JKN, Madu dan Racun
Badrul Munir ; Dokter Spesialis Saraf RS Saiful
Anwar,
Dosen FK Universitas Brawijaya Malang
|
KOMPAS,
12 Februari 2014
Artikel Badrul Munir dengan 'Pesan Utama' yang sama (redaksi yang dibedakan)
telah dimuat di MEDIA INDONESIA 11 Februari 2014
“ORANG
bijak mengatakan, ”gagal dalam merencanakan sesuatu berarti merencanakan
suatu kegagalan”.
Kalimat ini rasanya
sangat pas digunakan dalam beberapa kegiatan penting kehidupan sehari-hari,
apalagi kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan
Program JKN dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan
sebagai pelaksananya, akhir Desember 2013, sejuta harapan rakyat Indonesia
muncul di sana: bayangan pelayanan kesehatan yang layak, menyeluruh, dan
gratis untuk seluruh rakyat Indonesia bermunculan. Bahkan, Presiden SBY
mengatakan, akan ada ”sejarah baru” dalam bidang kesehatan di Republik ini.
Sejarah menjadi baru
ketika tak ada lagi orang miskin ditolak rumah sakit karena tak ada biaya.
Sejarah akan baru tatkala semua orang bisa mengakses kesehatan tanpa harus
dibedakan status sosial ekonomi seperti selama ini terjadi. Sejarah akan saat
Indonesia selaku negara besar di dunia menjamin kesehatan rakyatnya
Namun, sejarah baru
kesehatan ini sepertinya terlalu cepat diluncurkan tanpa
perencanaan matang akibat kegaduhan dan kegagapan. Bukan hanya di
sistem pelayanan kesehatan, melainkan juga di sistem pembiayaan dan
pembayaran kesehatan yang ujungnya merugikan masyarakat yang selama ini sudah
terlayani dengan sistem Askes, Jamsostek, Jamkesmas, dan lainnya.
Pelaksanaan JKN baru
berjalan sebulan. Sebuah penelitian ilmiah yang mengkaji penyelenggaraan
jaminan sosial kesehatan nasional dianalisis dari pemberitaan media massa
nasional dan lokal di seluruh Indonesia memberikan data yang menarik.
Pemberitaan positif JKN selama Januari 2014 sebesar 60 persen, tetapi cenderung menurun dari minggu pertama dan kedua dengan rata-rata
penurunan 16 persen. Pemberitaan ”negatif” JKN pada awal Januari 40 persen
dan cenderung meningkat pada minggu pertama dan kedua dengan rata-rata
15,9 persen. Ini memberi potret nyata kegaduhan sistem JKN ini.
Tak siap
Kegaduhan ini muncul
karena ketidaksiapan pemerintah dan BPJS Kesehatan (baca PT Askes) melaksanakan
amanat UU. Yang sangat fundamental adalah regulasi operasional seperti
peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan peraturan menteri
kesehatan terlambat dikeluarkan dan disosialisasikan. Akibatnya, terjadi
kegaduhan di lapangan, mulai dari registrasi peserta, besar iuran peserta,
sampai pelayanan operasional di fasilitas kesehatan. Sebagai contoh, dalam
sistem pembiayaan kesehatan, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS menyatakan,
peserta Jamsostek otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan sehingga tanpa
mendaftar sebenarnya mereka sudah tercatat sebagai peserta. Kenyataan
di lapangan berbeda. Peserta Jamsostek harus mendaftar sendiri
sebagai peserta BPJS Kesehatan. Bahkan, para pengusaha masih dibingungkan
tentang jumlah iuran dan tata cara pembayarannya. Hal yang sama terjadi pada
peserta Askes dan Asabri.
Kegaduhan bertambah
ketika para petugas BPJS di beberapa daerah belum mampu mengakomodasi
keluhan dan kebingungan calon peserta.
Sistem pelayanan
kesehatan juga menimbulkan kegaduhan luar biasa. Sistem rujukan yang baru dan
bertingkat tak disosialisasikan lebih dulu sebelum dilaksanakan sistem JKN.
Pasien kebingungan dan pontang-panting mengurus tata cara mencari rujukan
demi mendapatkan pelayanan kesehatan. Rujukan berjenjang dan terbagi menjadi tiga
tingkat, yang awalnya ditujukan untuk mengaktifkan sistem rujukan, menjadi
”menyiksa dan menambah penderitaan” pasien. Sistem pembayaran JKN dengan
INA-CBG pun bukan tanpa masalah.
Penerapan tarif yang
dilakukan BPJS sepertinya terburu-buru dan tak melibatkan organisasi profesi
kesehatan. Besaran pembiayaan kacau-balau dan banyak mendapat protes dari
rumah sakit dan organisasi profesi. Sebagai contoh, biaya bedah kandungan
(caesar) kelas 3 regional A Rp 5.484.728 lebih rendah
daripada circumsisi (khitan) Rp 15.633.431. Padahal, tingkat
kesulitan dan risiko medis bedah caesar jauh lebih tinggi daripada khitan.
Besaran klaim juga
sangat rendah dan memaksa para dokter dan profesi kesehatan memberi pelayanan
jauh di bawah standar. Salah satu contoh ditemui penulis pada kasus
stroke. Berdasarkan aturan BPJS, yang boleh dilakukan adalah pemeriksaan
CT-scan otak hanya pada jenis stroke perdarahan, sedangkan pada stroke
sumbatan tidak boleh dilakukan CT-scan. Ini jauh dari standar minimal WHO
yang mengatakan, golden standard pemeriksaan semua stroke
adalah CT-scan kepala.
Hal lainnya adalah
kualitas dan kuantitas obat yang tersusun dalam formularium nasional
JKN sangat terbatas dan jauh dari standar pelayanan minim. Maka, tak salah
jika Gubernur DKI mengeluhkan sistem KJS yang banyak tidak dicakup JKN dan,
konon, Pemprov DKI mempertimbangkan keluar dari BPJS Kesehatan.
Pencitraan politik
Para analis politik
mensinyalir pelaksanaan BPJS sangat kental muatan politis demi Pemilu
2014. Bagi saya, kebijakan populis sah-sah saja diambil oleh pemerintah
sebagai petahana kekuasaan. Yang salah adalah ketidaksiapan BPJS Kesehatan
sebagai pelaksanaan dan ”pemaksaan” 2014 sebagai waktu keramat tanpa
persiapan matang menjadikan masyarakat ”kelinci percobaan” sistem ini.
Sungguh tak manusiawi mencapai syahwat politik dengan mengorbankan kesehatan
pasien.
Pemerintah dan BPJS
Kesehatan harus segera membenahi secara holistik dan sistematis, serta
mengajak semua pihak agar permasalahan BPJS Kesehatan tak membuat masyarakat
kian jadi korban. Upaya pemerintah memberi madu kepada rakyatnya berupa
jaminan kesehatan nasional bisa berubah menjadi racun manakala tak dibarengi
dengan persiapan matang dan sistem sempurna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar