|
Majalah
bergengsi Inggris, The Economist,
akhir pekan lalu, muncul dengan sampul bertajuk ”The Battle for Egypt”, menggambarkan seriusnya persoalan
demokrasi, sekularisme, dan tentara di Mesir yang membahayakan stabilitas
kawasan dan dunia secara umum. Kita menilik persoalan Mesir sebagai perubahan
persepsi, dimulai dari pembebasan melawan tirani berubah menjadi politik
sekuler melawan islamisme.
Pemimpin India
yang paling berpengaruh dengan ajarannya, ahimsa, Mohandas K Gandhi, mungkin
benar dengan pernyataannya, ”Mereka berpikir agama bisa dipisahkan dari
politik, tidak mengerti sama sekali tentang agama atau politik.”
Tajuk The Economist mengingatkan dunia
agar bertindak tanggap. Celakanya, kutukan dalam berbagai pernyataan pemimpin
dunia setelah pembersihan pendukung Presiden Muhammad Mursi dan Ikhwanul
Muslimin (IM) meninggalkan ratusan korban jiwa, mengabaikan kenyataan demokrasi
di Mesir sudah ditegakkan dan dirontokkan atas nama sekularisme.
Banyak
pertanyaan muncul, termasuk apakah krisis Mesir sebenarnya terletak dalam
politik Islam seperti yang terjadi di Aljazair, Libya, sampai Suriah. Dalam
konteks Mesir, kita melihat oposisi IM terhadap pemerintahan Mubarak, misalnya,
lebih pada individu penguasanya, bukan rezim kekuasaannya.
Setelah pemilu
demokratis di Mesir setahun lalu, tidak terdengar perbincangan tentang
otoritarianisme, korupsi, penyiksaan, dan ketakwaan terhadap ”dikte” kebijakan
luar negeri AS atau paket bantuan yang mendukung kediktatoran militer di Kairo
sebesar 2 miliar dollar AS setiap tahun. Semua masalah kronis Mesir dan negara
Timur Tengah lain tidak pernah mendorong terjadinya oposisi secara islami.
Ada beberapa
faktor yang terlintas melihat perubahan drastis dan berbahaya di Mesir.
Pertama, lingkungan global yang ambivalen menyebabkan demokrasi tidak diterima
secara utuh, baik oleh negara besar dan maju maupun negara-negara regional.
Ketidaksukaan negara-negara Barat melecehkan demokrasi IM atau perilaku Arab
Saudi menulis cek kosong bagi kelompok militer melawan IM menjadi pemicu
kesengsaraan menuju kematian sia-sia, seperti yang terjadi di Suriah.
Faktor kedua,
berbeda dengan Turki dan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, kita
perlu berpikir ulang mengenai berbagai asumsi selama ini tentang demokratisasi,
khususnya peranan keagamaan dalam proses tersebut. Berbeda dengan negara Barat,
pandangan keagamaan menjadi bagian tidak terpisahkan dalam pemilu di
negara-negara Asia.
Faktor ketiga,
dinamika politik Mesir dikangkangi oleh kelompok militer saja dan kelompok
ekonomi Mesir tidak berkompetisi langsung dalam proses pemilu. Tidak adanya
kekuatan partai politik yang dominan berhadapan dengan IM menyebabkan hilangnya
sikap pragmatis, termasuk dari kelompok militer, menghadapi perubahan.
Selama
negara-negara demokratis di seluruh dunia tidak bisa menghargai proses demokrasi
sebagai pilihan yang benar, selama itu pula kekisruhan dan pengorbanan jiwa
dalam proses politik di negara-negara Islam akan terbengkalai. Sekularisme
dianggap sebagai represi ideologi penuh dengan despotisme, kediktatoran, dan
pelecehan hak asasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar