|
Penerapan laporan
kepemilikan rekening warga negara Indonesia di luar negeri mutlak mesti
dilakukakan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dan lebih makmur.
Efek pelemahan kurs rupiah yang terjadi sejak awal Juli lalu perlahan mulai dirasakan oleh masyarakat. Selain efek langsung di pasar keuangan yang terlebih dulu menyengat investor, efek tidak langsung berupa melambatnya perekonomian telah siap membayangi. Tanpa memperdebatkan keuntungan dan kerugian dari pelemahan kurs tersebut bagi sektor-sektor tertentu, ataupun apakah kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah tersebut telah tepat, yang pasti stabilitas nilai tukar mata uang rupiah mutlak sangat diperlukan bagi perekonomian suatu negara.
Secara sederhana, nilai tukar rupiah melemah terhadap mata uang dolar AS karena permintaan akan dolar AS memang meningkat, entah untuk pembayaran impor barang dan jasa ataukah hanya perpindahan portofolio dari pasar keuangan di Indonesia ke negara lain. Uang memang tidak mengenal nasionalisme. Uang akan mengalir ke tempat yang menjanjikan keuntungan dan keamanan. Hal tersebut merupakan hal yang wajar dan rasional, karena para pemilik dana pasti mengejar profit dengan risiko yang dapat ditoleransi.
Namun terdapat hal yang sangat mengejutkan ketika, dalam pemberitaan di beberapa media massa, disinyalir bahwa dana warga negara Indonesia yang ditempatkan di Singapura mencapai Rp 1.500 triliun (salah satunya dilansir oleh Detik.com pada 28 Agustus 2013). Bisa dibayangkan apabila nilai tersebut digabungkan dengan simpanan warga negara Indonesia di negara-negara lain yang berada di Swiss, Luxemburg, Malaysia, ataupun negara-negara lainnya. Dan sungguh dahsyat efeknya apabila dana tersebut balik ke pasar keuangan di Indonesia. Kekeringan likuiditas di sektor keuangan tentu jauh dari kenyataan.
Sah-sah saja orang memilih negara mana untuk menempatkan dananya. Apabila pasar melihat investasi di Indonesia aman dan menguntungkan, pasti dana tersebut kembali masuk ke Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah jika larinya dana tersebut bertujuan untuk menghindari pajak ataupun untuk menyembunyikan dana hasil korupsinya. Semenarik apa pun investasi di Indonesia, dana tersebut akan tetap parkir di luar negeri. Dana itu akan balik ke Indonesia jika si empunya dana memang sedang membutuhkan rupiah di Indonesia.
Perilaku negatif para pemilik dana yang sengaja menghindari pajak tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk mengembalikan dana yang memang menjadi hak negara. Tidak diketahuinya secara pasti jumlah dana warga negara Indonesia yang parkir di luar negeri (baik legal maupun ilegal) akan menyulitkan bagi otoritas moneter ataupun pengambil kebijakan untuk mengambil langkah-langkah taktis baik pada saat krisis maupun pada saat perekonomian sedang stabil.
Lalu, bagaimana? Apakah kita harus diam saja? Ataukah kita hanya terus-menerus menduga-duga tanpa disertai data yang akurat? Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Internal Revenue Service, dalam menguber pajak warga negaranya. Di Amerika Serikat, terdapat satu kewajiban bagi warga negaranya yang memiliki rekening bank di luar negeri yang dalam satu tahun sempat menyentuh nilai di atas US$ 10 ribu, yakni mereka wajib menyampaikan laporan kepada Financial Crimes Enforcement Network (FinCen). Apabila ada pelanggaran atas kewajiban tersebut, dendanya bisa mencapai 50 persen dari dana yang harus mereka laporkan. Aturan tersebut sedang ramai dibicarakan, khususnya mengenai cara pembuktian apakah tidak dilaporkannya suatu rekening atas kesengajaan ataukah ketidaktahuan dan sebab lainnya. Dan bagaimana dengan warga negara yang hanya selaku pemegang kuasa transaksi dari suatu perusahaan, apakah mereka wajib juga melakukan pelaporan atas dana yang bukan miliknya?
Jika aturan tersebut diterapkan di Indonesia, tentu kita dapat mengetahui berapa jumlah dana warga Indonesia yang sebenarnya diparkir di luar negeri. Selain itu, kita dapat mengetahui negara mana yang paling banyak diminati warga negara Indonesia dalam memarkir dananya, dan alasan utama mereka memarkir dananya di negara tersebut. Selanjutnya, dari data yang ada, tentu pemerintah bisa merumuskan kebijakan-kebijakan yang penting guna menarik dana warga negara Indonesia tersebut kembali ke Tanah Air atau mengutip pajaknya. Lalu, bagaimana dengan dana yang ilegal? Karena niat mereka melarikan dana ke luar negeri agar tidak bisa dilacak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tentu saja dengan aturan tersebut dapat dipastikan mereka tidak akan melaporkan dana mereka tersebut.
Berkaca pada Amerika Serikat, dan memperhatikan aturan kerahasiaan informasi nasabah penyedia jasa keuangan, tentu yang bisa menerima dan mengolah data kewajiban laporan tersebut adalah PPATK. Jadi, walaupun pemilik rekening di luar negeri tidak melaporkan kepemilikan dananya, dengan ketersediaan data pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain yang melewati daerah pabean (cross-border cash carrying), laporan transaksi keuangan transfer dana, serta adanya nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) PPATK dengan lembaga intelijen keuangan negara lain, khususnya dengan Singapura yang baru saja ditandatangani akhir September 2013 lalu, suatu saat kepemilikan dana tersebut akan terendus oleh PPATK. Walaupun mereka menyembunyikan dananya ke ujung dunia sekalipun, mereka adalah tetap warga negara Indonesia yang suatu saat membutuhkan dana segar untuk bertransaksi di Indonesia.
Hal krusial lainnya adalah bagaimana mensosialisasi aturan tersebut ke seluruh WNI yang bekerja di luar negeri. Dan bentuk kerja sama seperti apa antara PPATK dengan Dirjen Pajak atau instansi lainnya untuk mengetahui apakah dana yang disembunyikan tersebut dimaksudkan untuk menghindari pajak ataukah menyembunyikan dana hasil kejahatannya. Bisa dibayangkan dampaknya apabila aturan tersebut diterapkan bersamaan dengan aturan pembatasan transaksi tunai yang sering disuarakan oleh Kepala PPATK. Maka, tak ayal lagi cita-cita pendiri negara untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur dapat lebih mudah dicapai. Penerapan laporan kepemilikan rekening warga negara Indonesia di luar negeri mutlak mesti dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dan lebih makmur. ●
Efek pelemahan kurs rupiah yang terjadi sejak awal Juli lalu perlahan mulai dirasakan oleh masyarakat. Selain efek langsung di pasar keuangan yang terlebih dulu menyengat investor, efek tidak langsung berupa melambatnya perekonomian telah siap membayangi. Tanpa memperdebatkan keuntungan dan kerugian dari pelemahan kurs tersebut bagi sektor-sektor tertentu, ataupun apakah kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah tersebut telah tepat, yang pasti stabilitas nilai tukar mata uang rupiah mutlak sangat diperlukan bagi perekonomian suatu negara.
Secara sederhana, nilai tukar rupiah melemah terhadap mata uang dolar AS karena permintaan akan dolar AS memang meningkat, entah untuk pembayaran impor barang dan jasa ataukah hanya perpindahan portofolio dari pasar keuangan di Indonesia ke negara lain. Uang memang tidak mengenal nasionalisme. Uang akan mengalir ke tempat yang menjanjikan keuntungan dan keamanan. Hal tersebut merupakan hal yang wajar dan rasional, karena para pemilik dana pasti mengejar profit dengan risiko yang dapat ditoleransi.
Namun terdapat hal yang sangat mengejutkan ketika, dalam pemberitaan di beberapa media massa, disinyalir bahwa dana warga negara Indonesia yang ditempatkan di Singapura mencapai Rp 1.500 triliun (salah satunya dilansir oleh Detik.com pada 28 Agustus 2013). Bisa dibayangkan apabila nilai tersebut digabungkan dengan simpanan warga negara Indonesia di negara-negara lain yang berada di Swiss, Luxemburg, Malaysia, ataupun negara-negara lainnya. Dan sungguh dahsyat efeknya apabila dana tersebut balik ke pasar keuangan di Indonesia. Kekeringan likuiditas di sektor keuangan tentu jauh dari kenyataan.
Sah-sah saja orang memilih negara mana untuk menempatkan dananya. Apabila pasar melihat investasi di Indonesia aman dan menguntungkan, pasti dana tersebut kembali masuk ke Indonesia. Yang menjadi persoalan adalah jika larinya dana tersebut bertujuan untuk menghindari pajak ataupun untuk menyembunyikan dana hasil korupsinya. Semenarik apa pun investasi di Indonesia, dana tersebut akan tetap parkir di luar negeri. Dana itu akan balik ke Indonesia jika si empunya dana memang sedang membutuhkan rupiah di Indonesia.
Perilaku negatif para pemilik dana yang sengaja menghindari pajak tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk mengembalikan dana yang memang menjadi hak negara. Tidak diketahuinya secara pasti jumlah dana warga negara Indonesia yang parkir di luar negeri (baik legal maupun ilegal) akan menyulitkan bagi otoritas moneter ataupun pengambil kebijakan untuk mengambil langkah-langkah taktis baik pada saat krisis maupun pada saat perekonomian sedang stabil.
Lalu, bagaimana? Apakah kita harus diam saja? Ataukah kita hanya terus-menerus menduga-duga tanpa disertai data yang akurat? Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari pemerintah Amerika Serikat, melalui Internal Revenue Service, dalam menguber pajak warga negaranya. Di Amerika Serikat, terdapat satu kewajiban bagi warga negaranya yang memiliki rekening bank di luar negeri yang dalam satu tahun sempat menyentuh nilai di atas US$ 10 ribu, yakni mereka wajib menyampaikan laporan kepada Financial Crimes Enforcement Network (FinCen). Apabila ada pelanggaran atas kewajiban tersebut, dendanya bisa mencapai 50 persen dari dana yang harus mereka laporkan. Aturan tersebut sedang ramai dibicarakan, khususnya mengenai cara pembuktian apakah tidak dilaporkannya suatu rekening atas kesengajaan ataukah ketidaktahuan dan sebab lainnya. Dan bagaimana dengan warga negara yang hanya selaku pemegang kuasa transaksi dari suatu perusahaan, apakah mereka wajib juga melakukan pelaporan atas dana yang bukan miliknya?
Jika aturan tersebut diterapkan di Indonesia, tentu kita dapat mengetahui berapa jumlah dana warga Indonesia yang sebenarnya diparkir di luar negeri. Selain itu, kita dapat mengetahui negara mana yang paling banyak diminati warga negara Indonesia dalam memarkir dananya, dan alasan utama mereka memarkir dananya di negara tersebut. Selanjutnya, dari data yang ada, tentu pemerintah bisa merumuskan kebijakan-kebijakan yang penting guna menarik dana warga negara Indonesia tersebut kembali ke Tanah Air atau mengutip pajaknya. Lalu, bagaimana dengan dana yang ilegal? Karena niat mereka melarikan dana ke luar negeri agar tidak bisa dilacak oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), tentu saja dengan aturan tersebut dapat dipastikan mereka tidak akan melaporkan dana mereka tersebut.
Berkaca pada Amerika Serikat, dan memperhatikan aturan kerahasiaan informasi nasabah penyedia jasa keuangan, tentu yang bisa menerima dan mengolah data kewajiban laporan tersebut adalah PPATK. Jadi, walaupun pemilik rekening di luar negeri tidak melaporkan kepemilikan dananya, dengan ketersediaan data pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain yang melewati daerah pabean (cross-border cash carrying), laporan transaksi keuangan transfer dana, serta adanya nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) PPATK dengan lembaga intelijen keuangan negara lain, khususnya dengan Singapura yang baru saja ditandatangani akhir September 2013 lalu, suatu saat kepemilikan dana tersebut akan terendus oleh PPATK. Walaupun mereka menyembunyikan dananya ke ujung dunia sekalipun, mereka adalah tetap warga negara Indonesia yang suatu saat membutuhkan dana segar untuk bertransaksi di Indonesia.
Hal krusial lainnya adalah bagaimana mensosialisasi aturan tersebut ke seluruh WNI yang bekerja di luar negeri. Dan bentuk kerja sama seperti apa antara PPATK dengan Dirjen Pajak atau instansi lainnya untuk mengetahui apakah dana yang disembunyikan tersebut dimaksudkan untuk menghindari pajak ataukah menyembunyikan dana hasil kejahatannya. Bisa dibayangkan dampaknya apabila aturan tersebut diterapkan bersamaan dengan aturan pembatasan transaksi tunai yang sering disuarakan oleh Kepala PPATK. Maka, tak ayal lagi cita-cita pendiri negara untuk mewujudkan negara yang adil dan makmur dapat lebih mudah dicapai. Penerapan laporan kepemilikan rekening warga negara Indonesia di luar negeri mutlak mesti dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang bersih dan lebih makmur. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar