“Sejatinya dokter punya banyak cara untuk melakukan manuver
guna merealisasikan keinginan secara elegan”
TETANGGA sebelah baru saja
pulang kampung menengok cucu yang terbaring sakit di sebuah rumah sakit,
dan kabarnya nihil tindakan yang bisa dianggap memadai, apalagi dilakukan
segera. Cucunya itu mengeluhkan sakit pada pencernaan yang ditandai
seringnya mencret. Biasanya, kata tetangga itu, sekali tindakan dokter bisa
menyudahi sakitnya itu, tetapi tidak untuk kali ini.
Sepanjang hari si kecil hanya
tergolek lemas di pembaringan tanpa satu pun dokter mendatangi tempat tidur
anak tersebut. Hari itu, sebagian besar dokter memang sepakat meninggalkan
tugas mulia menolong sesama. Mereka lebih memilih menghimpun diri, pamer
kekuatan di jalan raya dalam rupa unjuk rasa.
Semua orang tentu maklum,
kejadian eksodus dokter dari tugas kemanusiaan merebak beberapa waktu lalu.
Gara-gara bisa berdemonstrasi, semua orang, termasuk dokter menggunakan
sarana unjuk rasa guna memanifestasikan tuntutan diri, teman sejawat, atau
kelompok. Mereka bahkan rela menanggalkan profesionalisme dan tugas pokok
sebagai dokter, melepaskan rasionalitas yang mendasari tindakannya untuk
sebuah aksi alias unjuk rasa.
Hari-hari belakangan para
dokter sedang memilih jalur demo, mengabaikan hati nurani sekaligus
semangat kemanusiaan. Mereka seharusnya selalu ada di samping pasien yang
sangat memerlukan pertolongan. Itu adalah panggilan jiwa sesuai manifesto
ketika disumpah sebagai dokter.
Jauh berbeda dari buruh,
sejatinya dokter punya amat banyak cara elegan melakukan manuver guna
mewujudkan keinginannya. Semua itu sekaligus demi memenuhi tuntutan
intelektual sebagai insan unggul.
Realitasnya kini semua
saluran yang ada ditinggalkan, kendati senyatanya masih ada cara terhormat
dan lebih masuk akal. Menyangkut suatu putusan hukum, tentu masih ada pula
cara, bahkan upaya hukum setingkat di atasnya yang bisa ditempuh, semisal
kasasi dan peninjauan kembali atas sebuah perkara.
Gerakan komunitas dokter saat
ini terasa tak jauh berbeda dari manuver aksi buruh. Begitu riuhnya aksi
solidaritas para dokter menyikapi putusan hakim Mahkamah Agung (MA). Mereka
alpa pada satu hal penting, apalagi kalau bukan rintihan keluarga
almarhumah, yang kehilangan selama-lamanya anak tercinta.
Demo Dokter
Dalam kriminologi ada teori
yang bisa memperjelas fenomena unjuk rasa para dokter tersebut, yang
dikenal dengan immitation theory
dan social learning theory. Dalam
immitation theory, orang/kelompok
disebutkan suka sekali meniru apa yang dianggapnya berhasil demi mewujudkan
tujuan.
Terlepas dari apa pun tujuannya. Jika gugatan dan tuntutan itu bisa
terkabul atau terealisasi lewat aksi unjuk rasa maka orang/kelompok yang
menganut teori itu pun tergoda melakukan tindakan serupa, meniru, mengadopi
sekaligus menjadikannya sebagai model untuk menggapai tujuan.
Immitation theory berkaitan
erat dengan social learning theory,
dalam arti banyak menggunakan cara pembelajaran sosial. Mereka belajar dari
beragam realitas sosial. Jika dianggap cukup efektif, baru mereka
menggunakan pola itu. Sejatinya semua cara itu sah-sah saja sejauh para
pihak bisa mengendalikan diri, terutama penghormatan atas hak-hak asasi
manusia kelompok masyarakat lainnya. Bukankah prinsip HAM adalah menuntut
hak sekaligus juga menghormati hak orang lain, termasuk hak korban?
Kita tak bisa memungkiri
bahwa hak korban acap dinomorduakan, termasuk KUHAP pun masih menunjukkan
keterbatasannya perihal dan ihwal mengatur hak korban. Justru sebaliknya,
hak tersangka dan terdakwa, secara rigid dan limitatif, diatur secara jelas
dalam KUHAP.
Adalah tugas dan kewajiban
negara melindungi hak para warga negara, termasuk tersangka, korban, atau
pencari jasa kesehatan/pasien, yang hak-haknya diberikan dan dilindungi
oleh negara. Dalam praktik hak-hak itu dapat diwakili oleh penyidik,
penuntut umum, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya.
Salah satu tugas perutusan
profesi dokter adalah menolong orang sakit. Secara logika dia pasti paham
bahwa hal penting dan mutlak diprioritaskan adalah tidak mengabaikan hak
para pasien. Bukankah misi mulia dokter dan paramedis adalah saving human
life, menyelamatkan kehidupan manusia? Semoga malapetaka kesalahan
tindakan, tidak lagi menelan korban, khususnya menimpa sanak kerabat kita,
yang bisa saja dari keluarga dokter. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar