|
Judul obituari Kompas (3/9), ”Pembela
Wong Cilik, Soetandyo Berpulang” menggambarkan secara tepat sosok Prof
Soetandyo Wignjosoebroto yang wafat Senin (2/9).
Sebagai anggota
Komnas HAM (1993-2002), guru besar tamu di beberapa universitas, narasumber
sejumlah seminar dan lokakarya, penerima Yap Thiam Hien Award, Pak Tandyo memang
berdedikasi, konsisten sebagai tokoh nasional dan guru yang memperjuangkan HAM.
Kami di FISIP
Unair menganggap Pak Tandyo tak bisa dipisahkan dari FISIP Unair. Metaforanya:
FISIP Unair adalah Pak Tandyo, Pak Tandyo adalah
FISIP Unair. Dalam beberapa rapat saya mengatakan Dekan FISIP Unair (sampai saat ini) adalah Pak Tandyo, saya (dan dekan- dekan lain) adalah penggantinya. Kami beruntung karena punya waktu lebih leluasa berinteraksi dan bekerja bersama dengan ”Pembela Wong Cilik” itu.
FISIP Unair. Dalam beberapa rapat saya mengatakan Dekan FISIP Unair (sampai saat ini) adalah Pak Tandyo, saya (dan dekan- dekan lain) adalah penggantinya. Kami beruntung karena punya waktu lebih leluasa berinteraksi dan bekerja bersama dengan ”Pembela Wong Cilik” itu.
Bagi kami, Pak
Tandyo pribadi menyenangkan. Dengan kami, dan teman-temannya yang lain, Pak
Tandyo selalu bisa bercanda. Dari canda itu kami saling mengkritik,
mengingatkan, dan belajar. Selama lebih dari tiga dasawarsa bersama Pak Tandyo,
kami mengetahui Pak Tandyo tak hanya pembela wong cilik, tetapi juga humoris,
rendah-hati, tak protokoler, benar-benar profesor, technology-savvy, lintas-generasi, pro-poor, pejuang pluralisme.
Sifat humoris
dan low profile bisa
dilihat dari contoh berikut. Suatu hari Pak Tandyo menunjukkan puluhan name tag dari berbagai seminar atau
kepanitiaan, di dinding kamarnya. Lucunya, tak satu pun name tag itu benar mengeja nama
atau gelarnya. Sambil ketawa Pak Tandyo menunjukkan itu sebagai hal yang lucu.
Tak perlu dianggap serius. Pak Tandyo hampir tak pernah menuliskan sendiri
sebutan Profesor atau Prof di depan namanya. Selalu hanya dua kata: Soetandyo
Wignjosoebroto.
Pak Tandyo
adalah profesor dalam arti profess sebagai guru besar dalam mendidik
murid-muridnya. Pak Tandyo menghargai pendapat orang lain, termasuk kolega dan
mahasiswanya. Hubungan dengan mahasiswa dibuat asimetris. Selain mengajar, Pak
Tandyo sangat produktif menulis handouts dan buku. Pak Tandyo selalu
memberi tahu mahasiswanya kalau tak bisa menepati janjinya karena ada tugas
mendadak. Kendati sudah profesor, Pak Tandyo tak segan-segan menyatakan ia
mendapat banyak masukan dan perspektif dari orang-orang sekelilingnya.
Pak Tandyo
mengakui sendiri kearifan-kearifan justru sering dipelajari dari wacana,
diskusi, tukar-menukar pikiran atau bahkan bantah-membantah dengan
guru-gurunya, teman-temannya, dan mahasiswa-mahasiswanya. Pak Tandyo paling
suka mengutip salah satu frase dari puisi The King and I yang berbunyi: ”... if you become a teacher, by the students you will be taught”.
Dedikasinya
dalam mengajar dan mendidik secara konsisten tak terbatasi urusan birokrasi.
Pak Tandyo orangnya fungsional, tak suka protokoler dan juga tak
biasa jaim. Misalnya, menjelang berusia 65 tahun, kami membujuk Pak Tandyo
supaya mengajukan permohonan perpanjangan usia pensiun. Sebagai guru besar, Pak
Tandyo berhak dapat perpanjangan itu. Bujukan kami gagal karena Pak Tandyo tak
bersedia menulis surat permohonan kepada menteri. Kami pun usul bagaimana kalau
kami yang menuliskan, Pak Tandyo tinggal tanda tangan. Pak Tandyo malah tak
mengejek kami, sambil berseloroh, ”Yang
pensiun hanya pegawai negeri sipilnya bukan? Tugas keilmuan dan mengajar saya
tak akan pernah mengenai pensiun.” Akhirnya, kami menyerah dan mengadakan
acara bertajuk ”Pak Tandyo Copot Seragam”.
Memihak ke yang lemah
Keilmuan Pak
Tandyo diabdikan jelas kepada pemihakan kepada yang miskin dan lemah. Kiprahnya
sebagai tokoh nasional pembela wong cilik
pernah dinyatakan pada pidato saat ”copot seragam” (pensiun) pada 1997. Ia
menegaskan persoalan kearifan bukan persoalan pengetahuan, melainkan juga
refleksi pemihakan aksiolofi kita,
pemihakan intelektual kita. Kemampuan dan kearifan kita itu termanfaatkan untuk
siapa? Katanya, pemihakan itu adalah kepada mereka yang terpuruk di lapis
bawah. Untuk memperkuat kemampuan dan mempertajam kearifan itu, kita mesti tak
terkotak-kotak dalam disiplin ilmu.
Soal perlunya
multi- dan interdisiplin tampak ketika jadi dekan awal 1980-an, Pak Tandyo
menempatkan ruang dosen tidak atas dasar keilmuan, tetapi atas sekumpulan
disiplin ilmu. Dalam satu ruangan ada sarjana sosiologi, ilmu politik, hubungan
internasional, antropologi, komunikasi, psikologi, hukum dan administrasi
negara. Perspektif holistik dan pendekatan multidisiplin selalu ditekankan.
Kesadaran
inter- dan multidisiplin ilmu itu bisa dipahami karena keilmuan dan karier Pak
Tandyo juga tak monodisiplin. Pak Tandyo berlatar belakang ilmu hukum, tetapi
sejak 1963 mempelajari administrasi negara saat mendapat beasiswa Fulbright-Hays di University of Michigan. Sepulang dari belajar di AS, Pak Tandyo
malah mengembangkan sosiologi hukum yang waktu itu masih dianggap ”ilmu merah”
oleh kebanyakan sarjana hukum. Pengalaman dirinya itu memperkuat keyakinannya
akan keharusan perspektif holistik dan pendekatan multi- dan interdisiplin
untuk menganalisis problem-problem sosial-politik.
Pak Tandyo bisa
terbilang technology-savvy. Selalu
cepat tanggap dan memanfaatkan setiap kemajuan teknologi. Sejak 1985, Pak Tandyo
sudah pakai komputer Textwriter.
Penelitian-penelitian yang kami lakukan sudah menggunakan Textwriter dengan floppy
disks yang untuk mencetaknya dikoneksikan pada mesin ketik listrik.
Ketika muncul komputer pribadi dengan program WS, Pak Tandyo selalu paling awal
memiliki. Juga pager, ponsel, notebook, atau laptop.
Di usia 80-an
tahun, Pak Tandyo masih aktif dengan Twitter, Facebook, dan blog sehingga punya
banyak teman dan penggemar dari media sosial. Petuah dan kritik sosialnya
muncul dari tangannya lewat media sosial itu. Dengan media sosial, Pak Tandyo
berkomunikasi dan berdialog dengan teman lintas-generasi, selain karena sikap
dasarnya yang mau belajar dari siapa saja dan dari mana saja. Teknologi modern
itu, katanya, dijadikan line of action atau
sarana dan bagian dari proses saling mendidik dan saling belajar terus-menerus.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar