|
Pascabeberapa
kasus perebutan tanah rakyat oleh negara yang diwakili perusahaan-perusahaan
dalam beberapa waktu terakhir ini (baca: realitas), kini demonstrasi
besar-besaran di seluruh pelosok Tanah Air guna menuntut reformasi agraria
kemudian ibarat bak salju yang menggelinding begitu kencang dan kuat.
Tuntutan
tentang adanya reformasi agraria adalah agar kebijakan agraria bisa berpihak
demi kepentingan rakyat.
Terlepas
dari tuntutan tersebut, sesungguhnya sejarah konflik agraria ini sudah pernah
terjadi pada generasi-generasi sebelummya. Umumnya konflik agraria tersebut
berkenaan dengan perkebunan besar, baik yang dikelola negara maupun swasta.
Sejarah
konflik agraria menyebutkan, pernah terjadi serangkaian perlawanan petani di
Jawam, seperti Gerakan Haji di Pekalongan (1860), Gerakan Mangkuwijoyo di Desa
Merbung, Klaten (1865), Gerakan Tirtowat di Desa Bakalan, Kartosuro (1886),
Peristiwa Srikaton di Desa Girilayu, Karanganyar (1888), Pemberontakan Petani
Candi Udik (1892), dan Peristiwa Gedangan (1904).
Semua
gerakan perlawanan itu disorongkan kepada pemerintahan agrarian Belanda pada
abad ke-19 yang merebut hak tanah rakyat (Pembaruan Agraria: antara Negara dan
Pasar Hal 39, 2004).
Persoalan
selanjutnya adalah ternyata warisan sejarah agraria yang menempatkan rakyat
sebagai alat kepentingan pemuas nafsu sektoral pemodal dan negara terus-menerus
dilanjutkan sampai saat ini.
Rakyat
menjadi pihak yang selalu dikorbankan dan dikalahkan. Setiap kebijakan agraria
yang diproduksi pun selalu meminggirkan kepentingan rakyat dan lebih memilih
keberpihakan kepada kekuatan dominan serta kelas atas. Seolah dengan merebut
tanah rakyat yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat, negara kemudian begitu
mudahnya mempermainkan kehidupan rakyat.
Tak
ada lagi sebuah komitmen dan kepedulian politik sangat tinggi dalam memberikan
keberpihakan politiknya untuk rakyat. Apakah rakyat selanjutnya berada dalam
keterbelakangan hidup dan tidak memiliki tempat untuk membangun kehidupannya
sendiri agar menjadi lebih baik.
Negara
sudah mengabaikannya dengan sedemikian rupa. Oleh karena itu, tak pernah
terbersit sama sekali untuk mencoba lebih progresif dan sadar diri untuk
berpikir bahwa keberadaan negara adalah bagian tak terpisahkan dalam
menyelamatkan kehidupan rakyat.
Terbitnya
Perpres No 36 Tahun 2005 tentang hak pemerintah untuk mengambil alih hak guna
dan kepemilikan tanah dari seseorang dan golongan demi kemaslahatan publik
merupakan satu kejahatan yang terorganisasi. Hal tersebut merupakan salah satu
kebijakan agraria yang merusak nurani jutaan rakyat Indonesia dari Sabang
sampai Merauke.
Dengan
mencoba mengatasnamakan kepentingan publik, kekuasaan yang dimiliki negara
selanjutnya dipergunakan dengan sedemikian mudahnya untuk mengelabui rakyat.
Tanah rakyat apakah itu bernama ulayat dan lainnya diserobot.
Memang
diakui maupun tidak, tanah yang dimiliki rakyat terkadang secara yuridis formal
tidak memiliki kekuatan hukum tetap karena hanya sebatas berwajah surat
keterangan dari ketua RT setempat atau setingkat di atasnya.
Ketika
negara yang mewakili kepentingan publik mengeluarkan surat, kekuatan hukumnya
lebih kuat sehingga surat keterangan atas tanah yang dimiliki warga sudah
terkalahkan secara otomatis.
Negara
dalam konteks ini menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk melahirkan aturan
yang bisa mengalahkan rakyatnya. Potret tersebut kemudian mengilustrasikan
bahwa negara menciptakan permusuhan dengan rakyatnya. Di sinilah kondisi nyata negara
yang sudah sangat bobrok dan justru menjadi pelayan nafsu para pemodal.
Epistemologi
Tanah
Berbicara
tentang tanah bukan semata menjadi ruang bagi rakyat dalam mempertahankan
kehidupannya. Tanah bukan semata berjalin kelindan dengan bagaimana rakyat
menjadikannya sebagai tempat mendirikan rumah dan lain sebagainya. Tanah
memiliki makna baru bahwa ia merupakan sebuah bentuk harga diri dan kedaulatan
diri. Tanah menjadi pusat kehidupan rakyat di segala dimensi kediriannya.
Kelangsungan
hidup rakyat berada di tanah sebagai bahan pijakan dan gerakannya. Kehadiran
tanah bagi rakyat sama dengan kehadiran dirinya di republik ini untuk
mengaktualisasi diri. Seorang filsuf eksistensialis ternama Soren Kierkegaard
(1813-1855) pernah berseloroh bahwa tanah merupakan sebuah identitas diri
kehidupan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupannya.
Tanah
adalah rahim suci yang melahirkan pelbagai rejeki kehidupan yang kemudian dapat
dimanfaatkan bagi sebesar-besar kehidupan warga di masa depan. Tanah
merefleksikan diri kehidupan manusia untuk bisa memperpanjang masa hidupnya.
Menurut
pameo yang berkembang di tengah masyarakat Timur, tanah adalah rumah bagi
setiap manusia. Tanah bukanlah benda mati yang tak bisa berbicara apa-apa dan
tidak memberikan pesan apa-apa.
Dalam
semiotika Roland Barthes (1967: 40), tanah sebetulnya mengandung petanda dan
penanda. Petanda terkait tanah adalah sesuatu yang melekat pada tanah itu
sendiri sebagai sesuatu yang konkret, sedangkan penanda terkait tanah adalah
sesuatu yang menghidupkan tanah bagi keberlangsungan hidup manusia. Secara
paradigmatik, adanya kehidupan disebabkan adanya tanah dan keberadaan tanah
mendukung kehidupan manusia.
Butuh
Komitmen
Kini
yang harus segera dilakukan negara adalah menjadikan tanah sebagai ruang
kehidupan rakyat secara konkret dan praksis. Negara tidak boleh lagi melakukan
perselingkuhan dengan pemodal untuk semata memonopoli ekonomi melalui
penyerobotan tanah rakyat yang seakan-akan dimuarakan demi kemaslahatan publik.
UUD
1945 Pasal 33 Ayat 3 menyatakan dengan tegas bahwa bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Dengan
demikian, negara harus mengembalikan kedaulatan tanah untuk rakyat. Negara
bertanggung jawab sepenuhnya bagi pemartabatan tanah rakyat. Setiap kebijakan
negara yang menyangkut agraria wajib merepresentasikan nurani rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar