Selasa, 01 Oktober 2013

Menguak Sepuluh Kebohongan Mobil Murah

Menguak Sepuluh Kebohongan Mobil Murah
Tulus Abadi  ;  Anggota Pengurus Harian YLKI,
Anggota Dewan Transportasi Kota Jakarta
TEMPO.CO, 01 Oktober 2013


Anjing menggonggong kafilah berlalu. Itulah kira-kira sikap pembuat kebijakan mobil (yang seolah-olah) murah dan (seolah-olah) ramah lingkungan, atau lazim disebut LCGC (low cost green car). Kendati menuai protes keras dari banyak sektor, pemerintah berkeras melanjutkan produksi mobil LCGC. Bahkan, diprediksi hingga akhir 2013, mobil LCGC akan diproduksi sebanyak 31 ribu unit. Dan itu sudah terbukti via Pameran Motor Internasional (Indonesia International Motor Show) beberapa hari lalu, ribuan konsumen inden mobil LCGC.

Sebagai contoh, satu merek dari ATPM (agen tunggal pemegang merek) ternama telah menerima inden 17 ribu unit. Tampaknya, mayoritas masyarakat konsumen pun amat tergiur oleh klaim mobil LCGC: murah dan ramah lingkungan. Betapa tak ngiler jika mobil yang tampak kinclong itu dibanderol dengan kisaran Rp 76 juta hingga Rp 106 juta saja! Harganya tergolong murah memang jika dibandingkan dengan merek mobil ternama yang selama ini beredar di pasar.
 
Namun, jika dicermati secara awam saja, klaim mobil LCGC dominan mengantongi kebohongan. Demikian juga dengan jargon pejabat pemerintah (mulai wakil presiden sampai menteri) nyaris semuanya bohong belaka. Dalam pengamatan saya, minimal terdapat 10 kebohongan berkaitan dengan mobil murah.

Pertama, harganya murah? Nyatanya, mobil yang dijual itu masih minimalis, khususnya yang di bawah harga Rp 100 juta. Minimalis, karena tanpa penyejuk udara, tanpa tape mobil, tanpa power steering; plus aksesori lainnya. Sehingga, jika dilengkapi dengan fasilitas standar, harga mobil akan mencapai Rp 100 juta juga. Belum lagi jika dibeli secara mencicil, yang notabene lebih dari 70 persen, harga mobil ujung-ujungnya akan mencapai lebih dari Rp 100 juta.

Kedua, ramah lingkungan? Mana mungkin layak disebut ramah lingkungan jika masih meminum bahan bakar minyak, bahkan bersubsidi. Layak disebut ramah lingkungan jika bahan bakarnya menggunakan gas (BBG), listrik (hybrid), atau bahkan bahan bakar nabati. Atau karena hemat bahan bakar, yang diklaim setiap liter bisa mencapai jarak 20 kilometer? Itu juga kondisi yang amat spesifik. Jika digunakan untuk kondisi lalu lintas yang super-macet, tentu akan lain cerita. Nyaris tak ada industri otomotif yang mengukur tingkat efisiensi bahan bakarnya dengan parameter lalu lintas Jakarta.

Ketiga, mobil LCGC bukan untuk perkotaan, khususnya Jakarta. Ini juga mitos besar, karena mobil LCGC bentuknya city car, yang artinya mobil tersebut memang didesain untuk kota-kota besar saja. "Orang kampung" tak akan suka dengan mobil LCGC. Pastilah yang membeli mobil LCGC mayoritas orang-orang kota besar (Jabodetabek).

Keempat, mobil untuk ekspor. Ah, mimpi di siang bolong. Indonesia tak punya reputasi sebagai negara produsen otomotif. Adapun kini pasar mobil LCGC sudah marak di berbagai negara. Mobil LCGC produksi Indonesia praktis tak akan laku di pasar.

Kelima, prototipe mobil nasional. Ini juga klaim yang tak berdasar. Mayoritas komponen mobil LCGC masih impor. Plus, masih menggunakan merek ternama (branded) dari mobil ATPM. Rasanya, ATPM asing itu tak akan mentransfer teknologi otomotif ke ranah mobil nasional.

Keenam, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, banyak ragamnya. Mengapa harus industri otomotif? Yang terjadi malah sebaliknya, mobil LCGC justru akan menjadi benalu yang amat serius bagi negara. Misalnya, konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi akan melambung tinggi. Plus, hilangnya potensi pendapatan PPnBM, berkisar Rp 10 triliun per tahun.

Ketujuh, tidak akan memacetkan kota-kota besar, khususnya Jakarta (Bodetabek). Rasanya ini klaim ngawur, karena hampir 85 persen yang inden mobil LCGC adalah orang Jakarta, dan sekitarnya. Jadi, mobil LCGC hanya akan menjadi penyempurna kemacetan Jakarta yang nyaris mencapai gridlock (kemacetan yang mengunci).

Kedelapan, LCGC tidak boleh pakai bahan bakar minyak bersubsidi. Pertanyaannya, instrumen apa untuk melarang dan mengawasinya? Rasanya hanya klaim di siang bolong. Mobil murah kok suruh pakai bahan bakar minyak yang mahal (non-subsidi). Yang terjadi sebaliknya, mobil mahal pakai bahan bakar bersubsidi.

Kesembilan, mobil LCGC akan pakai gas (BBG). Ini juga bohong besar; mana ada SPBG-nya (stasiun pengisian bahan bakar gas), mana ada pasokan gasnya? BBG untuk Transjakarta saja megap-megap, sering ngadat. Kesepuluh, yang paling memprihatinkan, mobil LCGC untuk kalangan berpenghasilan menengah bawah. Ini jelas jargon tidak waras. Mana ada orang berpenghasilan menengah bawah memikirkan beli mobil? Bagi mereka, yang penting makanan, tarif transportasi, dan bayar kontrakan. Ini jargon yang melecehkan!

Kebijakan mobil LCGC adalah kebijakan predator, yang akan mematikan sektor lain secara sistematis. Salah satunya akan mematikan angkutan umum. Tak ada cara lain bagi pemerintah selain menghentikan produksi mobil LCGC, dengan mencabut/membatalkan regulasi yang mengatur LCGC, khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013. Sejatinya, kehadiran mobil LCGC bukan barang haram, jika sistem transportasi dan angkutan umumnya sudah tertata dengan baik, terintegrasi, dan tarif terjangkau. Tanpa hal itu, jangan bermimpi dengan kebijakan mobil LCGC.

Seyogianya pemerintah merenungkan ucapan Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota (yang juga pernah bertandang ke Jakarta) bahwa kota yang modern bukan karena masyarakat miskinnya mampu membeli mobil pribadi, melainkan bagaimana agar orang kayanya mampu menggunakan angkutan umum. Paradigma semacam ini yang mampu menyelamatkan Jakarta (dan kota-kota besar lain di Indonesia) dari kiamat lalu lintas.
 
Seyogianya pemerintah merenungkan ucapan Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota (yang juga pernah bertandang ke Jakarta) bahwa kota yang modern bukan karena masyarakat miskinnya mampu membeli mobil pribadi, melainkan bagaimana agar orang kayanya mampu menggunakan angkutan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar