RAPIMNAS V Partai Golkar
tanggal 22-23 November 2013 di Jakarta tidak memunculkan kejutan politik
signifikan. Suara-suara untuk mengevaluasi pencalonan Aburizal Bakrie
sebagai presiden 2014 yang sebelumnya sayup terdengar, hilang tertelan
angin. Dalam rapat itu, selain beberapa agenda resmi yang dijadikan
pembahasan, sepertinya menjadi momen peneguhan bahwa ARB tetap sebagai
capres Golkar. Dengan kata lain, posisi Ical tidak diotak-atik.
Rapimnas lebih memilih
memfokuskan diri pada agenda semisal strategi Golkar memenangi Pemilu 2014,
pembahasan mengenai organisasi dan kaderisasi, visi Indonesia 2045, serta
pernyataan partai terhadap masalah-masalah krusial kebangsaan. Sebagai
ajang politik penting, sempat berembus bahwa rapimnas kemungkinan membahas
cawapres yang bakal mendampingi ARB. Meskipun ujungnya telah ditetapkan,
keputusan mengenai hal itu baru dibahas dalam rapat setelah Pemilu 2014.
Keteguhan Golkar untuk tetap
mencalonkan ARB sebagai presiden merupakan pertaruhan politik yang padat
batu uji. Selama ini, tak sedikit suara internal menghendaki untuk kembali
meninjau pencapresannya. Suara itu mendasarkan pada pertimbangan bahwa
elektabilitas tokoh tersebut sulit menanjak. Dia dinilai tak cukup
bisa bersaing dengan elektabilitas para capres yang akan diusung partai
politik lain. Anggapan seperti itu jelas ditentang oleh pendukung ARB.
Bagi kubu Ical, kekurangan
elektabilitas tak selalu harus dibawa pada evaluasi pencapresan. Bagaimana
strategi meningkatkan elektabilitas itulah yang semestinya jadi pokok
pembahasan. Jarak waktu pelaksanaan pemilu yang kian pendek, membuat wacana
evaluasi tidak produktif. Pencapresan ARB menurut kubu itu, sudah dilakukan
secara demokratis dan tingkat elektabilitas berdasarkan hasil survei
berbagai lembaga perlahan-lahan sudah menanjak. Dalam upaya itu, kubu Ical
bisa dikatakan berhasil.
Dengan demikian, pencapresan
tinggal melangkah pada level penguatan. Bagi Golkar, kerja ke depan adalah
bagaimana menggenjot elektabilitas partai dan Aburizal. Untuk elektabilitas
partai, Golkar boleh mencicil lega. Dari sigi berbagai lembaga, posisinya
berada pada urutan ke-1 atau 2, bersaing dengan PDIP. Dengan kata lain,
potensi Golkar memenangi Pemilu 2014 sangat besar. Tinggal bagaimana saat
ini Golkar pandai-pandai merawat potensi elektabilitasnya.
Potensi kemenangan tersebut
memang belum diiringi potensi embrio kemenangan Aburizal. Karena itu, bagi
ARB, mendongkrak elektabilitas merupakan porsi utama yang tidak bisa ia
tawar. Sosialisasi kepada calon pemilih melalui beragam media tidak boleh
henti dikerjakan, sembari perlu meyakinkan mesin partai untuk tidak
setengah hati terhadapnya. Konsolidasi internal guna menghindari kemunculan
ketidakkompakan perlu rutin dirawat. Pasalnya, bila Partai Golkar menang,
tidak mudah bagi internal yang menentangnya untuk tidak mengatakan hal itu
sebagai prestasi utama Aburizal.
Dari Jawa
Mengenai siapa yang akan
mendampingi ARB juga memuat urgensi tersendiri. Sepanjang menjelang Pemilu
2014, dinamika internal partai tidak bisa menghindari perbincangan itu.
Menilik hasil Rapimnas 2012, mandat menentukan cawapres diserahkan kepada
Aburizal, termasuk mengenai nama beberapa cawapres yang sudah masuk, di
antaranya dari usulan daerah (DPD). Semua masukan itu akan menjadi bahan
pertimbangan Ical, sebelum ia menjatuhkan pilihan.
Sejauh ini, 5 nama
setidak-tidaknya sering diungkap untuk mendampingi. Mereka adalah mantan
ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, mantan menteri negara pemberdayaan
perempuan Khofifah Indar Parawansa, mantan KSAD Jenderal (Purn) Pramono
Edhie Wibowo, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, dan Gubernur Jatim Soekarwo.
Nama terakhir sepertinya tegas menolak dengan dalih antara lain karena
baru saja dipilih rakyat sebagai gubernur.
Memilih calon pendamping memerlukan
kecermatan politik yang terukur bagi Aburizal. Dengan elektabilitasnya
saat ini, pertimbangan rasional utama yang bisa diambil adalah siapa yang
memiliki magnet elektoral kuat untuk membantu mengerek elektabilitasnya.
Melihat deretan cawapres yang banyak disebut, tampaknya ARB condong menginginkan
kombinasi latar belakang luar Jawa-Jawa. Aburizal selama ini dinilai cukup
kuat di luar Jawa. Sebagai penyeimbang dan penguat, pilihan pendamping dari
Jawa mesti ia dapatkan.
Bagaimanapun setiap menghadapi
pilpres, Golkar tak bisa melupakan bayangan kekalahan. Pilpres 2004
dengan posisi Partai Golkar sebagai pemenang pemilu, ternyata belum bisa
mengantarkan capresnya meraih kemenangan. Begitu juga dengan Pilpres 2009,
capres partai beringin juga belum kuat bersaing dalam pertarungan tersebut.
Dua bayangan kegagalan seperti itu tentu memberi tabungan pelajaran bagi
Golkar dan ARB sebagai calon presidennya, untuk lebih mawas diri supaya
tidak mengulang kekalahan serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar