Kamis, 01 Agustus 2013

Proyek Tak Berujung

Proyek Tak Berujung
W Riawan Tjandra  ;   Doktor Hukum Administrasi Negara UGM,
Pengajar pada FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
          KORAN SINDO, 01 Agustus 2013



Infrastruktur publik, khususnya jalan, merupakan barang publik (public good) yang menjadi hajat hidup orang banyak. Salah satu infrastruktur publik yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat tak peduli apapun strata sosialnya adalah jalan. 

Namun, seiring dengan tingkat kebutuhan rakyat terhadap infrastruktur jalan yang semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk di negeri ini, kualitas pengelolaan infrastruktur jalan tersebut justru terkesan semakin menurun. Bahkan, jalanjalan yang kondisinya berlubang dan mengenaskan sudah menjadi pemandangan yang lazim di negeri ini, ibarat pepatah tiada jalan tak berlubang, bukan hanya laut yang bergelombang, jalan pun bergelombang. 

Setiap menjelang liburan panjang, selalu ada ”proyek kejar tayang” untuk menambal sulam jaringan jalan di seantero negeri ini, seakanakan telah menjadi jalan tak berujung proyek jalan. Lemahnya manajemen infrastruktur publik di Indonesia sudah sangat kronis. Akumulasi dari kerusakan infrastruktur yang ada ditambah dengan kebutuhan terhadap infrastruktur publik, khususnya jalan yang kian meningkat pesan dan tidak seimbang dengan peningkatan jumlah jalan, telah menyebabkan daya dukung infrastruktur publik yang minim. 

Panjang jalan di negeri ini secara keseluruhan diperkirakan tak kurang dari 490.000 kilometer, namun yang sudah diaspal baru mencapai 285.000 kilometer. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 50% (347.500 kilometer) yang kondisinya saat ini layak pakai. Sebagai dampak dari buruknya performa pertumbuhan dan kualitas infrastruktur jalan tersebut dalam perspektif cost and benefit analysis, biaya bisnis di negeri ini menjadi sangat tidak efisien. 

Hal itu disebabkan untuk menempuh jarak 100 km di Indonesia diperlukan waktu tak kurang dari 2,7 jam, berbeda dengan China yang hanya memerlukan waktu 1,2 jam dan di Thailand yang hanya memerlukan waktu 1,3 jam untuk menempuh jarak yang sama. 

Jika diukur dari kacamata konstitusi, hal itu jelas melanggar Pasal 33 ayat (4) UUD Negara RI 1945 yang mewajibkan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dampak dari rendahnya daya dukung infrastruktur jalan di negeri ini telah menyebabkan perekonomian menjadi tak efisien.

Permasalahan jalan tidak terlepas dari tiga isu utama, yakni penganggaran dan perencanaan jalan, pelaksanaan peruntukan jalan, dan mekanisme kewenangan pengelolaan jalan. Jika dicermati, keseluruhan aspek tersebut mengalami permasalahan di negeri ini yang pada akhirnya berujung terhadap kerusakan jalan di berbagai tempat di Indonesia. 

Hal ini sudah terjadi bertahun-tahun namun nyaris tanpa solusi yang memadai. Sistem perencanaan sektoral yang merujuk pada kewenangan masing-masing kementerian/lembaga sering kali sulit disinkronisasikan. Padahal, semestinya Bappenas telah diberikan otoritas untuk melakukan sinkronisasi vertikal maupun horizontal terhadap seluruh sistem perencanaan baik di Pusat maupun Daerah. 

Kerusakan jalan terkait juga akan berkaitan dengan konsistensi pelaksanaan peraturan pemakaian jalan, seperti jumlah muatan kendaraan maupun stratifikasi jalan. Stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 berkorelasi dengan kapasitas kendaraan, tetapi hal ini sering dilanggar. Seperti truk kelebihan muatan tidak pernah diturunkan muatannya di pos penimbangan jalan, demikian juga pada stratifikasi jalan ketiga yang berada di daerah perumahan tetapi masih dilewati truk dan bus, sehingga jalan tersebut cepat rusak. 

Di samping itu, menurut Kementerian Perhubungan, kerusakan jalan yang terjadi belakangan ini bukan hanya akibat kelebihan muatan dan bencana alam. Kerusakan justru lebih banyak disebabkan oleh konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar. Baik menyangkut kepadatan tanah, beton, maupun aspal. 

Jika dikaitkan dengan Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan No 1 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan, sangat jelas bahwa salah satu indikator untuk memeriksa kelayakan suatu program/ kegiatan pemerintah adalah indikator kinerja (performance) dan mutu/kualitas akhir produk dari program/kegiatan. 

Hal itu sebenarnya merupakan amanat dari UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menggunakan parameter kinerja untuk menilai kelayakan penggunaan anggaran negara/daerah sesuai dengan karakter dari anggaran berbasis kinerja (performance budgeting). Berkaca pada hal tersebut, infrastruktur jalan sebenarnya ibarat sebuah kaca yang merefleksikan buruknya sistem perencanaan, pelaksanaan maupun pengawasan program/kegiatan pemerintah yang didanai dari anggaran negara/daerah. 

Di sisi lain, budaya ”rendah mutu” yang sudah menggejala di negeri ini juga tercermin pada buruknya manajemen aset publik yang berupa infrastruktur jalan tersebut. Bahkan ditengarai, jalur jalan pantura yang setiap tahun menelan tak kurang dari Rp1 triliun anggaran negara telah dijadikan sebagai ajang korupsiabadi. 

Mark up penggunaan dana infrastruktur jalan dilakukan dengan memanfaatkan kelemahan sistem perencanaan kegiatan/program pembangunan infrastruktur dan budaya korupsi dalam pengawasan penggunaan jalan oleh para pengguna jalan. Jalan telah menjadi ”sumber penghasilan tambahan” dari sederet oknum yang menjadikan negeri ini semakin berliku dalam menapaki jalan menuju perwujudan kepemerintahan yang bersih (clean governance). 

Jalan adalah potret aktual dan faktual dari buruknya manajemen infrastruktur publik di negeri ini yang menyimpan sejuta misteri, dan pada tingkat yang lebih tinggi jalan adalah potret yang ”jujur” dari kualitas kepemerintahan di suatu negeri, yang tak mungkin dipoles dengan citra maupun tebar pesona!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar