|
Apa yang membedakan sektor
pertanian Indonesia dengan Thailand? Penduduknya sama-sama makan dan
menghasilkan pangan yang sama: sama-sama suka pedas, kecut, manis, dan santan.
Sama-sama menanam padi, sayuran, buah-buahan tropis, bawang, dan seterusnya. Sama-sama suka durian, manggis, kelapa, asam, dan petai. Yang membedakan adalah business model-nya. Yang satu berorientasi untuk konsumsi domestik dan terabaikan, sedangkan satunya ditekadkan sebagai komoditas ekspor secara terpadu. Maka itu, business modelindustri pangan Thailand dibangun dengan basic research yang kuat. Selain itu, juga didukung oleh industri penopang yang modern dan didorong oleh puluhan ribu rumah makan Thai yang tersebar di seluruh dunia.
Ke mana pun Anda pergi di seluruh dunia ini, Anda akan menyaksikan rumah makan Thai, lengkap dengan foto raja, ornamen budaya, informasi pariwisata, dan pelayan yang dibalut pakaian berbahan sutra atau tenun Thai. Padahal, pemilik kedai itu tak selalu warga negara Thailand. Hasilnya tentu saja berbeda. Di Thailand sektor pertanian hanya memberi kontribusi 9% produk domestik bruto (PDB), tetapi dari luar negeri, sektor ini berkontribusi 21% dari total ekspor Thailand.
Bandingkan dengan Indonesia: kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sekitar 15%, tetapi boro-boro ekspor, kita malah impor. Defisit subsektor pangan Indonesia pada 2011 dua kali lipat dari defisit tiga tahun sebelumnya dan mencapai USD6,439 miliar. Rumah makan Indonesia di luar negeri juga tak begitu terdengar, selain beberapa yang bergerak independen dirintis perorangan yang tak ada hubungannya dengan program peningkatan value pangan Indonesia.
Satu hal yang pasti, dalam bidang apa pun, kita tengah berada dalam medan persaingan business model sehingga jarang sekali negara dan perusahaan yang mampu mempertahankan keunggulan daya saingnya secara abadi. Di seluruh dunia produk-produk unggulan, bahkan merekmerek terkenal, jatuh bangun ke luar dan ke dalam. Ke luar merek-merek besar itu digantikan pendatang-pendatang baru yang memiliki business model yang lebih fit. Ke dalam merekmerek besar dan sektor-sektor usaha hancur dirusak oknum-oknumnya sendiri yang abai menata diri dan beradaptasi.
Business Model Fit
Jauh sebelum itu dunia usaha sudah lama mengirim sinyal-sinyal perubahan. Setiap pendatangbarusesungguhnya jarang sekali yang benar-benar datang dengan produk atau layanan yang benar-benar baru. Hanya melalui sentuhan “business model” yang diperbaharui, hilanglah keunggulan-keunggulan merek-merek terkenal. Anda mungkin masih ingat berakhirnya kejayaan pemegang merek-merek kopi bubuk saat Starbucks mem-franchise-kan kedai kopi.
Pelanggan-pelanggan kopi memilih kedai kopi sebagai tempat melakukan pertemuan dan membeli kopi dalam bentuk yang disajikan ketimbang mengolahnya sendiri di rumah atau di kantor. Padahal cat yang dibayar pelanggan bisa sepuluh kali lipat dan konsumen membayarnya. Setelah itu ribuan merek kedai kopi baru pun bermunculan. Pertarungan antar-business model membuat perdagangan kopi bubuk harus putar otak, dari kopi biasa menjadi kopi sachet yang dijajakan para pedagang kopi keliling bersepeda yang datang dari daerah Banyumas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Demikianlah seterusnya. Demikian pula dengan Modern Group yang kehilangan daya cengkeram dalam bisnis cuci-cetak foto setelah dunia kecanduan kamera digital. Mengalami penurunan pendapatan dari penjualan film rol secara signifikan, mereka memilih gerai Seven Eleven yang diperkaya dengan business model “warung tempat anak muda nongkrong”. Business model Seven Eleven berbeda dengan business model Alfa dan Indomaret dan sempat memusingkan regulator yang mempersoalkan izin, apakah usaha ini ritel atau rumah makan.
Yang benar business model mereka memang berbeda. Yang satu convenient store, yang satunya kedai modern tempat anak muda ngumpul. Banyak orang memegang hak atas merek-merek besar, baik sebagai franchise maupun distributor yang tidak menyadari bahwa mereka harus terus melakukan investasi untuk membuat business model baru yang fit agar selalu siap menghadapi perubahan.
Ya, business model fit. Barang atau layanannya tetap sama, tetapi cara dan baurannya bisa diperbaharui. Riset atau action research diperlukan. Menggali insight. Menghubungkan sesuatu yang baru ke dalam sistem yang lama untuk mendapatkan struktur biaya yang lebih murah, yang memberi nilai yang lebih besar bagi pelanggan, kenikmatan yang lebih memberi kepuasan atau mengisi tantangan baru yang dimunculkan oleh teknologi baru, dan seterusnya.
Tak tertutup penggalian cara-cara baru bahkan berpotensi menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Saya ambil contoh Amusement Park (tempat-tempat bermain anak-anak) dan rumah sakit-rumah sakit besar. Di tempat berkumpulnya orang secara masif itu masing-masing menjadi arena pemasaran air minum yang sangat potensial. Baik Amusement Park maupun rumah sakit sama-sama bisa menjadi pemasok air minum bagi pelanggannya masingmasing.
Apalagi sejak teknologi membuat air dari embun dengan metode SSP tersedia. Air yang diperoleh dari udara, menurut uji klinis, ternyata sangat baik bagi kesehatan dan dapat diproduksi dalam skala kecil. Bayangkan kalau teknologi mini pembuatan air minum bisa mereka dapatkan, pasar air minum dalam kemasan yang business model-nya berbeda (diambil dari pegunungan dengan biaya transportasi yang tinggi) mengalami gangguan. Di dunia sendiri, dewasa ini tengah terjadi value migration dalam berbagai kategori industri.
Dari air mineral dalam kemasan, dunia tengah beralih ke kategori functional water, yang sebagian justru terdiri dari air-air yang bebas dari mineral. Kampanye air nonmineral perlahan-lahan mulai meluas, sebuah business model baru menjadi tantangan bagi pemain lama. Di Amerika Serikat, para venture capitalist sedang mengamati dengan seksama kemajuan-kemajuan yang dicapai para pelaku crowd funding atau situs-situs seperti Kick Starter yang mampu mengumpulkan dana besar secara kolaboratif untuk membiayai bisnis yang kaya inovasi.
Lagi-lagi, business model mereka berbeda. Dunia tengah menghasilkan sebuah pertempuran baru, bukan antarmerek besar, melainkan pertarungan business model. Pemenangnya adalah mereka yang model bisnisnya paling fit dengan tuntutan-tuntutan baru para pelanggannya. Maka itu, penting bagi para eksekutif membuka mata lebar-lebar dan melatih kaum muda melahirkan business model baru secara kreatif. ●
Sama-sama menanam padi, sayuran, buah-buahan tropis, bawang, dan seterusnya. Sama-sama suka durian, manggis, kelapa, asam, dan petai. Yang membedakan adalah business model-nya. Yang satu berorientasi untuk konsumsi domestik dan terabaikan, sedangkan satunya ditekadkan sebagai komoditas ekspor secara terpadu. Maka itu, business modelindustri pangan Thailand dibangun dengan basic research yang kuat. Selain itu, juga didukung oleh industri penopang yang modern dan didorong oleh puluhan ribu rumah makan Thai yang tersebar di seluruh dunia.
Ke mana pun Anda pergi di seluruh dunia ini, Anda akan menyaksikan rumah makan Thai, lengkap dengan foto raja, ornamen budaya, informasi pariwisata, dan pelayan yang dibalut pakaian berbahan sutra atau tenun Thai. Padahal, pemilik kedai itu tak selalu warga negara Thailand. Hasilnya tentu saja berbeda. Di Thailand sektor pertanian hanya memberi kontribusi 9% produk domestik bruto (PDB), tetapi dari luar negeri, sektor ini berkontribusi 21% dari total ekspor Thailand.
Bandingkan dengan Indonesia: kontribusi sektor pertanian terhadap PDB sekitar 15%, tetapi boro-boro ekspor, kita malah impor. Defisit subsektor pangan Indonesia pada 2011 dua kali lipat dari defisit tiga tahun sebelumnya dan mencapai USD6,439 miliar. Rumah makan Indonesia di luar negeri juga tak begitu terdengar, selain beberapa yang bergerak independen dirintis perorangan yang tak ada hubungannya dengan program peningkatan value pangan Indonesia.
Satu hal yang pasti, dalam bidang apa pun, kita tengah berada dalam medan persaingan business model sehingga jarang sekali negara dan perusahaan yang mampu mempertahankan keunggulan daya saingnya secara abadi. Di seluruh dunia produk-produk unggulan, bahkan merekmerek terkenal, jatuh bangun ke luar dan ke dalam. Ke luar merek-merek besar itu digantikan pendatang-pendatang baru yang memiliki business model yang lebih fit. Ke dalam merekmerek besar dan sektor-sektor usaha hancur dirusak oknum-oknumnya sendiri yang abai menata diri dan beradaptasi.
Business Model Fit
Jauh sebelum itu dunia usaha sudah lama mengirim sinyal-sinyal perubahan. Setiap pendatangbarusesungguhnya jarang sekali yang benar-benar datang dengan produk atau layanan yang benar-benar baru. Hanya melalui sentuhan “business model” yang diperbaharui, hilanglah keunggulan-keunggulan merek-merek terkenal. Anda mungkin masih ingat berakhirnya kejayaan pemegang merek-merek kopi bubuk saat Starbucks mem-franchise-kan kedai kopi.
Pelanggan-pelanggan kopi memilih kedai kopi sebagai tempat melakukan pertemuan dan membeli kopi dalam bentuk yang disajikan ketimbang mengolahnya sendiri di rumah atau di kantor. Padahal cat yang dibayar pelanggan bisa sepuluh kali lipat dan konsumen membayarnya. Setelah itu ribuan merek kedai kopi baru pun bermunculan. Pertarungan antar-business model membuat perdagangan kopi bubuk harus putar otak, dari kopi biasa menjadi kopi sachet yang dijajakan para pedagang kopi keliling bersepeda yang datang dari daerah Banyumas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Demikianlah seterusnya. Demikian pula dengan Modern Group yang kehilangan daya cengkeram dalam bisnis cuci-cetak foto setelah dunia kecanduan kamera digital. Mengalami penurunan pendapatan dari penjualan film rol secara signifikan, mereka memilih gerai Seven Eleven yang diperkaya dengan business model “warung tempat anak muda nongkrong”. Business model Seven Eleven berbeda dengan business model Alfa dan Indomaret dan sempat memusingkan regulator yang mempersoalkan izin, apakah usaha ini ritel atau rumah makan.
Yang benar business model mereka memang berbeda. Yang satu convenient store, yang satunya kedai modern tempat anak muda ngumpul. Banyak orang memegang hak atas merek-merek besar, baik sebagai franchise maupun distributor yang tidak menyadari bahwa mereka harus terus melakukan investasi untuk membuat business model baru yang fit agar selalu siap menghadapi perubahan.
Ya, business model fit. Barang atau layanannya tetap sama, tetapi cara dan baurannya bisa diperbaharui. Riset atau action research diperlukan. Menggali insight. Menghubungkan sesuatu yang baru ke dalam sistem yang lama untuk mendapatkan struktur biaya yang lebih murah, yang memberi nilai yang lebih besar bagi pelanggan, kenikmatan yang lebih memberi kepuasan atau mengisi tantangan baru yang dimunculkan oleh teknologi baru, dan seterusnya.
Tak tertutup penggalian cara-cara baru bahkan berpotensi menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru. Saya ambil contoh Amusement Park (tempat-tempat bermain anak-anak) dan rumah sakit-rumah sakit besar. Di tempat berkumpulnya orang secara masif itu masing-masing menjadi arena pemasaran air minum yang sangat potensial. Baik Amusement Park maupun rumah sakit sama-sama bisa menjadi pemasok air minum bagi pelanggannya masingmasing.
Apalagi sejak teknologi membuat air dari embun dengan metode SSP tersedia. Air yang diperoleh dari udara, menurut uji klinis, ternyata sangat baik bagi kesehatan dan dapat diproduksi dalam skala kecil. Bayangkan kalau teknologi mini pembuatan air minum bisa mereka dapatkan, pasar air minum dalam kemasan yang business model-nya berbeda (diambil dari pegunungan dengan biaya transportasi yang tinggi) mengalami gangguan. Di dunia sendiri, dewasa ini tengah terjadi value migration dalam berbagai kategori industri.
Dari air mineral dalam kemasan, dunia tengah beralih ke kategori functional water, yang sebagian justru terdiri dari air-air yang bebas dari mineral. Kampanye air nonmineral perlahan-lahan mulai meluas, sebuah business model baru menjadi tantangan bagi pemain lama. Di Amerika Serikat, para venture capitalist sedang mengamati dengan seksama kemajuan-kemajuan yang dicapai para pelaku crowd funding atau situs-situs seperti Kick Starter yang mampu mengumpulkan dana besar secara kolaboratif untuk membiayai bisnis yang kaya inovasi.
Lagi-lagi, business model mereka berbeda. Dunia tengah menghasilkan sebuah pertempuran baru, bukan antarmerek besar, melainkan pertarungan business model. Pemenangnya adalah mereka yang model bisnisnya paling fit dengan tuntutan-tuntutan baru para pelanggannya. Maka itu, penting bagi para eksekutif membuka mata lebar-lebar dan melatih kaum muda melahirkan business model baru secara kreatif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar