|
Idul Adha atau Idul Qurban
merupakan salah satu hari besar dalam Islam ketika jutaan muslim beraktifitas
tidak seperti biasanya. Di hari-hari ini berjuta umat muslim menunaikan
rangkaian ibadah haji di sepanjang dua kota suci Mekkah dan Madinah, bersamaan dengan
umat muslim di belahan bumi lain menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ibadah
qurban. Baik ibadah haji maupun ibadah qurban merupakan pengingat sekaligus
peringatan tentang keteladanan manusia agung Ibrahim beserta keluarganya.
Dalam konteks Indonesia, Idul Adha 1434 H kali ini diharapkan tak berhenti pada pelaksanaan ritual keagamaan di tanah lapang dan masjid saja, atau pun dianggap selesai ketika hewan ternak telah disembelih. Namun peringatan hari raya Idul Adha semestinya menjadi tanda pengagungan terhadap tradisi besar Islam, sekaligus memberi jeda tafakkur dan tadabbur pada umat Islam di Indonesia tentang keberlangsungan kehidupan sosial keagamaan kita yang tak kunjung reda dari krisis kemanusiaan.
Kita bisa membaca kembali kisah ini, ketika Ibrahim di usia tua dan telah lama menanti kehadiran anak, akhirnya mendapat karunia kelahiran Ismail kecil, namun kebahagiaan sementara ini harus dihadapkan dengan perintah Allah SWT untuk menyembelih Ismail. Sepenuh kesabaran dan keikhlasan keduanya berserah diri (aslama) akan perintah Allah SWT, hingga sampai saat Ibrahim membaringkan Ismail di saat itu pula kontan Allah SWT menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. (QS Ash Shaaffaat,100-111).
Peristiwa inilah yang kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah Qurban dilakukan pada hari raya Idul Adha. Pada kisah ini kita tak hanya tercenung mendapatkan keikhlasan dan kepatuhan Ibrahim yang rela merelakan anaknya terkasih, namun juga juga betapa hebatnya kesediaan Ismail untuk mengorbankan dirinya sendiri demi panggilan suci dari Allah Swt.
Dalam hal lain, begitupun perintah berhaji ke Baitullah (Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 26-37), bukan hanya sekedar formalitas untuk meraih sebutan haji atau meningkatkan status sosial keagamaan belaka, namun terdapat makna yang mendalam di balik rangkaian ibadah yang agung ini.
Menurut Komaruddin Hidayat, ibadah Haji yang diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari dengan menggunakan pakaian ihram (pakaian putih yang amat sederhana) mengandung makna kita melepaskan pakaian keseharian yang merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial kita menuju kesamaan derajat kita sebagai manusia di hadapan Allah SWT. Karena tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas taqwanya.
Menjadi Islam Aktual
Pertanyaan yang kemudian mencuat di benak kita, seberapa bermakna rangkaian ritual ini bagi umat Islam? Apa makna yang didapat di saat jutaan umat Islam Indonesia tiap tahunnya mendapatkan libur untuk memperingati perayaan Idul Adha, dapat berkumpul di tanah lapang atau masjid-masjid untuk mengagungkan kebesaran-Nya, menyembelih jutaan hewan Qurban, dan tiap tahun pula mengirimkan masyarakatnya untuk berhaji? Bukankah Shalat Idul Adha, penyembelihan hewan Qurban, dan berhaji mempunyai nilai sejarah tentang keikhlasan, kepatuhan, kepasrahan, dan berserah diri? Atau memang bagi kita, shalat Idul Adha, penyembelihan hewan Qurban, dan ibadah haji tak lebih sekedar ritual tahunan yang tidak memberi makna apapun?
Dengan kembali kepada makna asal Islam (aslama) – berserah diri, kepasrahan – Murtadha Mutahhari, seorang alim besar dari Iran, menjelaskan dua macam kepasrahan. Pertama, Islam fisik atau Islam Geografis ketika manusia pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Mutahhari menyebut istilah al-islâm al-jughrâfî kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Kedua, Islam aktual atau al-islâm al-wâqi’î . Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui pencarian atau penelitian tanpa fanatisme.
Meninjau perilaku keislaman kita hari ini, mestinya momen hari raya Idul Adha ini menjadi cermin untuk mengintrospeksi diri, apakah yang telah kita lakukan hari ini sudah sesuai dengan kebenaran Islam, ataukah sekedar ikut-ikutan fenomena sesaat tanpa ikutan makna yang meyertainya. Tentunya menjadi keharusan bagi umat Islam hari ini untuk tidak sekedar berkutat dengan Islam fisik atau Islam geografis, tetapi lebih dari itu yakni Islam aktual, yang kita imani, ilmui, dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memulai Gotong Royong
Setelah masing-masing kita mencoba membumikan islam aktual, maka tanggung jawab berikutnya adalah bagaimana agar kita dengan kesadaran yang sama bergerak dalam satu barisan. Gotong royong, yang menjadi budaya kita sejak bangsa ini didirikan, harus diarahkan dalam menunaikan kebaikan.
Sebagaimana yang dibahasakan oleh Rhenald Kasali, bahwa untuk melakukan perubahan-perubahan besar-besaran kita membutuhkan kolaborasi besar-besaran. Juga dalam QS Ali Imran 104 ditegaskan agar ada sekelompok di antara kita yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan semangat gotong royong tersebut, maka peringatan Idul Adha akan menjadi momentum yang sangat berarti untuk mengurai persoalan atau setiap masalah yang sedang menyelimuti kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Kedzaliman atau kejahatan terorganisir yang selama ini menggerogoti bangsa ini akan berhadap-hadapan dengan kolaborasi besar-besaran oleh mereka yang senantiasa memperjuangkan kebaikan. Segala masalah yang tak habis-habisnya bersimaharajalela sejak hilir hingga hulu kehidupan berbangsa kita dapat direduksi secara berjamaah sehingga sampai kepada perbaikan menyeluruh. Itulah makna qurban yang perlu kita bumikan. Selamat Idul Adha 1434 H. ●
Dalam konteks Indonesia, Idul Adha 1434 H kali ini diharapkan tak berhenti pada pelaksanaan ritual keagamaan di tanah lapang dan masjid saja, atau pun dianggap selesai ketika hewan ternak telah disembelih. Namun peringatan hari raya Idul Adha semestinya menjadi tanda pengagungan terhadap tradisi besar Islam, sekaligus memberi jeda tafakkur dan tadabbur pada umat Islam di Indonesia tentang keberlangsungan kehidupan sosial keagamaan kita yang tak kunjung reda dari krisis kemanusiaan.
Kita bisa membaca kembali kisah ini, ketika Ibrahim di usia tua dan telah lama menanti kehadiran anak, akhirnya mendapat karunia kelahiran Ismail kecil, namun kebahagiaan sementara ini harus dihadapkan dengan perintah Allah SWT untuk menyembelih Ismail. Sepenuh kesabaran dan keikhlasan keduanya berserah diri (aslama) akan perintah Allah SWT, hingga sampai saat Ibrahim membaringkan Ismail di saat itu pula kontan Allah SWT menebus Ismail dengan seekor sembelihan yang besar. (QS Ash Shaaffaat,100-111).
Peristiwa inilah yang kemudian menjadi dasar disyariatkannya ibadah Qurban dilakukan pada hari raya Idul Adha. Pada kisah ini kita tak hanya tercenung mendapatkan keikhlasan dan kepatuhan Ibrahim yang rela merelakan anaknya terkasih, namun juga juga betapa hebatnya kesediaan Ismail untuk mengorbankan dirinya sendiri demi panggilan suci dari Allah Swt.
Dalam hal lain, begitupun perintah berhaji ke Baitullah (Al-Qur’an surah Al-Hajj ayat 26-37), bukan hanya sekedar formalitas untuk meraih sebutan haji atau meningkatkan status sosial keagamaan belaka, namun terdapat makna yang mendalam di balik rangkaian ibadah yang agung ini.
Menurut Komaruddin Hidayat, ibadah Haji yang diawali dengan menanggalkan pakaian sehari-hari dengan menggunakan pakaian ihram (pakaian putih yang amat sederhana) mengandung makna kita melepaskan pakaian keseharian yang merupakan refleksi keakuan serta simbol status sosial kita menuju kesamaan derajat kita sebagai manusia di hadapan Allah SWT. Karena tak ada yang lebih unggul di mata Allah dari yang lain kecuali karena kualitas taqwanya.
Menjadi Islam Aktual
Pertanyaan yang kemudian mencuat di benak kita, seberapa bermakna rangkaian ritual ini bagi umat Islam? Apa makna yang didapat di saat jutaan umat Islam Indonesia tiap tahunnya mendapatkan libur untuk memperingati perayaan Idul Adha, dapat berkumpul di tanah lapang atau masjid-masjid untuk mengagungkan kebesaran-Nya, menyembelih jutaan hewan Qurban, dan tiap tahun pula mengirimkan masyarakatnya untuk berhaji? Bukankah Shalat Idul Adha, penyembelihan hewan Qurban, dan berhaji mempunyai nilai sejarah tentang keikhlasan, kepatuhan, kepasrahan, dan berserah diri? Atau memang bagi kita, shalat Idul Adha, penyembelihan hewan Qurban, dan ibadah haji tak lebih sekedar ritual tahunan yang tidak memberi makna apapun?
Dengan kembali kepada makna asal Islam (aslama) – berserah diri, kepasrahan – Murtadha Mutahhari, seorang alim besar dari Iran, menjelaskan dua macam kepasrahan. Pertama, Islam fisik atau Islam Geografis ketika manusia pasrah kepada seseorang atau sesuatu karena terpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Mutahhari menyebut istilah al-islâm al-jughrâfî kepada mereka yang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Kedua, Islam aktual atau al-islâm al-wâqi’î . Islamnya orang yang sudah pasrah kepada kebenaran dengan hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diyakininya setelah ia menerima kebenaran itu melalui pencarian atau penelitian tanpa fanatisme.
Meninjau perilaku keislaman kita hari ini, mestinya momen hari raya Idul Adha ini menjadi cermin untuk mengintrospeksi diri, apakah yang telah kita lakukan hari ini sudah sesuai dengan kebenaran Islam, ataukah sekedar ikut-ikutan fenomena sesaat tanpa ikutan makna yang meyertainya. Tentunya menjadi keharusan bagi umat Islam hari ini untuk tidak sekedar berkutat dengan Islam fisik atau Islam geografis, tetapi lebih dari itu yakni Islam aktual, yang kita imani, ilmui, dan amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Memulai Gotong Royong
Setelah masing-masing kita mencoba membumikan islam aktual, maka tanggung jawab berikutnya adalah bagaimana agar kita dengan kesadaran yang sama bergerak dalam satu barisan. Gotong royong, yang menjadi budaya kita sejak bangsa ini didirikan, harus diarahkan dalam menunaikan kebaikan.
Sebagaimana yang dibahasakan oleh Rhenald Kasali, bahwa untuk melakukan perubahan-perubahan besar-besaran kita membutuhkan kolaborasi besar-besaran. Juga dalam QS Ali Imran 104 ditegaskan agar ada sekelompok di antara kita yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan semangat gotong royong tersebut, maka peringatan Idul Adha akan menjadi momentum yang sangat berarti untuk mengurai persoalan atau setiap masalah yang sedang menyelimuti kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Kedzaliman atau kejahatan terorganisir yang selama ini menggerogoti bangsa ini akan berhadap-hadapan dengan kolaborasi besar-besaran oleh mereka yang senantiasa memperjuangkan kebaikan. Segala masalah yang tak habis-habisnya bersimaharajalela sejak hilir hingga hulu kehidupan berbangsa kita dapat direduksi secara berjamaah sehingga sampai kepada perbaikan menyeluruh. Itulah makna qurban yang perlu kita bumikan. Selamat Idul Adha 1434 H. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar