|
PARTAI berkuasa Demokrat baru saja
merilis ‘kesebelasan’ capres 2014. Semua tahu partai itu jadi sorotan publik
dan kejaran lembaga hukum sepanjang fase kedua kepemimpinan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY). Karena ingin tampil beda jika dibandingkan dengan
partai politik yang lainnya, Partai Demokrat sepertinya mau mengikuti tradisi
konvensi partai untuk menentukan capres di Amerika Serikat. Apa mau dikata,
ambisi besar Partai Demokrat untuk menghasilkan calon presiden yang populer
sepertinya sangat terganggu oleh aksi Anas Urbaningrum dengan mendirikan
Organisasi Pergerakan Indonesia beberapa waktu lalu.
Sulit juga ditampik bahwa proses
penggembosan fondasi partai pasti terjadi dengan organisasi baru, terutama
karena keterlibatan sejumlah aktor utama partai di dalamnya. Tidak terhindarkan,
satu catatan penting pertama langsung diletakkan dalam konteks ini. Partai
politik tidak akan pernah menghasilkan calon pemimpin politik mumpuni dengan
kultur semacam itu. Mereka tidak akan pernah bisa menganggap kebangsaan dan
kenegaraan sebagai payung kebersamaan yang harus dijaga dengan keteladanan
politik.
Ilusi
Urgensitas dari Editorial Media
Indonesia (19/9)--Menguji Kredibilitas Presiden--akan menjadi perkara ruwet
sekaligus batu ujian paling berat untuk partai berkuasa itu. Meluncurkan ajang
konvensi capres sebagai program unggulan partai untuk mencari calon presiden
terbaik serentak berbenturan dengan pemandangan umum yang dihasilkan para kader
mereka yang menistakan proses civilisasi politik dan kekuasaan.
Yang semakin menjadi nyata ialah
ambruknya kredibilitas karena kekosongan kecerdasan untuk mengelola ketegangan
politik dan konflik kepentingan internal. Dari situ dapat ditarik catatan kedua
yang sama berbahayanya. Negara tidak patut diserahkan kepada para penguasa yang
terbukti tidak mampu menjaga soliditas partainya sendiri dengan etika dan asas
kepatutan paling minimal sekalipun. Dengan cara apakah mereka dapat menjaga
kelangsungan keindonesiaan?
Arus besar perubahan cara pandang
politik publik yang lebih menghargai aksi konkret para pemimpin, penguasa, dan
politikus akan menjadikan ajang-ajang raksana buatan parpol serentak dipandang
sebagai sumber fantasi para penguasa belaka. Mereka yang ingin menyilaukan
kesadaran politik rakyat dengan kebohongan-kebohongan yang busuk. Panggung politik
seperti konvensi partai hanya membuktikan parpol tidak selalu koheren dengan
reproduksi ke negarawanan yang dibutuhkan negeri ini. Konvensi ialah bahasa
kegagalan parpol menghadirkan calon-calon pemimpin politik yang akrab dengan
realitas.
Konvensi tidak akan mampu menggagas reproduksi kenegarawanan selain figur penguasa yang cenderung belepotan retorika, nyaman di belakang meja dan penyembah podium pidato politik. Panggung politik seperti itu cenderung hanya mengumbar ilusi yang merusakkan kesadaran publik.
Konvensi tidak akan mampu menggagas reproduksi kenegarawanan selain figur penguasa yang cenderung belepotan retorika, nyaman di belakang meja dan penyembah podium pidato politik. Panggung politik seperti itu cenderung hanya mengumbar ilusi yang merusakkan kesadaran publik.
Mitos
Tidak pernah bisa dibantah,
kekuasaan sedang memamerkan kolektivisme empat titik tumpu. Keempatnya
mengirimkan pesan kematian bagi demokrasi. Para penguasa terjebak dalam
tawar-menawar kepentingan politik parsial (collective
bargaining). Pada titik ini, maksud untuk meraih keuntungan ekonomi-politik
jadi faktor utama. Para penguasa juga sedang tenggelam dalam kesadaran bersama
(collective consciousness) bahwa
mereka ialah tuan demokrasi. Kesadaran yang menyesatkan publik dan merusak tatanan
demokratisasi.
Tidak sulit untuk menemukan kelakuan
politik kolektif (collective behaviour)
yang mencemaskan dari para elite politik dan kekuasaan. Korupsi sedang
menggerogoti perilaku politik para penguasa. Korupsi sedang terbangun sebagai
bagian dari akhlak kekuasaan. Tiga aspek di atas akan memuluskan jalan bagi
para penguasa untuk menjadi sedemikian buas.
Mereka melahap semua kemewahan,
kemudahan, dan privilese yang disediakan politik bagi mereka. Mereka menikmati
secara bersama-sama (collective consumption)
setiap detail keuntungan politik yang mereka peroleh dari pat gulipat
kekuasaan. Dengan empat soal krusial itu, cukup mu dah dipastikan bahwa
demokrasi kita akan kehilangan energi untuk mendesakkan perubahan bermakna pada
ruang sosial.
Sekali lagi, pabrikasi politik
semacam konvensi untuk menghasilkan calon presiden yang tidak hanya populer,
tapi juga berkualitas tidak akan bisa melawan gelombang kesadaran publik
tentang penyelewengan kekuasaan selama ini. Publik butuh calon pemimpin yang
selalu berada di tengah mereka. Menjadi bagian dari kepedihan ekonomi. Menjadi
sesama tatkala kesejahteraan sosial semakin lemah. Keterpesonaan publik pada
sosok-sosok pemimpin politik yang berani bertarung langsung menghadapi
keruwetan hidup rakyat akan menjadikan konvensi dianggap sekadar mesin politik penghasil
mitos calon presiden yang punya integritas.
Daya sengat
Daya sengat demokrasi Indonesia
memang sepatutnya diasah lagi. Karakteristik politik Indonesia yang unik dan
kaya seharusnya bisa menjadikan kita sebagai bandul demokratisasi di level
global. Ketidakpercayaan kepada politisi dan penguasa memang terus menajam.
Namun, hal itu tidak seharusnya merusak derajat partisipasi demokratis publik.
Rakyat harus tetap aktif dalam kerja-kerja politik demokratis di ruang-ruang
publik. Itu pesan fundamental dari demokrasi.
Perwujudan aspek itu di ranah
konkret-faktual akan mengembalikan demokratisasi di negeri ini sebagai
gelombang perubahan sosial politik positif-konstruktif. Satu perkara yang akan
selalu jauh lebih substansial jika dibandingkan dengan konvensi Partai
Demokrat.
Edward Aspinall dan Marcus Mietzner
(2010) menyebut pelembagaan demokrasi dan peran publik dalam politik akan
menentukan kinerja kekuasaan. Kepercayaan publik terhadap partai politik yang
terus merosot saat ini merefleksikan hal yang salah dalam proses
institusionalisasi demokrasi.
Keterseokan kekuatan politik dalam
menopang harapan publik terhadap demokratisasi ialah isyarat buruk yang tidak
terbantahkan. Itu yang menyebabkan demokrasi kita sedang bergerak tanpa greget
untuk mendongkrak kemajuan sosial. Demokrasi yang kehilangan sengat. Di titik
ini, seindah apa pun ajang politik semacam konvensi parpol menjaring capres
paling populer--tetap akan terlihat seperti sebuah taman tanpa bunga demokrasi.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar