|
Vught, sebuah kota kecil di "kabupaten"
s-Hertogenbosch, Belanda, memiliki sebuah kompleks perumahan yang cukup luas.
Dalam beberapa kali kunjungan, saya selalu tertarik pada ihwal yang sama:
kompleks itu menamai beberapa area dan aneka jalannya dengan nama pelukis
terkenal Belanda yang sezaman. Bahkan salah satu area di situ dinamai Rembrandtlaan. Kita tahu, Rembrandt
adalah pelukis ternama Belanda abad ke-17, pencipta adikarya Nachtwacht
(Penjaga Malam) yang dijadikan ikon Rijksmuseum, Amsterdam.
Sementara itu, di seputar Rembrandtlaan ada Ruisdaelstraat,
Ostadestraat, Berckheydestraat, dan lain-lain. Hampir semua orang Belanda tahu,
Jacob van Ruisdael, Adriaen van Ostade, dan Gerrit Berckheyde adalah
pelukis-pelukis sohor Belanda abad ke-17 pula. Di luar kompleks, ada Hotel De
Witte, yang meminjam nama pelukis Emanuel de Witte. Selanjutnya, mungkin karena
tergetar oleh suasana kompleks yang dibaluti nama-nama pelukis, ada sebuah
kantor swasta di situ yang arsitekturnya mengacu pada lukisan abstrak
geometris-neoplastisisme Piet Mondriaan, pelukis Belanda ternama abad ke-20.
Alhasil, kompleks perumahan di Vught itu bagai kitab sejarah seni rupa Belanda
masa lalu.
Di St. Petersburg, Rusia, terbentang sebuah wilayah yang
jalan-jalannya bernama sastrawan. Jalan terbesar tentu saja Maxim Gorky. Lalu,
ada Alexander S. Pusjkin sampai Mikhail Y. Lermontow. Hal yang sama juga tampak
di Oslo, Norwegia. Tak jauh dari museum sastrawan Henrik Ibsen, ada nama jalan
yang diangkat dari penyair dan novelis. Seperti Bjorntjerne Bjorson dan Knut
Hamsun. Semua itu mendampingi nama-nama pematung dan pelukis, seperti Gustav
Vigeland dan Edvard Munch, yang terabadikan sebagai penanda tempat. Alhasil,
sehamparan area di St. Petersburg dan Oslo bak sebuah ensiklopedi kecil sejarah
seni, yang segera mengajak siapa pun untuk pelan-pelan mengingat sejarah besar
kesenian negeri itu.
Kejayaan Nusantara
Penamaan jalan yang terkonsep seperti di atas pernah
diadopsi oleh Ir Ciputra, pengembang proyek perumahan di banyak kota. Sekitar
20 tahun lalu ia berencana menamai jalan kompleksnya dengan nama-nama perupa
dan pemikir seni rupa Indonesia yang harum namanya. Dari Jalan Raden Saleh,
Affandi, Basoeki Abdullah, S. Sudjojono, Hendra Gunawan, sampai Trubus.
Gagasan unik tersebut ternyata mendapat "koreksi"
dari birokrat perencanaan kota. Sang penguasa meminta agar pihak pengembang
menghapus beberapa nama perupa yang dianggap bekas anggota Lekra (Lembaga
Kebudayaan Rakyat), yang berafiliasi di bawah PKI (Partai Komunis Indonesia).
Pihak Ciputra menolak. Lalu, daripada menganaktirikan beberapa perupa, gagasan
itu pun dibuang sama sekali.
Penamaan jalan (termasuk taman, lapangan, plaza, gedung)
secara konseptual tentulah penting untuk sebuah kota modern. Sebab, nama-nama
itu pada akhirnya bukan hanya tampil sebagai penanda tempat, tapi juga
menawarkan imajinasi, narasi, serta ingatan atas sebuah perjalanan peradaban.
Sedangkan di sisi lain, lantaran penamaan jalan itu dibikin, disetujui, serta
disahkan oleh orang per orang yang memiliki kekuasaan, kemunculan nama jalan
akan selalu berhubungan dengan persepsi dan kepentingan (politik) penguasa
wilayah. Sejarah kota Indonesia telah memberi penjelasan gamblang.
Henk Ngantung, mantan wakil gubernur dan Gubernur Jakarta
sebelum 1966, bercerita bahwa konsep nama-nama jalan di Jakarta dan berbagai
kota di Indonesia acap dicetuskan oleh Presiden Sukarno, yang kadang mendapat
masukan dari Muhammad Yamin dan Bahder Djohan. Pada masa Sukarno, konsep itu
diberangkatkan dari sikap penjunjungan sejarah kejayaan Nusantara, serta
kekayaan bumi Indonesia. Konsep ini lantas disampaikan ke gubernur, wali kota,
bupati, dan seterusnya. Lalu, sejumlah jalan yang semula bernama Belanda lantas
diganti.
Maka, di Jakarta pun muncul Jalan Majapahit, Jalan Hayam
Wuruk, Jalan Sriwijaya, Jalan Diponegoro, dan sebagainya. Sementara jalan-jalan
yang relatif lebih kecil disemati nama Jalan Cendana, Jalan Kamboja, Jalan
Salak, Jalan Jambu, Jalan Sawo, unsur flora yang membuktikan kesuburan
Indonesia Raya. Bung Karno menyarankan agar setiap kota di Indonesia tak lupa
mencantumkan nama pulau-pulau yang tersebar di Nusantara. Lantas menjulurlah
Jalan Sulawesi, Jalan Madura, Jalan Maluku, dan seterusnya. Konsep ini diusung
dari hasrat untuk menggerakkan warga kota agar selalu cinta kepada negeri, dan
selalu mempercayai kekukuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jalan para jenderal
Zaman Sukarno yang Orde Lama beralih ke masa Orde Baru yang
dipimpin Presiden Suharto. Sebuah peralihan segera membuat perubahan. Dalam
urusan nama jalan, perubahan tersebut tertandai dengan merajalelanya nama-nama
para jenderal tumbal revolusi korban kudeta G30S. Dengan demikian, Jakarta dan
seluruh kota besar di Indonesia memasuki tahun 1970-an ramai-ramai memampang
Jalan A. Yani, Jalan R. Suprapto, Jalan Katamso, Jalan D.I. Panjaitan, Jalan
M.T. Haryono.
Bagi yang gemar sejarah, nama-nama itu tentu historis dan
mendebarkan. Namun pengangkatan yang menderu-deru tersebut agaknya membuat
sejumlah pengamat politik menduga: bahwa itu adalah bagian dari narasi politik
Pak Harto dan Orde Baru, untuk terus menegaskan kekejaman kudeta PKI tahun 1965
dulu. Dan yang menarik, konsep politis Pak Harto ini begitu gampang diturunkan
ke bawah, sehingga para petinggi kota (bahkan desa!) ramai-ramai menurutinya.
Di balik itu, nama Sukarno dan Mohammad Hatta diam-diam tidak pernah
ditawarkan, bahkan berhasil ditutup oleh nama Brigadir Polisi Satsuit Tubun dan
Letnan Piere Tendean, yang juga korban G30S.
Era Orde Baru tamat dan kini diganti Orde Reformasi. Pada
era ini pemimpin kota punya otoritas penuh untuk memberi nama jalan. Walaupun
tetap harus ada restu dari institusi tertinggi negara. Dari sini Gubernur DKI
Jakarta Joko Widodo bersama Panitia 17 lantas melemparkan wacana konseptual:
ingin mengubah Jalan Medan Merdeka Utara jadi Jalan Sukarno, Jalan Medan
Merdeka Selatan jadi Jalan Mohamad Hatta, Jalan Medan Merdeka Timur jadi Jalan
Soeharto, dan Jalan Medan Merdeka Barat jadi Jalan Ali Sadikin. Sebuah usulan
yang manis! Meskipun sebagian masyarakat menganggap penempatan nama empat tokoh
amat besar tersebut kurang pas untuk menamai jalan-jalan yang amat pendek.
Karena itu, saya pikir lebih proporsional apabila seluruh
(sekali lagi: seluruh) Jalan Medan Merdeka menjadi Jalan Sukarno. Sementara Jalan
Mohammad Hatta menggantikan Jalan Matraman Raya. Jalan Kramat Raya, seandainya
masyarakat menghendaki, diganti jadi Jalan Soeharto. Sedangkan Jalan Ali
Sadikin menggantikan Jalan Gunung Sahari Raya. Semoga Pak Jokowi dan Panitia 17
berkenan kiranya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar