|
Secara normatif, hidup sejahtera dan
bebas dari kemiskinan adalah impian setiap warga negara, termasuk para petani.
Namun, bagi para petani—yang merayakan HUT Agraria ke-53 tanggal 24 September
2013 ini—itu semua masih ilusi.
Praktis, sejak masa kolonial hingga era reformasi saat ini, petani tak pernah berdaulat, terus menjadi korban eksploitasi negara dan modal global.
Belum tuntas diskusi soal implementasi pembaruan agraria seperti diamanatkan UU Agraria No 5/1960, dunia pertanian, agraria, dan lingkungan kita kini menghadapi ancaman baru: praktik penguasaan dan penggunaan tanah secara masif dan intensif dalam skala luas oleh pihak asing.
Di tengah ancaman kedaulatan pangan, pemerintah justru mengusung program food estate yang mendapat justifikasi melalui Peraturan Pemerintah No 18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman yang terbit pada akhir Januari 2010.
Program ini dilakukan dengan dalih demi produktivitas pertanian untuk ketahanan pangan dunia (yang diistilahkan sebagai land grabbing untuk tujuan food colonialism). Food estate dinisbatkan sebagai konsep pengembangan produksi pangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan dengan lahan yang luas.
Konon, ada beberapa keuntungan dari food estate, seperti (1) pemerintah bisa membuka lahan tanaman pangan baru dengan lebih cepat dan meningkatkan produksi tanaman pangan; (2) pemerintah bisa menarik minat investor untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, khususnya di luar Jawa; (3) bisa menambah pendapatan pemerintah dan meningkatkan pendapatan petani di kawasan food estate; dan (4) meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia (Cahyono, 2009).
Saat ini, sekitar 552 hektare dari rencana 1,6 juta hektare lahan milik negara yang ada di Merauke, Papua, yang dikelola Kementerian Kehutanan, telah diberikan kepada investor swasta dalam bentuk konsesi perkebunan raksasa. Konsesi diberikan negara sebagai tindak lanjut dari implementasi Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Ancaman krisis pangan bukan direspons pemerintah dengan kebijakan pro petani dalam rangka memperkuat kapasitas kedaulatan pangan masyarakat, tetapi justru dengan meliberalisasi jutaan hektare lahan pertanian yang menjadi sumber dan lumbung pangan nasional. Padahal, kebijakan pertanian yang pro pasar telah memicu ancaman krisis pangan di tingkat lokal.
Proyek food estate mengingatkan kita pada kebijakan era tanam paksa atau cultuurstelsel (1830-1870) yang diprakarsai Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20 persen) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Program colonial food ini memang terbukti berhasil menyelamatkan negeri Belanda dari ancaman kebangkrutan, bahkan memberi keuntungan besar bagi negeri Belanda. Di era cultuurstelsel, petani lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga mereka untuk bekerja di lahan pemerintah dibandingkan di lahan mereka sendiri.
Jika di era cultuurstelsel jenis tanaman dan harga ditentukan sepihak oleh pemerintah kolonial kepada para petani kita, maka di era food estate jutaan hektare lahan akan disewakan pemerintah pada swasta dan modal global demi dan atas nama mengatasi ancaman krisis pangan.
Padahal, persoalan fundamental yang dihadapi petani saat ini adalah sempitnya penguasaan lahan. Sulit membuat petani sejahtera dengan kepemilikan lahan sempit, apalagi jika lahan petani dikuasai asing melalui proyek food estate. Penerapan politik agraria ala kolonial ini diprediksi akan makin meningkatkan persentase petani berlahan sempit dan petani tunatanah.
Studi lawas yang dilakukan Tauhid (1952) menunjukkan, penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada 1938 rata-rata hanya 0,84 hektare. Khusus di Jawa, keluarga yang memiliki tanah kurang dari sepertiga hektare mencapai 70 persen, sementara keluarga yang memiliki tanah lebih dari 5 hektare hanya 0,5 persen.
Hasil Sensus Pertanian 2003 pun menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).
Kendati UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menyebutkan bahwa dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian dapat dialihfungsikan, namun klausa ini perlu dikaji lebih mendalam mengenai bentuk kepentingan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Jangan sampai ketentuan dalam UU No 41/2009 ini dimanfaatkan atau disalah-artikan oleh pihak-pihak tertentu yang menjadikan “kepentingan umum” sebagai dalih untuk melakukan alih fungsi dan meliberalisasi lahan pertanian.
Belum lagi persoalan sektoral perundangan yang potensial meliberalisasi lahan pertanian, seperti UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengadaan Lahan untuk Pembangunan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Penanaman Modal.
Meski perundang-undangan ini bertujuan memecahkan bottleneck problem infrastruktur dan peningkatan investasi, produk perundangan di atas potensial melegalkan perampasan lahan pertanian atas nama pembangunan, yang berujung pada meningkatnya konflik agraria.
Mengutip Setiawan (2008), sejak rezim Orde Baru berkuasa, luas kepemilikan tanah makin menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1963, rata-rata penguasaan tanah petani adalah 1,05 hektare menjadi 0,99 hektare pada 1973, 0,90 (1983), dan 0,81 (1993).
Dampaknya, petani kian sulit mengejar ketertinggalan dan makin terjebak dalam kubangan kemiskinan. Padahal, sekitar 43 persen tenaga kerja negeri ini bekerja pada sektor pertanian.
Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu konflik agraria yang belakangan berlangsung marak, sebagai dampak terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada swasta dan modal global.
Kelambanan pemerintah pusat maupun daerah dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa lahan ditengarai menjadi penyebab utama maraknya konflik agraria yang diprediksi akan berlangsung makin intens dan masif di masa depan.
Yang pasti, kemiskinan yang mendera para petani negeri ini bersifat sistemik-struktural yang berhulu pada mandeg-nya program pembaruan agraria. Kemiskinan jenis ini jelas bersifat by design yang tidak bisa dipecahkan dengan langkah ad hoc dan tambal sulam. ●
Praktis, sejak masa kolonial hingga era reformasi saat ini, petani tak pernah berdaulat, terus menjadi korban eksploitasi negara dan modal global.
Belum tuntas diskusi soal implementasi pembaruan agraria seperti diamanatkan UU Agraria No 5/1960, dunia pertanian, agraria, dan lingkungan kita kini menghadapi ancaman baru: praktik penguasaan dan penggunaan tanah secara masif dan intensif dalam skala luas oleh pihak asing.
Di tengah ancaman kedaulatan pangan, pemerintah justru mengusung program food estate yang mendapat justifikasi melalui Peraturan Pemerintah No 18/2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman yang terbit pada akhir Januari 2010.
Program ini dilakukan dengan dalih demi produktivitas pertanian untuk ketahanan pangan dunia (yang diistilahkan sebagai land grabbing untuk tujuan food colonialism). Food estate dinisbatkan sebagai konsep pengembangan produksi pangan terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, dan peternakan di suatu kawasan dengan lahan yang luas.
Konon, ada beberapa keuntungan dari food estate, seperti (1) pemerintah bisa membuka lahan tanaman pangan baru dengan lebih cepat dan meningkatkan produksi tanaman pangan; (2) pemerintah bisa menarik minat investor untuk menggerakkan kegiatan ekonomi, khususnya di luar Jawa; (3) bisa menambah pendapatan pemerintah dan meningkatkan pendapatan petani di kawasan food estate; dan (4) meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia (Cahyono, 2009).
Saat ini, sekitar 552 hektare dari rencana 1,6 juta hektare lahan milik negara yang ada di Merauke, Papua, yang dikelola Kementerian Kehutanan, telah diberikan kepada investor swasta dalam bentuk konsesi perkebunan raksasa. Konsesi diberikan negara sebagai tindak lanjut dari implementasi Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Ancaman krisis pangan bukan direspons pemerintah dengan kebijakan pro petani dalam rangka memperkuat kapasitas kedaulatan pangan masyarakat, tetapi justru dengan meliberalisasi jutaan hektare lahan pertanian yang menjadi sumber dan lumbung pangan nasional. Padahal, kebijakan pertanian yang pro pasar telah memicu ancaman krisis pangan di tingkat lokal.
Proyek food estate mengingatkan kita pada kebijakan era tanam paksa atau cultuurstelsel (1830-1870) yang diprakarsai Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20 persen) untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila).
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Program colonial food ini memang terbukti berhasil menyelamatkan negeri Belanda dari ancaman kebangkrutan, bahkan memberi keuntungan besar bagi negeri Belanda. Di era cultuurstelsel, petani lebih banyak menghabiskan waktu dan tenaga mereka untuk bekerja di lahan pemerintah dibandingkan di lahan mereka sendiri.
Jika di era cultuurstelsel jenis tanaman dan harga ditentukan sepihak oleh pemerintah kolonial kepada para petani kita, maka di era food estate jutaan hektare lahan akan disewakan pemerintah pada swasta dan modal global demi dan atas nama mengatasi ancaman krisis pangan.
Padahal, persoalan fundamental yang dihadapi petani saat ini adalah sempitnya penguasaan lahan. Sulit membuat petani sejahtera dengan kepemilikan lahan sempit, apalagi jika lahan petani dikuasai asing melalui proyek food estate. Penerapan politik agraria ala kolonial ini diprediksi akan makin meningkatkan persentase petani berlahan sempit dan petani tunatanah.
Studi lawas yang dilakukan Tauhid (1952) menunjukkan, penguasaan tanah di Jawa, Bali, dan Sumatera pada 1938 rata-rata hanya 0,84 hektare. Khusus di Jawa, keluarga yang memiliki tanah kurang dari sepertiga hektare mencapai 70 persen, sementara keluarga yang memiliki tanah lebih dari 5 hektare hanya 0,5 persen.
Hasil Sensus Pertanian 2003 pun menyebutkan, jumlah rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare—milik sendiri maupun menyewa—meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta rumah tangga (1993) menjadi 13,7 juta rumah tangga (2003).
Kendati UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menyebutkan bahwa dalam hal untuk kepentingan umum, lahan pertanian dapat dialihfungsikan, namun klausa ini perlu dikaji lebih mendalam mengenai bentuk kepentingan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Jangan sampai ketentuan dalam UU No 41/2009 ini dimanfaatkan atau disalah-artikan oleh pihak-pihak tertentu yang menjadikan “kepentingan umum” sebagai dalih untuk melakukan alih fungsi dan meliberalisasi lahan pertanian.
Belum lagi persoalan sektoral perundangan yang potensial meliberalisasi lahan pertanian, seperti UU Sumber Daya Air, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengadaan Lahan untuk Pembangunan, UU Pertambangan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Penanaman Modal.
Meski perundang-undangan ini bertujuan memecahkan bottleneck problem infrastruktur dan peningkatan investasi, produk perundangan di atas potensial melegalkan perampasan lahan pertanian atas nama pembangunan, yang berujung pada meningkatnya konflik agraria.
Mengutip Setiawan (2008), sejak rezim Orde Baru berkuasa, luas kepemilikan tanah makin menurun dari tahun ke tahun. Tahun 1963, rata-rata penguasaan tanah petani adalah 1,05 hektare menjadi 0,99 hektare pada 1973, 0,90 (1983), dan 0,81 (1993).
Dampaknya, petani kian sulit mengejar ketertinggalan dan makin terjebak dalam kubangan kemiskinan. Padahal, sekitar 43 persen tenaga kerja negeri ini bekerja pada sektor pertanian.
Kondisi inilah yang menjadi salah satu pemicu konflik agraria yang belakangan berlangsung marak, sebagai dampak terkonsentrasinya kepemilikan tanah pada swasta dan modal global.
Kelambanan pemerintah pusat maupun daerah dan ketidakadilan dalam proses penyelesaian sengketa lahan ditengarai menjadi penyebab utama maraknya konflik agraria yang diprediksi akan berlangsung makin intens dan masif di masa depan.
Yang pasti, kemiskinan yang mendera para petani negeri ini bersifat sistemik-struktural yang berhulu pada mandeg-nya program pembaruan agraria. Kemiskinan jenis ini jelas bersifat by design yang tidak bisa dipecahkan dengan langkah ad hoc dan tambal sulam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar