|
Korupsi pemilihan umum (pemilu) dituding
sebagai biang keladi hancurnya tatanan demokrasi di Indonesia. Produk hasil
pemilu justru menjadi aktor yang menghuni lembaga-lembaga negara dengan predikat
terkorup. Kualitas anggota parlemen (DPR/DPRD) yang dipertontonkan selama ini
adalah contoh paling konkret yang menjelaskan bahwa pemilu memproduksi anggota
parlemen dengan kualitas buruk (Koran
Tempo, 17/9).
Proses pemilu yang menghasilkan legislator dengan kualitas rendah tentu ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya ditumpangkan pada buruknya penyelenggaraan pemilu. Apalagi menjustifikasi bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu oleh KPU/Bawaslu sebagai penyebab utama. Ada banyak argumentasi yang bisa dibangun untuk menilai seberapa burukkah kualitas pemilu dalam menghasilkan pemimpin politik.
Dari segi hukum dan politik, setidaknya ada beberapa bagian kritis dalam proses ini yang perlu dicermati. Pertama, kebijakan politik legislasi yang memberikan syarat minimum bagi calon anggota parlemen. Jika dicermati, hampir semua persyaratan yang diwajibkan undang-undang tidak memberikan jaminan hadirnya anggota parlemen yang paham dan mengerti tugas serta fungsinya. Sehingga sangat sulit untuk mengharapkan parlemen akan berfungsi sebagaimana mestinya, apalagi menggunakan fungsinya secara maksimal untuk kepentingan pemilih.
Produk parlemen di bidang legislasi mungkin bisa dijadikan salah satu ukuran untuk menilai apakah DPR/DPRD telah menjalankan fungsinya atau tidak, termasuk apakah produk legislasi tersebut telah memenuhi kepentingan masyarakat atau tidak. Jika fakta menyebutkan bahwa target legislasi tidak pernah dipenuhi dan begitu banyaknya produk legislasi yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kesimpulannya, parlemen di Indonesia memang berkualitas buruk.
Kedua, partai politik gagal menghadirkan calon yang memiliki kualifikasi di atas standar minimum yang disyaratkan dalam undang-undang. Calon anggota parlemen cenderung diisi oleh kader partai yang sengaja "dikarbit" dengan berbagai macam alasan, baik karena popularitas maupun kemampuan dalam menyediakan modal yang kuat. Di pihak lain, memang tidak bisa dimungkiri juga bahwa masih ada kader partai yang lebih mumpuni dan memang lahir dari basis politik pemilih yang jelas. Jenis politikus ini tergolong sebagai "politikus organik" yang merintis karier politik dari bawah melalui pengorganisasian masyarakat. Sayangnya tidak banyak politikus yang lahir dari rahim basis politik pemilih. Partai politik pun sangat "manja" karena enggan dan "tidak mau susah" untuk melahirkan kader yang membasis. Padahal, dengan cara itu, setiap politikus akan memahami kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya selama 5 tahun ke depan.
Ketiga, relasi politik antara pemilih dan anggota parlemen dilakukan hanya sebatas antara pemilih dan yang dipilih. Pengalaman pemilu sejak 1999, 2004, hingga 2009, yang melahirkan tiga periode anggota parlemen, tidak menciptakan sebuah relasi politik yang sehat. Pemilih tidak pernah memiliki posisi baik secara hukum dan politik untuk bisa "menuntut" anggota parlemen jika tidak menjalankan fungsinya, lalai, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fungsinya (korup). Tradisi politik yang dibangun tidak memungkinkan pemilih untuk melakukan keluhan ketika wakilnya melakukan penyimpangan. Padahal, jika dikaitkan dengan esensi pemilu langsung, pemberian mandat secara langsung dari pemilih kepada yang dipilih memiliki dimensi hukum dan politik yang mengikat, tidak hanya sebatas prosedural pemilihan.
Problem di atas menjadi beban yang memberatkan bagi perkembangan demokrasi. Persyaratan yang terlalu mudah, hadirnya politikus karbitan, hingga hilangnya relasi antara publik dan wakilnya memperkuat persepsi bahwa pemilu hanya menjadi seremonial yang transaksional. Partai politik sebagai peserta pemilu menjadi aktor yang paling menentukan seberapa baik hasil pemilu. Partailah yang seharusnya memberikan pendidikan politik yang baik bagi publik. Arena demokrasi melalui pemilu harus diisi dengan hadirnya politikus organik yang mampu mengemban tugas-tugas dalam mengagregasi kepentingan publik. Pemilu bukanlah "pasar gelap" demokrasi di mana semua transaksi ilegal dilakukan.
Praktek perburuan rente yang selama ini dilakukan oleh para politikus terjadi akibat kuatnya peran uang/modal dalam pemilu. Publik disuap untuk menggadaikan nasibnya sendiri dalam lima tahun ke depan. Padahal ada banyak pilihan yang bisa dilakukan untuk meraih simpati dan dukungan publik. Momentum Pemilu 2014 adalah ajang memberangus para politikus yang gemar bermain dalam "pasar gelap" demokrasi. Para politikus yang selama ini tidak menunjukkan kerja yang nyata dan riil bagi publik bukanlah politikus yang akan dipilih. Apalagi politikus yang diduga sebagai bagian dari gerombolan para pemburu rente.
Catatan korupsi para politikus yang selama ini menghiasi dunia politik kekinian telah merusak logika publik akan indahnya cita-cita demokrasi. Rasionalitas publik akan janji demokrasi yang menyejahterakan semua orang harus dipulihkan agar tidak menimbulkan apatisme yang semakin akut. Namun pilihannya tetap akan berada di tangan publik, sementara politikus dan partai politik hanyalah para kontestan semata. ●
Proses pemilu yang menghasilkan legislator dengan kualitas rendah tentu ditentukan oleh banyak faktor, tidak hanya ditumpangkan pada buruknya penyelenggaraan pemilu. Apalagi menjustifikasi bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu oleh KPU/Bawaslu sebagai penyebab utama. Ada banyak argumentasi yang bisa dibangun untuk menilai seberapa burukkah kualitas pemilu dalam menghasilkan pemimpin politik.
Dari segi hukum dan politik, setidaknya ada beberapa bagian kritis dalam proses ini yang perlu dicermati. Pertama, kebijakan politik legislasi yang memberikan syarat minimum bagi calon anggota parlemen. Jika dicermati, hampir semua persyaratan yang diwajibkan undang-undang tidak memberikan jaminan hadirnya anggota parlemen yang paham dan mengerti tugas serta fungsinya. Sehingga sangat sulit untuk mengharapkan parlemen akan berfungsi sebagaimana mestinya, apalagi menggunakan fungsinya secara maksimal untuk kepentingan pemilih.
Produk parlemen di bidang legislasi mungkin bisa dijadikan salah satu ukuran untuk menilai apakah DPR/DPRD telah menjalankan fungsinya atau tidak, termasuk apakah produk legislasi tersebut telah memenuhi kepentingan masyarakat atau tidak. Jika fakta menyebutkan bahwa target legislasi tidak pernah dipenuhi dan begitu banyaknya produk legislasi yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka kesimpulannya, parlemen di Indonesia memang berkualitas buruk.
Kedua, partai politik gagal menghadirkan calon yang memiliki kualifikasi di atas standar minimum yang disyaratkan dalam undang-undang. Calon anggota parlemen cenderung diisi oleh kader partai yang sengaja "dikarbit" dengan berbagai macam alasan, baik karena popularitas maupun kemampuan dalam menyediakan modal yang kuat. Di pihak lain, memang tidak bisa dimungkiri juga bahwa masih ada kader partai yang lebih mumpuni dan memang lahir dari basis politik pemilih yang jelas. Jenis politikus ini tergolong sebagai "politikus organik" yang merintis karier politik dari bawah melalui pengorganisasian masyarakat. Sayangnya tidak banyak politikus yang lahir dari rahim basis politik pemilih. Partai politik pun sangat "manja" karena enggan dan "tidak mau susah" untuk melahirkan kader yang membasis. Padahal, dengan cara itu, setiap politikus akan memahami kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya selama 5 tahun ke depan.
Ketiga, relasi politik antara pemilih dan anggota parlemen dilakukan hanya sebatas antara pemilih dan yang dipilih. Pengalaman pemilu sejak 1999, 2004, hingga 2009, yang melahirkan tiga periode anggota parlemen, tidak menciptakan sebuah relasi politik yang sehat. Pemilih tidak pernah memiliki posisi baik secara hukum dan politik untuk bisa "menuntut" anggota parlemen jika tidak menjalankan fungsinya, lalai, atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan fungsinya (korup). Tradisi politik yang dibangun tidak memungkinkan pemilih untuk melakukan keluhan ketika wakilnya melakukan penyimpangan. Padahal, jika dikaitkan dengan esensi pemilu langsung, pemberian mandat secara langsung dari pemilih kepada yang dipilih memiliki dimensi hukum dan politik yang mengikat, tidak hanya sebatas prosedural pemilihan.
Problem di atas menjadi beban yang memberatkan bagi perkembangan demokrasi. Persyaratan yang terlalu mudah, hadirnya politikus karbitan, hingga hilangnya relasi antara publik dan wakilnya memperkuat persepsi bahwa pemilu hanya menjadi seremonial yang transaksional. Partai politik sebagai peserta pemilu menjadi aktor yang paling menentukan seberapa baik hasil pemilu. Partailah yang seharusnya memberikan pendidikan politik yang baik bagi publik. Arena demokrasi melalui pemilu harus diisi dengan hadirnya politikus organik yang mampu mengemban tugas-tugas dalam mengagregasi kepentingan publik. Pemilu bukanlah "pasar gelap" demokrasi di mana semua transaksi ilegal dilakukan.
Praktek perburuan rente yang selama ini dilakukan oleh para politikus terjadi akibat kuatnya peran uang/modal dalam pemilu. Publik disuap untuk menggadaikan nasibnya sendiri dalam lima tahun ke depan. Padahal ada banyak pilihan yang bisa dilakukan untuk meraih simpati dan dukungan publik. Momentum Pemilu 2014 adalah ajang memberangus para politikus yang gemar bermain dalam "pasar gelap" demokrasi. Para politikus yang selama ini tidak menunjukkan kerja yang nyata dan riil bagi publik bukanlah politikus yang akan dipilih. Apalagi politikus yang diduga sebagai bagian dari gerombolan para pemburu rente.
Catatan korupsi para politikus yang selama ini menghiasi dunia politik kekinian telah merusak logika publik akan indahnya cita-cita demokrasi. Rasionalitas publik akan janji demokrasi yang menyejahterakan semua orang harus dipulihkan agar tidak menimbulkan apatisme yang semakin akut. Namun pilihannya tetap akan berada di tangan publik, sementara politikus dan partai politik hanyalah para kontestan semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar