Kamis, 17 Oktober 2013

Pangan dan Kemiskinan

Pangan dan Kemiskinan
Trie Joko Paryono  ;   Alumnus Pascasarjana IPB,
Anggota Komisi Penyuluhan Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 16 Oktober 2013


TERASA selalu aktual membicarakan isu tentang kesenjangan pangan dan kemiskinan. Dua topik ini selalu menjadi fokus pembahasan berbagai pertemuan, dari skala lokal hingga skala dunia.
Potret tata kehidupan dunia saat ini ditandai oleh kondisi paradoksal, kesenjangan Utara-Selatan, antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi di negara maju melimpah-ruah, namun di negara berkembang muncul kelangkaan dan kemiskinan.

Data terbaru Badan Pangan dan Pertanian Dunia pada awal Oktober 2013 menyebutkan saat ini tak kurang dari 842 juta orang, atau 1 di antara 8 penduduk, menderita kelaparan kronis. Mereka tidak mendapat cukup makanan untuk menjalani hidup aktif dan sehat. Sebagian besar tinggal di negara berkembang, sementara 15,7 juta tinggal di negara maju.

Lingkaran kemiskinan membelit tak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia. Robert Chambers menyebut kelompok ini terseret dalam jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan tersebut meliputi lima ketidakberuntungan, yaitu kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan dan ketidakberdayaan (Robert Chambers, 1983 : 111).

Dua ketidakberuntungan terakhir, kerentanan dan ketidakberdayaan, acap menyeret keluarga miskin kepada situasi kemiskinan absolut. Berkait Peringatan Ke-33 Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2013, FAO menetapkan tema ìSustainable Food Systems for Food Security and Nutritionî. Mengacu tema internasional itu, pemerintah Indonesia menetapkan tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju Kemandirian Pangan”.

Ketimpangan akses pangan dunia tidak terlepas dari dominasi negara-negara maju dalam semua bidang kehidupan, termasuk pangan dan pertanian. Dominasi itu dibangun dari praktik tidak fair perdagangan dengan kebijakan protektif terhadap pertanian mereka. Laporan Oxfam, organisasi nonpemerintah menyebutkan selama ini negara maju telah memberikan subsidi pada pertanian mereka 1 miliar dolar AS/hari.

Penyebab Kebangkrutan

Tindakan tidak fair inilah yang dituding oleh aktivis kemanusiaan sebagai penyebab kebangkrutan usaha petani di negara-negara berkembang. Sampai kapan pun komoditas pangan dan pertanian yang mereka hasilkan mustahil dapat bersaing dengan komoditas serupa dari negara-negara maju.

Karena itu aktivis menyeru negara-negara maju untuk menghentikan subsidi sekaligus membuka akses seluas-luasnya pasar bagi komoditas pertanian negara-negara berkembang.

Perluasan akses pasar melalui penurunan hambatan perdagangan dan penghentian pemberian subsidi di negara-negara maju diyakini jauh lebih efektif untuk mengatasi problem kemiskinan di negara berkembang dibanding kebijakan pemberian bantuan. Bantuan pangan bagi negara-negara miskin tidak akan pernah mengungkap substansi permasalahan sebenarnya, yaitu kemiskinan.

Cara-cara seperti itu selalu dipilih untuk ìmenolongî negara-negara miskin dan mengemasnya dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Padahal di balik itu ada beberapa agenda tersembunyi. Acap negara-negara donor menawarkan proyek kepada negara berkembang yang dikendalikannya.

Namun di balik itu terkandung maksud mengambil keuntungan lebih besar. Bukankah pepatah Barat mengatakan no free lunch, tak ada makan siang gratis? Melalui cara-cara seperti itu, tanpa dirasakan oleh negara-negara miskin, mereka jauh terperangkap dalam berbagai jebakan, salah satunya jebakan pangan (food trap).

Ketergantungan pemenuhan pangan melalui impor dari negara maju, merupakan wujud nyata dari ketidakberdayaan, bentuk lain imperialisme modern. Tragisnya, saat ini Indonesia nyaris masuk perangkap itu. Impor berbagai bahan pangan, dari beras, daging, kedelai, hingga bawang merah, menjadi kebijakan rutin pemerintah kita.

Kesenjangan terhadap akses pangan diyakini sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan. Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, menuliskannya dalam buku Inequality Reexamined. Masalah kemiskinan dan kelaparan di dunia bukan semata-mata disebabkan ketiadaan makanan melainkan ketiadaaan akses orang miskin terhadap makanan. Tesis Sen dipertegas oleh Weisband (1989), dalam buku Poverty Amidst Plenty.

Weisband mengatakan dalam keberlimpahan produksi bahan pangan di suatu negeri, sangat dimungkinkan terjadi kasus kelaparan dan kemiskinan yang hebat. Hal ini mengindikasikan adanya ketidakadilan dan ada sesuatu yang keliru di negeri itu. Melihat situasi itu, sepatutnya pemerintah mengevaluasi sistem dan kebijakan ketahanan pangan, untuk bahan rekonstruksi.


Ada tiga alasan pokok yang mendasari. Pertama; pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang kecukupannya menjadi hak asasi tiap rakyat Indonesia, tanpa kecuali. Kedua; pangan memiliki peran sangat menentukan dalam mewujudkan SDM yang berkualitas sebagai pelaksana pembangunan nasional. Ketiga; pangan memiliki peran sangat signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar