|
PEMILU Legislatif 2014, tampaknya, masih akan dibayang-bayangi
masalah laten berupa karut-marut data pemilih. KPU dalam rapat koordinasi di
Bali, 13-15 September 2013, mengakui masih adanya belasan juta pemilih ganda
dalam daftar pemilih. Pada sisi lain, Kemendagri menemukan 79 juta nama dalam
daftar pemilih belum memiliki nomor induk kependudukan atau NIK (Jawa Pos, 14
September 2013). Hingga kini belum tampak progres solusinya.
Ironis memang. Negeri ini sudah sekian kali melaksanakan pemilu, tetapi persoalan daftar pemilih masih terus menjadi batu sandungan dalam pemilu. Hampir pada setiap pemilu, baik pemilu nasional maupun regional atau lokal, masalah ketidakakuratan data pemilih selalu menjadi slilit tersendiri.
Jika mau, sebenarnya ada cara sederhana untuk menghasilkan daftar pemilih yang lebih riil dan akurat. Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih ganda. Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih fiktif (orang yang sudah meninggal tetapi namanya masih dicantumkan dalam daftar pemilih). Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih di bawah umur (balita) dalam daftar pemilih dan sebagainya.
Cara sederhana itu, pertama, ayo kita mengadopsi cara pendaftaran pemilih yang dipakai selama masa Orde Baru. Petugas atau panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) mendatangi rumah-rumah warga (door-to-door) untuk mendaftar warga yang punya hak pilih. Pantarlih mencatat mulai awal. Tidak ada bekal yang bernama DP-4 (data/daftar penduduk potensial pemilih pemilu).
Pantarlih pun hanya mencatat/mendaftar warga yang betul-betul mereka temui. Yang tidak ketemu secara fisik (face-to-face) tidak perlu didaftar. Sebab, jangan-jangan warga itu memang tidak mau didaftar karena memang tidak ingin ikut pemilu. Atau, jangan-jangan mereka nanti mendaftar di tempat lain (di kota tempat mereka bekerja). Nah, hasil kerja pantarlih yang riil di lapangan itu kemudian disusun menjadi daftar pemilih di setiap desa atau setiap TPS (tempat pemungutan suara).
Kedua, ayo kita mengadopsi cara pendaftaran pemilih yang dipakai untuk Pemilu 2004. Masa pendaftaran pemilih dibagi mejadi dua. Taruhlah masa pendaftaran pemilih adalah tiga bulan. Separo pertama, yaitu 1,5 bulan pertama, pantarlih wajib proaktif datang ke rumah-rumah warga untuk mencatat calon pemilih.
Nah, sangat mungkin selama masa 1,5 bulan itu masih ada sejumlah warga yang tidak berhasil ditemui pantarlih. Mungkin karena mereka sedang bekerja atau sedang di luar kota. Karena itu, warga yang seperti itu diberi kesempatan selama 1,5 bulan (separo masa pendaftaran kedua) untuk proaktif datang ke tempat pantarlih untuk mendaftar. Jika mereka tidak mau datang, ya kita anggap itu sebagai indikator bahwa mereka memang tidak tertarik ikut pemilu. Mereka yang seperti itu tentu tidak harus/tidak perlu didaftar sebagai pemilih. Toh, kalau didaftar, mereka bakal golput juga.
Akibatnya, persentase ketidakhadiran pemilih di TPS termasuk tinggi. Rata-rata berkisar 40 persen. Padahal, kita mencetak surat suara sebanyak jumlah DPT (daftar pemilih tetap) plus untuk cadangan 2,5 persen. Itu berarti sekitar 40 persen surat suara yang kita cetak dalam setiap pemilu menjadi mubazir. Surat suara tersebut sia-sia alias terbuang percuma. Itu sebuah pemborosan yang semestinya segera diakhiri.
Berbeda jika misalnya kita hanya mendaftar warga yang memang punya harapan besar dan semangat untuk ikut pemilu. Sangat mungkin tingkat kehadiran mereka saat pemungutan suara mencapai 100 persen. Atau, sak apes-apese (setidak-tidaknya) ya 80 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. Itu akan lebih efisien.
Sekarang ini memang ada pantarlih. Tetapi, mereka sudah dibekali DP-4. Sangat mungkin banyak data di dalam DP-4 tersebut yang sudah out of date. Misalnya, warga yang sudah lama meninggal tetapi namanya masih masuk dalam DP-4. Selain sudah dibekali DP-4, pantarlih terdiri atas pengurus RT/RW. Biasanya mereka ini enggan door-to-door.
Pada satu sisi, mereka menganggap dirinya tokoh atau orang yang dituakan di kampungnya. Pada sisi lain, pantarlih merasa sudah mengenal hampir seluruh warganya. Akibatnya, mereka merasa tidak perlu door-to-door. Padahal, data dalam DP-4 sangat perlu divalidasi. Sangat perlu diverifikasi di lapangan agar mendapat data pemilih yang terkini (up to date), data pemilih yang betul-betul riil.
Adanya DP-4 sebenarnya sangat membantu, sepanjang diverifikasi pantarlih di lapangan. Sebaliknya, DP-4 akan menjadi salah satu sumber masalah jika langsung dijadikan daftar pemilih tanpa melalui verifikasi atau coklit (pencocokan dan penelitian) oleh pantarlih di lapangan.
Wajar jika banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap kualitas daftar pemilih. Sebab, daftar pemilih yang valid memang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu. Daftar pemilih yang valid menjadi salah satu tolok ukur profesionalisme penyelenggara pemilu. Sebaliknya, karut-marutnya daftar pemilih bisa menjadi amunisi bagi warga untuk memojokkan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu dianggap amatiran alias tidak profesional.
Bagi peserta pemilu, daftar pemilih yang valid bisa digunakan untuk pemetaan kekuatan dukungan serta mengurangi kekhawatiran terjadinya penggelembungan suara oleh lawan-lawan politik. Semoga KPU mampu mewujudkan harapan para pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu dan masyarakat pada umumnya. ●
Ironis memang. Negeri ini sudah sekian kali melaksanakan pemilu, tetapi persoalan daftar pemilih masih terus menjadi batu sandungan dalam pemilu. Hampir pada setiap pemilu, baik pemilu nasional maupun regional atau lokal, masalah ketidakakuratan data pemilih selalu menjadi slilit tersendiri.
Jika mau, sebenarnya ada cara sederhana untuk menghasilkan daftar pemilih yang lebih riil dan akurat. Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih ganda. Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih fiktif (orang yang sudah meninggal tetapi namanya masih dicantumkan dalam daftar pemilih). Tidak akan ada lagi yang namanya pemilih di bawah umur (balita) dalam daftar pemilih dan sebagainya.
Cara sederhana itu, pertama, ayo kita mengadopsi cara pendaftaran pemilih yang dipakai selama masa Orde Baru. Petugas atau panitia pendaftaran pemilih (pantarlih) mendatangi rumah-rumah warga (door-to-door) untuk mendaftar warga yang punya hak pilih. Pantarlih mencatat mulai awal. Tidak ada bekal yang bernama DP-4 (data/daftar penduduk potensial pemilih pemilu).
Pantarlih pun hanya mencatat/mendaftar warga yang betul-betul mereka temui. Yang tidak ketemu secara fisik (face-to-face) tidak perlu didaftar. Sebab, jangan-jangan warga itu memang tidak mau didaftar karena memang tidak ingin ikut pemilu. Atau, jangan-jangan mereka nanti mendaftar di tempat lain (di kota tempat mereka bekerja). Nah, hasil kerja pantarlih yang riil di lapangan itu kemudian disusun menjadi daftar pemilih di setiap desa atau setiap TPS (tempat pemungutan suara).
Kedua, ayo kita mengadopsi cara pendaftaran pemilih yang dipakai untuk Pemilu 2004. Masa pendaftaran pemilih dibagi mejadi dua. Taruhlah masa pendaftaran pemilih adalah tiga bulan. Separo pertama, yaitu 1,5 bulan pertama, pantarlih wajib proaktif datang ke rumah-rumah warga untuk mencatat calon pemilih.
Nah, sangat mungkin selama masa 1,5 bulan itu masih ada sejumlah warga yang tidak berhasil ditemui pantarlih. Mungkin karena mereka sedang bekerja atau sedang di luar kota. Karena itu, warga yang seperti itu diberi kesempatan selama 1,5 bulan (separo masa pendaftaran kedua) untuk proaktif datang ke tempat pantarlih untuk mendaftar. Jika mereka tidak mau datang, ya kita anggap itu sebagai indikator bahwa mereka memang tidak tertarik ikut pemilu. Mereka yang seperti itu tentu tidak harus/tidak perlu didaftar sebagai pemilih. Toh, kalau didaftar, mereka bakal golput juga.
Akibatnya, persentase ketidakhadiran pemilih di TPS termasuk tinggi. Rata-rata berkisar 40 persen. Padahal, kita mencetak surat suara sebanyak jumlah DPT (daftar pemilih tetap) plus untuk cadangan 2,5 persen. Itu berarti sekitar 40 persen surat suara yang kita cetak dalam setiap pemilu menjadi mubazir. Surat suara tersebut sia-sia alias terbuang percuma. Itu sebuah pemborosan yang semestinya segera diakhiri.
Berbeda jika misalnya kita hanya mendaftar warga yang memang punya harapan besar dan semangat untuk ikut pemilu. Sangat mungkin tingkat kehadiran mereka saat pemungutan suara mencapai 100 persen. Atau, sak apes-apese (setidak-tidaknya) ya 80 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. Itu akan lebih efisien.
Sekarang ini memang ada pantarlih. Tetapi, mereka sudah dibekali DP-4. Sangat mungkin banyak data di dalam DP-4 tersebut yang sudah out of date. Misalnya, warga yang sudah lama meninggal tetapi namanya masih masuk dalam DP-4. Selain sudah dibekali DP-4, pantarlih terdiri atas pengurus RT/RW. Biasanya mereka ini enggan door-to-door.
Pada satu sisi, mereka menganggap dirinya tokoh atau orang yang dituakan di kampungnya. Pada sisi lain, pantarlih merasa sudah mengenal hampir seluruh warganya. Akibatnya, mereka merasa tidak perlu door-to-door. Padahal, data dalam DP-4 sangat perlu divalidasi. Sangat perlu diverifikasi di lapangan agar mendapat data pemilih yang terkini (up to date), data pemilih yang betul-betul riil.
Adanya DP-4 sebenarnya sangat membantu, sepanjang diverifikasi pantarlih di lapangan. Sebaliknya, DP-4 akan menjadi salah satu sumber masalah jika langsung dijadikan daftar pemilih tanpa melalui verifikasi atau coklit (pencocokan dan penelitian) oleh pantarlih di lapangan.
Wajar jika banyak pihak yang menaruh perhatian terhadap kualitas daftar pemilih. Sebab, daftar pemilih yang valid memang sangat penting dalam pelaksanaan pemilu. Daftar pemilih yang valid menjadi salah satu tolok ukur profesionalisme penyelenggara pemilu. Sebaliknya, karut-marutnya daftar pemilih bisa menjadi amunisi bagi warga untuk memojokkan penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu dianggap amatiran alias tidak profesional.
Bagi peserta pemilu, daftar pemilih yang valid bisa digunakan untuk pemetaan kekuatan dukungan serta mengurangi kekhawatiran terjadinya penggelembungan suara oleh lawan-lawan politik. Semoga KPU mampu mewujudkan harapan para pemangku kepentingan (stakeholder) pemilu dan masyarakat pada umumnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar