Indonesia sedang memasuki masa krisis
kepercayaan publik yang serius, yang dapat (dan telah) melumpuhkan
kredibilitas institusi-institusi demokrasi. Tindakan anarkistis baru-baru
ini dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), yang membuktikan
ketidakpercayaan publik terhadap MK akibat adanya korupsi institusional,
sungguh sangat memalukan dan akan menjadi catatan hitam dalam sejarah
peradilan Indonesia.
Namun, secara konseptual, apakah pengertian
korupsi institusional? Lawrence Lessig, profesor hukum dan etika dari
Universitas Harvard, mengatakan korupsi institusional terjadi bila ada
pengaruh korup strategik dan sistemik yang menghambat efektivitas
suatu institusi dengan cara mendistorsi tujuan institusi itu atau
melemahkan kemampuan institusi untuk mencapai tujuannya, termasuk
mengurangi kepercayaan publik terhadapnya.
Apa yang terjadi di MK dan kasus-kasus
korupsi institusional-sistemik di lembaga-lembaga penegak hukum, perwakilan
rakyat, dan birokrasi pemerintahan membuktikan bahwa apa yang dikatakan
Profesor Lessig benar. Korupsi institusional (judicial mafia) di
tubuh kepolisian, kejaksaan, dan peradilan telah, dalam tingkatan
tertentu, mentransformasi lembaga-lembaga ini dari lembaga
penegak hukum dan keadilan menjadi lembaga pasar jual-beli hukum
serta keadilan. Hanya orang yang memiliki uang dan pengaruhlah yang
dapat membeli dan memperoleh "keadilan" itu. Korupsi
institusional telah mendistorsi tujuan lembaga-lembaga ini untuk
memberikan keadilan, pengayoman, kepastian, dan perlindungan hukum.
Korupsi institusional di lembaga perwakilan
rakyat dan birokrasi pemerintahan juga telah menghambat kinerja dan
menyimpangkan tujuan-tujuan lembaga ini. Dalam kasus-kasus tertentu,
lembaga-lembaga yang seharusnya bertujuan melindungi, memajukan, dan
melayani kepentingan publik ini telah berubah menjadi institusi
calo (proxy institution) yang dikuasai pemilik modal, pengaruh, dan
kekuasaan. Demokrasi telah berubah menjadi oligarki para kroni.
Lalu apa yang mesti kita lakukan untuk
memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum dan
demokrasi ini? Kasus MK dengan jelas menunjukkan kepada kita tak
hanya betapa krusialnya reformasi sistem, tapi juga bagaimana
menempatkan orang yang berintegritas dan kompeten untuk menjalankan
sistem itu. Kasus ini juga memberikan pelajaran yang sangat berharga
akan pentingnya pengawasan, sehingga sistem dan orang yang
mengendalikan sistem itu berfungsi dan berperilaku sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan.
Di sinilah letak pentingnya mereformasi
sistem seleksi, rekrutmen, promosi, dan pengawasan terhadap pejabat-pejabat
publik. Untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap MK, misalnya,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK perlu diubah (kembali)
sehingga MK tidak berwenang lagi menguji undang-undang yang berkaitan
dengan fungsi dan kekuasaannya (conflict
of interest).
Pengujian semacam ini hanya bisa dilakukan
melalui pengujian legislatif (legislative
review) oleh Dewan Perwakilan Rakyat lewat pembentukan dan
perubahan undang-undang. Bila MK tetap nekat menguji undang-undang dengan
cara demikian, maka keputusannya batal demi hukum (null and void).
Perubahan Undang-Undang MK atau penerimaan
Perpu MK oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan beberapa perubahan juga
mengharuskan para hakim MK yang sekarang menjabat untuk mundur dari
jabatannya. Para hakim MK tersebut mundur dalam waktu enam bulan
setelah berlakunya perubahan undang-undang itu atau setelah para
hakim MK baru yang diseleksi menurut sistem seleksi baru yang
independen dan berintegritas terpilih atau mulai menjabat.
Sebagian hakim MK yang disangsikan
integritas, kompetensi, dan sifat kenegarawanannya tentu tidak lepas dari
sistem seleksi hakim MK yang diragukan integritas dan independensinya.
Selanjutnya, untuk menjaga independensi, para hakim MK juga dilarang
menduduki jabatan publik, seperti presiden atau menteri, lima tahun
setelah mereka tidak lagi menjabat hakim MK. Selain itu, melalui
perubahan konstitusi, MK diawasi oleh Komisi Yudisial atau Dewan
Pengawas/Kehormatan.
Yang tidak kalah mendesak adalah menjaga
integritas dan kompetensi birokrasi pemerintahan. Karena itu, kekuatan
masyarakat sipil harus terus mendorong disahkannya RUU Aparatur Sipil
Negara. Sudah lebih dari dua tahun pengesahan RUU ini ditunda. Rupanya,
instruksi presiden untuk segera mengesahkan RUU ini kurang didukung
oleh aparat bawahannya.
Akan tetapi, kemungkinan yang paling membuat
saya khawatir adalah, karena tidak adanya lembaga pengawas yang
efektif, kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang sama di MK akan
terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Sistem pengawasan internal,
rekrutmen, serta seleksi pimpinan dan penyidik KPK sekarang ini sungguh
rawan dijadikan ajang penyalahgunaan wewenang. Ada kemungkinan KPK
digunakan sebagai alat atau kendaraan politik oleh pihak-pihak
tertentu, terutama menjelang Pemilihan Umum 2014. Karena itu, seperti
sudah lama saya usulkan, dewan pengawas eksternal dan independen KPK
sebaiknya segera dibentuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar