Platform
Politik Perubahan
Lambang Trijono ; Dosen Fisipol Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
|
KOMPAS,
04 Januari 2014
Meski sebenarnya belum waktunya, banyak calon presiden telah
mendeklarasikan diri dalam kampanye politik melalui sejumlah media.
Namun, sangat terasa kampanye yang
dilakukan selama ini secara umum belum menyuarakan platform politik perubahan
untuk Indonesia ke depan yang begitu dinanti publik. Oleh karena itu, tak
heran apabila kemudian publik masih terus merindukan kehadiran pemimpin
dengan beragam kriteria. Ini kedengaran aneh karena bukankah sudah
berkali-kali puluhan hasil survei politik telah menomorunggulkan para
kandidat presiden.
Jika kita selami, kerinduan publik
akan kehadiran pemimpin yang membawa perubahan itu bisa dimaklumi. Semakin
menumpuk masalah yang dihadapi bangsa: nilai tukar rupiah masih lemah,
ekonomi kian bergantung, kekerasan intoleransi masih merebak, dan
instabilitas politik mengancam keutuhan republik. Dibutuhkan kualitas
pemimpin tersendiri.
Harapan publik akan kehadiran
pemimpin berkualitas memang sebaiknya terus dipupuk dan tidak boleh
tergesa-gesa dipupus. Itulah memang satu-satunya cara kelembagaan yang paling
bisa diharapkan untuk terjadinya perubahan. Namun, publik jangan sampai
terlena mengumbar fantasi tanpa disertai rasionalitas politik. Demikian pula
para pemimpin, jangan sampai melakukan kampanye politik jauh dari realitas
masalah yang dihadapi bangsa.
Bahaya demagogi
Mengimajinasikan masa depan
Indonesia barangkali merupakan cara paling tepat membebaskan diri kita dari
segala jebakan fantasi artifisial dan irasionalitas politik. Kita harus
selalu ingat, demokrasi telah membuka lebar-lebar ruang politik akibat tiada
lagi penanda besar kepastian siapa yang akan memimpin sebuah negara ketika
hal itu sepenuhnya diserahkan kepada kedaulatan rakyat.
Di atas semua itu, demokrasi
sebagai ruang politik terbuka (yang kadang-kadang ruang kekuasaan terlihat
kosong itu) bisa diisi apa saja ketika kita tidak sepenuhnya menyadari untuk
selalu mengisinya dengan tindakan politik penuh arti. Bahaya irasionalitas
politik itu bisa datang dari mana saja, entah dari publik ataupun dari subyek
pemimpin.
Banyak kasus menunjukkan, bahaya
demagogi politik selalu mengintai politik demokrasi, terutama ketika
demokrasi mengalami krisis, yaitu ketika besarnya harapan publik tidak
diimbangi kapasitas pemimpin, atau di luar kapabilitasnya memenuhi harapan.
Seperti terjadi di banyak negara, kesulitan hidup dihadapi rakyat justru
sering kali dimanipulasi pemimpin demagog, entah dari kelompok ekstrem
tengah-kanan ataupun konservatif tengah-kiri dengan melantunkan janji-janji
mesianistik tanpa disertai dengan realitas politik perubahan.
Kita sesungguhnya sudah sangat
berpengalaman mengenali bahaya demagogi politik tersebut dari sejarah politik
kita sesudah revolusi kemerdekaan, yang kini juga kita temukan tanda-tandanya
sesudah reformasi yang seakan-akan usai ini. Namun, menghadapi ruang
demokrasi yang begitu terbuka itu, kita tidak boleh salah dalam mengisinya
dengan kembali menghadirkan politik otoritarianisme.
Platform perubahan
Berpijak pada harapan publik
tersebut, kita harus memberi kesempatan terbuka kepada siapa saja calon
pemimpin bangsa tampil ke depan. Tidak hanya demi menghargai hak-hak
politiknya sebagai warga negara, tetapi juga untuk memupuk kemampuan
kolektifnya sebagai pemimpin yang memang dalam kodratnya harus selalu
bergandengan erat dengan tangan publik.
Sejumlah tantangan yang dihadapi
bangsa itu terlalu riskan untuk diabaikan. Bahaya kemunculan pemimpin
demagogik harus kita tepis jauh-jauh sejak awal sebelum perhelatan kampanye
Pemilu 2014 dibuka dengan membuka segala kemungkinan kehadiran pemimpin yang
lebih mengedepankan platform politik daripada fantasi politik.
Memang kita sadari, menghadirkan
pemimpin mampu mengimajinasikan masa depan Indonesia dengan genggaman
platform politik perubahan di tangan bukan perkara mudah. Subyek politik tak
selalu mudah mewujudkan artikulasi politiknya ke dalam realitas begitu
diskursif dari praktik politik. Sama tidak mudahnya dengan mengatasi konflik
yang selalu muncul di antara subyek politik yang begitu plural untuk mencapai
kepentingan umum atau publik.
Namun, bukankah praktik demokrasi
yang kita jalankan selama ini bisa dijadikan pengalaman sekaligus guru
politik sangat berharga? Liberalisme politik yang kita lakukan bukan tak ada
gunanya. Justru dari sinilah kita mendapat penguatan atas hak, kebebasan, dan
otonomi kita sehingga mudah bagi kita melakukan aktivasi politik dan ekspansi
demokratis ke dalam ranah publik. Tentu saja harus disertai semangat
kesetaraan di antara kita sehingga bisa dicapai titik temu yang mampu merajut
kepentingan kita bersama sebagai bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar