|
Hingga kini, harga-harga kebutuhan
pokok tetap tidak terkendali. Kendati pemerintah di Jakarta bersikeras
mengatakan harga-harga tersebut normal, nyatanya efeknya tidak menyentuh luar
Jakarta. Para menteri kini seolah terjebak pemikiran, bahwa Jakarta adalah
barometer segalanya, padahal kenyataannya tidak demikian. Jika masalah di
Jakarta selesai, belum tentu akan dengan sendirinya menyelesaikan masalah luar
Jakarta.
Gonjang-ganjing turbulensi
harga-harga kebutuhan pokok sebetulnya dipicu pertama kali oleh rumor kenaikan
BBM yang gagal dalam Paripurna DPR, 31 Maret 2012. Kini, kenaikan itu semakin
mantap dengan kenaikan harga eceran BBM per 22 Juni 2013 dalam kisaran 22,
22-44, 44 persen. Dengan demikian skor pemerintah versus rakyat dua tahun ini
6:0, yakni enam kali rakyat Indonesia terpapar efek kenaikan harga-harga karena
kisruh politik Jakarta. Yakni, rencana kenaikan BBM 2012 yang gagal, menjelang
Lebaran 2012, paska Lebaran 2012, kenaikan BBM 2013, Lebaran 2013 dan kini
Agustus-September.
Besaran turbulensi kenaikan harga
sembako di Jawa 2013 ini, misalnya, rata-rata 100-150 persen padahal awal April
2012 dan juga menjelang bulan puasa di pertengahan Juli 2012 juga sudah
menderita kenaikan harga sembako pada kisaran nilai 30-50 persen. Jadi, sampai
sekarang atau hanya dalam 16 bulan saja sejak bara dibakar pemerintah dengan
isu penghapusan subsidi BBM, April 2012, kenaikan harga-harga kebutuhan primer
sudah melejit minimal 150 persen.
Ironisnya, fenomena kenaikan
harga-harga ini dipicu di Jawa yang notabene dukungan infrastruktur logistiknya
lebih baik. Tidak dapat membayangkan, beratnya penderitaan masyarakat luar Jawa
akibat kenaikan harga-harga ini. Padahal, momentum hari raya Idul Adha 1.434 H
juga akan datang.
Tidak alert-nya pemerintah untuk
mengantisipasi masalah ini sungguh mengecewakan. Perlu diklarifikasi kembali
pernyataan elite negara mengapa bahan pokok dikatakan berlimpah namun harga
tetap merangkak naik? Di manakah letak persoalannya, apakah stok itu hanya
memenuhi gudang-gudang namun mengalami hambatan di sektor logistik, misalnya,
karena hambatan transportasi?
Jika seorang menteri melihat
persoalan rakyat secara parsial seperti ini hanya berdasarkan atas kinerja
individualnya dan tidak melihat kinerja menteri lain terkait, maka sungguh
menyedihkan kapasitas dan kapabilitas menteri seperti ini. Sampai di ujung
kiamat pun, persoalan rakyat tetap tidak akan dapat ditemukan jalan keluarnya,
rakyat tentu saja dikorbankan akibat dampak langsung dari inkompetensi elite
pemerintah. Sulit dicarikan bantahan argumentasi bahwa kinerja pemerintah
sebetulnya gagal, baik gagal dalam manajerial maupun gagal di tingkat pelayanan
publik, khususnya dalam mengantisipasi kenaikan harga-harga saat ini. Dalam
memberikan pernyataan publik, masing-masing menteri seharusnya berpikir utuh dari
hulu hilir sampai to the end user. Untuk masalah kestabilan harga bahan pangan
ini, end user adalah 240 juta rakyat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Sungguh, tidak sederhana, tidak arif dan tidak menyejukkan apabila menteri
hanya berkomentar bahan pangan cukup, daging cukup, sembako cukup padahal
kenyataannya tidak. Rakyat tentu membutuhkan klarifikasi dan jawaban
"cukup atau terjamin" yang didefinisikan menteri itu seperti apa?
Ada banyak departemen
interseksional yang mempengaruhi struktur kecukupan bahan pangan nasional.
Cukup jumlahnya namun tidak dapat didistribusikan sehingga tidak tersedia di
rak-rak pasar sama artinya dengan tidak cukup. Jangan-jangan memang jumlahnya
tidak cukup dan hendak mencari kambing hitam seperti, misalnya, hendak
menyalahkan logistik. Di sini letak kepiawian manajerial menteri, koordinasi
dengan departemen lintas sektoral ini amat dibutuhkan untuk mencegah efek
psikologis yang dapat terbentuk liar di pasar.
Masing-masing kementerian kini
terjebak dalam pseudo persaingan antar-departemen sehingga akhirnya berpikir
dan bertindak sektoral dan parsial. Satu menteri hanya berpikir menyelamatkan
dirinya sendiri sementara kementerian lain juga memikirkan dirinya sendiri.
Koordinasi teknis dan non-teknis kabinet benar-benar belum maksimal meski sudah
dibentuk kementerian koordinator.
Kejadian kenaikan harga-harga
belakangan ini harus menjadi pelajaran berharga kepada kementerian pertanian
yang bertanggung jawab secara langsung atas bahan pokok rakyat selama ini.
Pemerintah jelas sekali tidak memiliki bargaining atas kontrol pasar, kendati
pasar Indonesia menganut paham laissez faire, yakni pemerintah sebagai
regulator bukan pelaku, namun berdasarkan UU 1945 pasal 33 ayat (1) ekonomi
Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan masih tetap berlaku. Pintu ini yang
memungkinkan pemerintah untuk melakukan kontrol pasar terutama menghadapi
musim-musim pasca Lebaran dan sebentar lagi hari raya Idul Adha 1434 H.
Wajar, karena fenomena meroketnya
harga bahan pokok tidak mampu diatasi oleh pemerintah, maka pemerintah harus
bertanggung jawab memberikan insentif untuk kompensasi kenaikan harga tidak
terkendali ini. Rakyat kini hendak menguji apakah efek kenaikan BBM, 22 Juni
2013 hingga menghemat subsidi Rp 42 triliun itu benar-benar riil ada uangnya
atau hanya sekedar angka-angka indah di atas kertas.
Mengatur rakyat sebetulnya take and give, rakyat sudah memberikan
persetujuan kenaikan BBM, namun seharusnya rakyat tidak boleh dipojokkan terus
menerus dengan menerima dampak turbulensi harga-harga karena inkompetensi elite
pemerintah. Menjalankan negara harus cermat, tidak boleh atas dasar coba-coba
atau trial and error atau testing water. Setiap langkah memiliki konsekuensi
biaya, meski hanya isu atau rumor, rakyat yang akan terpapar secara langsung
dan menelan akibatnya. Dampak ini tentu tidak akan bisa dirasakan oleh elite
negara sekelas menteri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar