Kamis, 17 Oktober 2013

Gratifikasi

Gratifikasi
Roby Arya Brata  Anggota Pendiri Kelompok Kajian Korupsi di Negara-Negara Asia, Asian Association for Public Administration
TEMPO.CO, 16 Oktober 2013



Pembuktian terbalik ini penting, terutama untuk mengungkap penambahan kekayaan yang tidak sah (illicit enrichment) sebagai hasil penerimaan gratifikasi yang ilegal.

Dalam suatu diskusi yang diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) belum lama ini, penulis sebagai narasumber dimintai pendapat apakah perlu ketentuan gratifikasi dalam Pasal 12B dan Pasal 12C UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) diubah atau bahkan dihapus?

Pertanyaan ini terkait dengan hasil penilaian yang dilakukan oleh pemantau (reviewer) dari Inggris dan Uzbekistan terhadap implementasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) di Indonesia. Mereka mempermasalahkan adanya ketidakjelasan dan ketidaktegasan alasan pembedaan antara suap (bribery) dan gratifikasi (aggravated form of bribery), terutama pembedaan substansial dalam pemberian sanksi.

Selain itu, mereka mempertanyakan pemberian impunitas atau alasan pemaaf dari tuntutan pidana dalam Pasal 12C bagi penerima gratifikasi, bila melaporkan penerimaan gratifikasi tersebut kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi itu. Karena itu, mereka menyarankan agar Pasal 12B dan 12C dihapuskan.

Ketentuan Pasal 12B menyebutkan: (1)"Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri ataupenyelenggara negaradianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya", dengan ketentuan: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

Dalam penjelasan Pasal 12B ayat (1), didefinisikan gratifikasi sebagai pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Memang Pasal 12B tidak menyatakan secara jelas dan tegas perbedaan gratifikasi dan suap, terutama soal waktu kejadian pidana (tempus delicti)-nya. Gratifikasi hanya akan memiliki makna negatif, menjadi suap bila pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Jadi, gratifikasi-suap (corrupt gratification) dapat terjadi sebelum (ex-ante factum) atau setelah (ex-post factum) tindakan korup pejabat publik dilakukan/tidak dilakukan.

Anehnya, meskipun pada hakikatnya Pasal 11, Pasal 12 (a, b dan c), dan Pasal 12B merupakan penerimaan suap oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, pembuat undang-undang memberikan sanksi yang berbeda-beda. Pasal 11 memidana maksimum 5 tahun penjara, sedangkan Pasal 12 (a, b dan c) dan Pasal 12B seumur hidup atau 20 tahun penjara.

Untuk memudahkan pembuktian oleh penegak hukum, semestinya perlu ada pembedaan yang tegas antara gratifikasi yang dilarang (corrupt gratification) dan suap (bribery), terutama dalam hal tempus delicti dan beratnya sanksi. Corrupt gratification sebaiknya dikualifikasi sebagai ex-post factum berupa penghargaan (reward) yang berkaitan dan/atau bertentangan dengan kewajiban pejabat publik. Sedangkan suap merupakan ex-ante factum, yaitu usaha untuk menggerakkan (inducement) dilakukannya tindak pidana korupsi.

Sanksi terhadap corrupt gratification bisa lebih berat atau lebih ringan daripada suap. Lebih berat karena tindakan yang bertentangan dengan kewajiban itu telah terjadi. Lebih ringan bila ternyata tindakan pejabat publik itu tidak bertentangan dengan kewajibannya, tapi kita mengkriminalisasi penerimaan gratifikasi ini karena berpotensi menciptakan budaya korupsi. Bribery dihukum lebih ringan karena tindakan korup yang merugikan itu belum terjadi.

Selain itu, untuk memudahkan pembuktian, seharusnya penerapan pembuktian terbalik (reversed burden of proof) tidak dibatasi pada gratifikasi dengan nilai di atas Rp 10 juta. Penerima gratifikasi harus membuktikan sebaliknya bahwa gratifikasi yang dia terima bukan suap, berapa pun jumlahnya. Pembuktian terbalik ini penting, terutama untuk mengungkap penambahan kekayaan yang tidak sah (illicit enrichment) sebagai hasil penerimaan gratifikasi yang ilegal.

Kelemahan lain dari undang-undang tipikor kita adalah tidak ada atau tidak jelasnya pemberian sanksi pada pemberi gratifikasi ilegal. Pasal 12B dan 12C hanya memidana penerima gratifikasi. Padahal, untuk mencegah terjadinya corrupt gratification, kedua belah pihak, termasuk pemberi gratifikasi (demand side), harus juga tegas diancam pidana.

Celah lainnya, tidak ada atau tidak jelasnya pengaturan dan pemberian sanksi pada pihak ketiga (agen) pemberi dan penerima gratifikasi atau suap. Dalam Prevention of Corruption Act Singapura, pemberi dan penerima gratifikasi dan suap (juga agennya) tetap dipidana, meskipun gratifikasi dan suap itu diberikan atau diterima melalui orang ketiga/agen. 

Dalam kasus mantan Presiden PKS LHI, misalnya, KPK akan menemui kesulitan, karena dia tidak/belum menerima sendiri gratifikasi/suap itu, tapi diduga diterima melalui agennya, yaitu AF, yang bukan seorang pegawai negeri. Tapi tentu KPK memiliki strategi sendiri.

Kesulitan lain muncul: bagaimana bila gratifikasi ilegal dikamuflasekan melalui pemberian hadiah ulang tahun kepada pejabat publik oleh agen kerabatnya dan diterima oleh anggota keluarganya yang bukan pegawai negeri?

Karena itu, saya mengusulkan agar Pasal 5, 11, 12, dan 12B dilebur dan dirumuskan menjadi satu pasal yang sekaligus mengkriminalisasi dan memidana pemberi dan penerima gratifikasi ilegal dan suap, termasuk agennya. Perumusan dapat memodifikasi Pasal 5-Pasal 9 Prevention of Corruption Act Singapura dan Pasal 15 UNCAC (pemberian dan penerimaan gratifikasi ilegal/suap secara langsung dan tak langsung). Pembuktian terbalik diberlakukan dalam perumusan baru ini.

Pasal 12C ayat (1) dan (2) yang mendekriminalisasi dan memberikan impunitas kepada penerima gratifikasi ilegal yang melaporkannya dalam waktu 30 hari sebaiknya dihapuskan karena bertentangan dengan UNCAC. Seperti dalam kasus Ketua SKK Migas, RR, pasal ini bisa dimanfaatkan untuk lolos dari jeratan hukum bila ia dapat membuktikan yang ia terima adalah gratifikasi yang belum dilaporkan dalam waktu 30 hari.

Penjelasan gratifikasi hendaknya diperluas, termasuk gratifikasi seks. Gratifikasi seks merupakan gratifikasi ilegal yang dapat terjadi terutama dalam proses pengadaan barang dan jasa, promosi jabatan, dan pembuatan kebijakan publik. Percobaan, pembantuan, dan permufakatan untuk memberi dan menerima gratifikasi ilegal baik langsung maupun tidak langsung juga dapat dipidana. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar