijakan fiskal yang terlihat dalam APBN justru didesain dengan instrumen kebijakan yang melemahkan kemampuan anggaran memenuhi kewajiban konstitusional yang menjadi amanat UUD 1945. Penggunaan asumsi ekonomi makro yang dipakai dalam penyusunan APBN bukan saja melemahkan, melainkan juga menjauhkan kinerja anggaran negara dari amanat konstitusi. Parahnya lagi, justru menghilangkan kendali pemerintah atas kebijakan APBN. Dari keseluruhan asumsi makro yang digunakan untuk penyusunan APBN, tak satu pun bisa dikendalikan pemerintah. Asumsi makro tersebut justru dikendalikan oleh mekanisme pasar. Bukan sekadar penawaran dan permintaan, melainkan juga sarat dengan aksi spekulasi yang bertujuan mengakumulasi keuntungan bagi mereka yang memiliki kemampuan mempengaruhi pasar. Akibat itu, implementasi kebijakan APBN sangat rentan oleh faktor eksternal yang hampir tak mungkin bisa dikendalikan oleh kebijakan pemerintah. Pertama, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pemberlakuan kebijakan nilai tukar bebas mengambang dan rezim devisa bebas membuat pemerintah tidak bisa memengaruhi nilai tukar rupiah dan aliran keluarmasuk uang. Instrumen yang bisa digunakan adalah melakukan intervensi dengan cara melepas cadangan dolar AS ke pasar untuk menahan penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Instrumen lain yang bisa digunakan adalah meningkatkan suku bunga untuk menahan agar nilai rupiah tidak terus melorot. Namun, instrumen tersebut secara akumulatif justru memberikan pukulan balik terhadap perekonomian nasional. Pelepasan dolar AS untuk menahan penurunan nilai tukar rupiah berimplikasi pada perkurangan ketersediaan cadangan devisa yang dibutuhkan untuk membiayai impor dan kewajiban jatuh tempo dalam mata uang dolar AS. Peningkatan suku bunga juga menjadikan perkembangan sektor riil melambat sebagai akibat dari biaya pinjaman bank mahal saat suku bunga mengalami kenaikan. Kedua, harga minyak dunia. Pembentukan harga minyak dunia yang terjadi melalui transaksi di pasar surat berharga seperti NYMEX juga tidak mungkin dikendalikan pemerintah. Pembentukan harga tersebut dipengaruhi berbagai faktor, mulai dari isu sektor sampai politik di ranah global. Faktor lain yang membuat pemerintah tidak bisa melakukan intervensi pada harga minyak dunia adalah posisi sebagai net importir dan tidak lagi menjadi anggota Organisasi Produsen Minyak Dunia (OPEC). Ketiga, lifting minyak dan gas. Penguasaan asing yang sudah sedemikian besar di sektor migas menjadikan penguasaan BUMN migas nasional tidak bisa berperan banyak dalam memenuhi target lifting migas nasional yang sudah dikendalikan oleh kartel asing dari hulu sampai ke hilir. Keempat, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tingkat suku bunga. Variabel nilai tukar, harga minyak dunia, dan lifting migas sangat menentukan apakah target pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan tingkat suku bunga bisa tercapai. Pada saat target nilai tukar dan lifting migas tidak bisa terpenuhi, pemerintah akan menghadapi tekanan inflasi yang meningkat. Biasanya diawali dengan kenaikan harga dan kemudian berkembang jadi masalah fiskal dan moneter. Biasanya kondisi diantisipasi dengan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga. Pemerintah juga akan menurunkan target pertumbuhan ekonomi seiring ada tekanan dari pelemahan nilai tukar rupiah dan peningkatan inflasi yang diikuti kenaikan tingkat suku bunga. Sebagaimana terlihat tahun lalu dan masih berlangsung sampai saat ini pelemahan perekonomian global telah memengaruhi ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu pengaruh yang membawa dampak adalah penurunan penerimaan pajak dalam pos penerimaan negara. Kenaikan harga minyak dunia dan Indonesian crude price (ICP), yang disertai pelemahan nilai tukar rupiah, telah memengaruhi penerimaan sumber daya alam (SDA) secara berganda. Pada sisi ekspor terjadi peningkatan penerimaan akibat perubahan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Namun, pada sisi impor juga terjadi peningkatan belanja untuk impor BBM. Mengingat impor yang lebih besar dibandingkan dengan ekspor, kenaikan penerimaan ekspor menjadi tidak banyak membantu meningkatkan pendapatan negara. Pada saat peningkatan pendapatan negara lebih kecil dibanding peningkatan belanja negara, potensi defisit juga cenderung meningkat. Peningkatan defisit membawa konsekuensi dari peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menutupi defisit. Strategi pembiayaan defisit selama ini melalui penarikan utang luar negeri dan penerbitan surat utang negara, dengan beban utang yang ada saat ini, justru membuat beban anggaran negara untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri akan semakin membesar. Secara akumulatif tekanan faktor eksternal terhadap asumsi makro dalam APBN justru membatasi kemampuan anggaran negara meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejumlah tekanan eksternal yang berlangsung dengan hukum pasar tersebut justru meningkatkan beban ekonomi dan sosial bagi sebagian besar rakyat bangsa ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar