|
TERASA
selalu aktual membicarakan isu tentang kesenjangan pangan dan kemiskinan. Dua
topik ini selalu menjadi fokus pembahasan berbagai pertemuan, dari skala lokal
hingga skala dunia.
Potret
tata kehidupan dunia saat ini ditandai oleh kondisi paradoksal, kesenjangan
Utara-Selatan, antara penduduk kaya dan miskin. Kondisi di negara maju
melimpah-ruah, namun di negara berkembang muncul kelangkaan dan kemiskinan.
Data
terbaru Badan Pangan dan Pertanian Dunia pada awal Oktober 2013 menyebutkan
saat ini tak kurang dari 842 juta orang, atau 1 di antara 8 penduduk, menderita
kelaparan kronis. Mereka tidak mendapat cukup makanan untuk menjalani hidup
aktif dan sehat. Sebagian besar tinggal di negara berkembang, sementara 15,7
juta tinggal di negara maju.
Lingkaran
kemiskinan membelit tak kurang dari 1,2 miliar penduduk dunia. Robert Chambers
menyebut kelompok ini terseret dalam jebakan kekurangan (deprivation trap). Jebakan kekurangan tersebut meliputi lima
ketidakberuntungan, yaitu kemiskinan, kelemahan fisik, keterasingan, kerentanan
dan ketidakberdayaan (Robert Chambers,
1983 : 111).
Dua
ketidakberuntungan terakhir, kerentanan dan ketidakberdayaan, acap menyeret
keluarga miskin kepada situasi kemiskinan absolut. Berkait Peringatan Ke-33
Hari Pangan Sedunia pada 16 Oktober 2013, FAO menetapkan tema ìSustainable Food
Systems for Food Security and Nutritionî. Mengacu tema internasional itu,
pemerintah Indonesia menetapkan tema ”Optimalisasi Sumber Daya Lokal Menuju
Kemandirian Pangan”.
Ketimpangan
akses pangan dunia tidak terlepas dari dominasi negara-negara maju dalam semua
bidang kehidupan, termasuk pangan dan pertanian. Dominasi itu dibangun dari
praktik tidak fair perdagangan dengan kebijakan protektif terhadap pertanian
mereka. Laporan Oxfam, organisasi nonpemerintah menyebutkan selama ini negara
maju telah memberikan subsidi pada pertanian mereka 1 miliar dolar AS/hari.
Penyebab Kebangkrutan
Tindakan
tidak fair inilah yang dituding oleh aktivis kemanusiaan sebagai penyebab
kebangkrutan usaha petani di negara-negara berkembang. Sampai kapan pun
komoditas pangan dan pertanian yang mereka hasilkan mustahil dapat bersaing
dengan komoditas serupa dari negara-negara maju.
Karena
itu aktivis menyeru negara-negara maju untuk menghentikan subsidi sekaligus
membuka akses seluas-luasnya pasar bagi komoditas pertanian negara-negara
berkembang.
Perluasan
akses pasar melalui penurunan hambatan perdagangan dan penghentian pemberian
subsidi di negara-negara maju diyakini jauh lebih efektif untuk mengatasi
problem kemiskinan di negara berkembang dibanding kebijakan pemberian bantuan.
Bantuan pangan bagi negara-negara miskin tidak akan pernah mengungkap substansi
permasalahan sebenarnya, yaitu kemiskinan.
Cara-cara
seperti itu selalu dipilih untuk ìmenolongî negara-negara miskin dan
mengemasnya dalam bentuk bantuan kemanusiaan. Padahal di balik itu ada beberapa
agenda tersembunyi. Acap negara-negara donor menawarkan proyek kepada negara
berkembang yang dikendalikannya.
Namun
di balik itu terkandung maksud mengambil keuntungan lebih besar. Bukankah pepatah
Barat mengatakan no free lunch, tak ada makan siang gratis? Melalui cara-cara
seperti itu, tanpa dirasakan oleh negara-negara miskin, mereka jauh
terperangkap dalam berbagai jebakan, salah satunya jebakan pangan (food trap).
Ketergantungan
pemenuhan pangan melalui impor dari negara maju, merupakan wujud nyata dari
ketidakberdayaan, bentuk lain imperialisme modern. Tragisnya, saat ini
Indonesia nyaris masuk perangkap itu. Impor berbagai bahan pangan, dari beras,
daging, kedelai, hingga bawang merah, menjadi kebijakan rutin pemerintah kita.
Kesenjangan
terhadap akses pangan diyakini sebagai penyebab kemiskinan dan kelaparan.
Amartya Sen, penerima Nobel Ekonomi 1998, menuliskannya dalam buku Inequality
Reexamined. Masalah kemiskinan dan kelaparan di dunia bukan semata-mata
disebabkan ketiadaan makanan melainkan ketiadaaan akses orang miskin terhadap
makanan. Tesis Sen dipertegas oleh Weisband (1989), dalam buku Poverty Amidst Plenty.
Weisband
mengatakan dalam keberlimpahan produksi bahan pangan di suatu negeri, sangat
dimungkinkan terjadi kasus kelaparan dan kemiskinan yang hebat. Hal ini
mengindikasikan adanya ketidakadilan dan ada sesuatu yang keliru di negeri itu.
Melihat situasi itu, sepatutnya pemerintah mengevaluasi sistem dan kebijakan
ketahanan pangan, untuk bahan rekonstruksi.
Ada
tiga alasan pokok yang mendasari. Pertama; pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang kecukupannya menjadi hak asasi tiap rakyat Indonesia, tanpa
kecuali. Kedua; pangan memiliki peran sangat menentukan dalam mewujudkan SDM
yang berkualitas sebagai pelaksana pembangunan nasional. Ketiga; pangan
memiliki peran sangat signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik
bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar