Ibu
Negara
Gracia Dwinita ; Penulis
|
TEMPO.CO,
08 Februari 2014
Baru-baru ini, sebagian pemilik akun media
sosial Instagram menggunjingkan aktivitas Ibu Negara Ani Yudhoyono. Dalam
bahasa Inggris, istri presiden disebut first
lady atau "nyonya pertama". Istilah ini sepertinya mengurangi
beban moral dibanding istilah "ibu negara" yang mengandaikan
sebagai ibu yang merawat negara. Seakan-akan ini adalah jabatan yang
mensyaratkan kemampuan dan moralitas tertentu. Padahal, jabatan ini hanya ada
karena yang bersangkutan kebetulan adalah istri dari laki-laki yang menjadi
presiden.
Kita tidak sungguh-sungguh mengetahui kerja Ibu Negara, kecuali bahwa ia terlihat aktif dalam kegiatan sosial ini-itu dan terlihat bersanggul dan berkebaya di sebelah presiden. Perbedaannya, kini kita bisa berkomunikasi langsung dengan Ibu Negara. Pencitraan menjadi semakin kompleks, karena tiap gerakan Ibu Negara di ruang publik dapat tersiar tanpa filter. Indonesia yang pernah memiliki presiden perempuan membuat kita bisa membandingkan istri dan suami presiden. Istri presiden seakan tidak dapat mengembangkan identitas sosial-politiknya, meskipun memiliki kesempatan. Selama 30 tahun, Ibu Tien Suharto hanya dikenal sebagai perempuan yang membawa "wahyu" sehingga suaminya dapat berkuasa. Apakah istri presiden Indonesia lainnya dapat membangun identitas sosial dan politiknya sendiri? Sementara itu, almarhum Taufik Kiemas sebagai bapak negara tidak perlu aktif dalam organisasi suami-suami kabinet gotong royong, namun berperan dalam partai dan menjabat Ketua MPR, ketika istrinya tidak lagi menjadi presiden. Istri presiden seharusnya memiliki identitasnya atau program sosial-politiknya, terlepas dari suaminya. Carla Bruni, mantan Ibu Negara Prancis, meneruskan kariernya sebagai penyanyi. Hillary Clinton adalah contoh Ibu Negara yang mengembangkan program politiknya sendiri. Ia menjadi senator New York dan Menteri Luar Negeri pada masa kepemimpinan Obama. Sayangnya, sejarah menuliskan istri-istri diktator ikut menindas. Elena, istri presiden Rumania Nicolae Ceausescu selama 25 tahun, ditembak bersama suaminya pada Natal 1989 atas kejahatannya terhadap kemanusiaan. Elena membangun identitasnya sebagai penguasa ilmu dan teknologi di Rumania dengan memalsukan 17 gelar doktor, menjadi pejabat partai, serta hidup mewah di tengah penderitaan perempuan Rumania. Ia mendapat inspirasi dari istri diktator lainnya (Elena bertemu Jian Qing, istri Presiden Cina, Mao Zedong, pada 1971). Jian Qing menyingkirkan saingan politik dan mencari posisi dengan cara-cara suaminya. Pada 1966, Jiang Qin menempati posisi wakil ketua revolusi kebudayaan. Keinginannya harus selalu terpenuhi (kolam renangnya di Canton harus hangat saat kota terkena badai salju). Ia dihukum pada 25 Januari 1981 dan bunuh diri. Tidak ada data yang menunjukkan apakah presiden Indonesia dipertimbangkan berdasarkan siapa istrinya. Namun perempuan, khususnya istri presiden dan istri pejabat pada umumnya sampai tingkat terbawah, terpaksa menjalani fungsi istri dalam organisasi, terutama dalam institusi istri militer. Sebagai negara patriarkis yang menganut ibuisme, peran wajib perempuan sebagai istri dan ibu harus dipertontonkan. Mereka tidak mempunyai pilihan kecuali yang telah ditetapkan secara sosial. Bagaimana perempuan Indonesia dapat menemukan identitas dan kesetaraannya melalui panutan seperti ini? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar