KORAN SINDO, 01
Agustus 2013
|
Tak banyak kepala daerah yang
benar-benar menerapkan strategic management untuk membangun daerahnya. Tapi di
Kalimantan Timur (Kaltim), Gubernur Dr Awang Faroek dapat dijadikan contoh.
Kemarin, di Balikpapan ia memimpin pertemuan seluruh stakeholders di Kaltim membahas visi ke depannya, yaitu andaikan migas dan batu bara habis, apa yang menjadi tumpuan Kaltim? Migas dan batu baralah yang telah membuat ekonomi Kaltim bergerak. Tapi keduanya pulalah yang telah menimbulkan kerusakan-kerusakan. Seperti kata politisi Venezuela, Juan Pablo Perez Alfonso: ”Sepuluh tahun atau 20 tahun dari sekarang, kalian akan menyaksikan: minyak akan membawa kita pada kehancuran…
Kekayaan alam (yang tak dipakai dengan baik itu) adalah tahinya setan.” Itu terjadi di Venezuela, tetapi juga terjadi di daerah-daerah tambang lainnya. Baik di Kaltim, Kalsel, Kalteng, Sumsel, Riau ataupun Papua dan Lombok (NTB). Nafsu mengorek ”tahi setan” tak kenal agama, semua politisi berjubah agama pun ikut larut bermain.
Kota tempat tinggal penduduk pun digali seperti yang kita lihat di Samarinda yang kotanya makin semrawut dan ambles. Di situ ada beberapa kape (kuasa pertambangan) batu bara. Kota kok dijadikan areal tambang? Mengapa wali kotanya (saat itu) membiarkan? Akibatnya ratusan truk dan alat-alat berat setiap hari berseliweran, merusak infrastruktur, dan terbentuk kubangan.
Pasca-SDA
Maka, migas dan batu bara di Kaltim sudah pasti akan habis dan sudah pasti pula menimbulkan kerusakankerusakan yang besar, yafisik, politik, budaya maupun infrastruktur. Seorang pengusaha tambang, di pesawat yang saya tumpangi, pernah berkata-kata lepas kepada teman-temannya, menggoblok-gobloki seorang bupati. Mungkin ia baru saja menenggak minuman atau barangkali kerasukan ”tahi setan” tadi, pikir saya.
Di depan penumpang lain ia mengatakan keras-keras, bupati itu ”sudah dibeli” lewat pilkada. ”Saya bayar dua juta rupiah satu suara supaya dia menang,” nyanyinya. Teman saya, guru besar dari IPB berbicara, ”Kaya amat ini orang!” Saya bilang, pengusaha pasti sudah berhitung. Di sana nilai tambangnya minimal 1.000 kali dari nilai investasi politik itu. Karena jumlah pemilih tak banyak, mereka mudah mengaturnya. Jadi seperti itulah kerusakan-kerusakan yang akan dialami suatu komunitas.
Maka wajar bila Richard Auty (1993) dengan gagah menyatakan gejala itu sebagai teori kutukan SDA. Ya, kutukan, ini semacam Paradox of Plenty. Dapat blessing kelebihan, tetapi malah jadi musibah. Menjadi tempat pertarungan perebutan, nafsu, keserakahan, kekuasaan, kecurangan, dan sebagainya. Yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya. Demikian juga pemimpin-pemimpin yang mau memperbaiki keadaan bisa diserang kelompok itu, dijebloskan ke dalam penjara, diberi label jahat, bahkan diberi informasi yang sebaliknya.
Kemarin, di Balikpapan ia memimpin pertemuan seluruh stakeholders di Kaltim membahas visi ke depannya, yaitu andaikan migas dan batu bara habis, apa yang menjadi tumpuan Kaltim? Migas dan batu baralah yang telah membuat ekonomi Kaltim bergerak. Tapi keduanya pulalah yang telah menimbulkan kerusakan-kerusakan. Seperti kata politisi Venezuela, Juan Pablo Perez Alfonso: ”Sepuluh tahun atau 20 tahun dari sekarang, kalian akan menyaksikan: minyak akan membawa kita pada kehancuran…
Kekayaan alam (yang tak dipakai dengan baik itu) adalah tahinya setan.” Itu terjadi di Venezuela, tetapi juga terjadi di daerah-daerah tambang lainnya. Baik di Kaltim, Kalsel, Kalteng, Sumsel, Riau ataupun Papua dan Lombok (NTB). Nafsu mengorek ”tahi setan” tak kenal agama, semua politisi berjubah agama pun ikut larut bermain.
Kota tempat tinggal penduduk pun digali seperti yang kita lihat di Samarinda yang kotanya makin semrawut dan ambles. Di situ ada beberapa kape (kuasa pertambangan) batu bara. Kota kok dijadikan areal tambang? Mengapa wali kotanya (saat itu) membiarkan? Akibatnya ratusan truk dan alat-alat berat setiap hari berseliweran, merusak infrastruktur, dan terbentuk kubangan.
Pasca-SDA
Maka, migas dan batu bara di Kaltim sudah pasti akan habis dan sudah pasti pula menimbulkan kerusakankerusakan yang besar, yafisik, politik, budaya maupun infrastruktur. Seorang pengusaha tambang, di pesawat yang saya tumpangi, pernah berkata-kata lepas kepada teman-temannya, menggoblok-gobloki seorang bupati. Mungkin ia baru saja menenggak minuman atau barangkali kerasukan ”tahi setan” tadi, pikir saya.
Di depan penumpang lain ia mengatakan keras-keras, bupati itu ”sudah dibeli” lewat pilkada. ”Saya bayar dua juta rupiah satu suara supaya dia menang,” nyanyinya. Teman saya, guru besar dari IPB berbicara, ”Kaya amat ini orang!” Saya bilang, pengusaha pasti sudah berhitung. Di sana nilai tambangnya minimal 1.000 kali dari nilai investasi politik itu. Karena jumlah pemilih tak banyak, mereka mudah mengaturnya. Jadi seperti itulah kerusakan-kerusakan yang akan dialami suatu komunitas.
Maka wajar bila Richard Auty (1993) dengan gagah menyatakan gejala itu sebagai teori kutukan SDA. Ya, kutukan, ini semacam Paradox of Plenty. Dapat blessing kelebihan, tetapi malah jadi musibah. Menjadi tempat pertarungan perebutan, nafsu, keserakahan, kekuasaan, kecurangan, dan sebagainya. Yang benar bisa jadi salah dan sebaliknya. Demikian juga pemimpin-pemimpin yang mau memperbaiki keadaan bisa diserang kelompok itu, dijebloskan ke dalam penjara, diberi label jahat, bahkan diberi informasi yang sebaliknya.
Saya lihat Awang Faroek mengalami
dilema-dilema itu. Sebagai politisi ia bukan ”anak baru kemarin”. Jauh sebelum
gelora kedaerahan di era otonomi muncul, ia telah menjadi tokoh nasional. Kita
dulu sering membaca pandangan-pandangannya di media massa sebagai akademisi
maupun sebagai anggota DPR. Itu 25 tahun lalu, sebelum ia pulang kampung. Maka
saat ikut menguji yang bersangkutan sebagai calon doktor di Universitas
Airlangga (2011), saya sudah bisa membayangkan kegunaan ilmu yang ia miliki.
Awang akan memimpin perubahan dengan kekuatan ilmu yang ia miliki bersama jam terbangnya. Dan kemarin di Balikpapan saya mendengarkan paparannya, yaitu ke mana Kaltim akan dibawa para stakeholder-nya 5–10 tahun dari sekarang. Itulah era pasca-SDA, ketika semua non-renewable energy resources mulai berakhir, apa saja pilihan-pilihannya dan apa yang dipersiapkan.
Membaca Gelombang
Di Pemprov Kaltim saya juga punya beberapa orang ”murid” yang saya bentuk di Rumah Perubahan. Mereka ini adalah putra-putri daerah yang idealis, cerdas, gesit, yang tidak rela melihat daerahnya menjadi kubangan raksasa. Dari merekalah saya mendengar bahwa kultur birokrasi harus segera diperbaiki. Mereka sendiri sudah berubah menjadi driver yang siap bekerja dengan prinsip-prinsip corporate management, tetapi mesin birokrasi pun harus segera diperbaiki.
Semua memang masih menunggu hadirnya UU Aparatur Sipil Negara yang sedang digodok pemerintah pusat. Dan ini perlu cepat dieksekusi agar energi perubahan dapat cepat dirasakan di daerah. Dari mereka pula saya membaca semua orang sedang ”tengok kanan-tengok kiri” membaca gelombang. Dibandingkan aparatur birokrasi di daerah lain, birokrat di Kalimantan relatif baik, tetapi manusianya semua sama, sebagian besar serba-slow, prosedural, dan menunggu.
Maka saat hadir dalam Kaltim Summit kemarin, birokrat-birokrat itu seperti mendapatkan energi yang harus diterjemahkan dalam langkah-langkah ke depan: Kaltim pasca-SDA. Awang Faroek memulainya dengan visi yang jelas: Kaltim harus dibawa ke arah ekonomi produktif, green, dan menghasilkan nilai tambah. Ia menjalankan orchestrating management. Ibarat Adhie MS mengorkestrasi sebuah pertunjukan musik besar. Ia buka satu-dua titik, lalu yang lain saling menghubungkannya.
Pelabuhan, bandara, kawasan ekonomi produktif, food cluster, dan seterusnya. Sebab di situ ada banyak opportunity yang terbuka bagi kita, bagi SDM, bagi kaum muda, dan siapa saja yang mau berubah. Masalahnya, tidak semua orang bisa membaca tanda-tanda baru itu. Sebagian besar masih terlena oleh silaunya cahaya SDA yang membuat mereka tidak bisa melihat lebih jauh. Lagi pula setiap permulaan memang tidak bisa dilihat dengan jelas. Sebab ini adalah visi.
Sebagian lagi baru bisa melihat ketika SDA itu benar-benar sudah habis dan ekonominya tak bergerak. Ibarat mengendarai mobil, kebanyakan orang baru membawa kendaraannya ke bengkel begitu mesinnya rusak atau mogok di jalan. Sedikit sekali orang yang mengganti akinya sebelum batas waktunya berakhir.
Dan ketika orang membawa mobilnya yang tidak rusak ke sebuah bengkel, petugasnya malah bertanya: ”Ini kan tidak rusak Pak, mengapa dibawa ke sini?” Dengan lugu dan bijak, customer itu hanya bisa menjawab: ”Justru sebelum rusak, saya harus memperbaikinya.” Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, mohon maaf lahir dan batin. ●
Awang akan memimpin perubahan dengan kekuatan ilmu yang ia miliki bersama jam terbangnya. Dan kemarin di Balikpapan saya mendengarkan paparannya, yaitu ke mana Kaltim akan dibawa para stakeholder-nya 5–10 tahun dari sekarang. Itulah era pasca-SDA, ketika semua non-renewable energy resources mulai berakhir, apa saja pilihan-pilihannya dan apa yang dipersiapkan.
Membaca Gelombang
Di Pemprov Kaltim saya juga punya beberapa orang ”murid” yang saya bentuk di Rumah Perubahan. Mereka ini adalah putra-putri daerah yang idealis, cerdas, gesit, yang tidak rela melihat daerahnya menjadi kubangan raksasa. Dari merekalah saya mendengar bahwa kultur birokrasi harus segera diperbaiki. Mereka sendiri sudah berubah menjadi driver yang siap bekerja dengan prinsip-prinsip corporate management, tetapi mesin birokrasi pun harus segera diperbaiki.
Semua memang masih menunggu hadirnya UU Aparatur Sipil Negara yang sedang digodok pemerintah pusat. Dan ini perlu cepat dieksekusi agar energi perubahan dapat cepat dirasakan di daerah. Dari mereka pula saya membaca semua orang sedang ”tengok kanan-tengok kiri” membaca gelombang. Dibandingkan aparatur birokrasi di daerah lain, birokrat di Kalimantan relatif baik, tetapi manusianya semua sama, sebagian besar serba-slow, prosedural, dan menunggu.
Maka saat hadir dalam Kaltim Summit kemarin, birokrat-birokrat itu seperti mendapatkan energi yang harus diterjemahkan dalam langkah-langkah ke depan: Kaltim pasca-SDA. Awang Faroek memulainya dengan visi yang jelas: Kaltim harus dibawa ke arah ekonomi produktif, green, dan menghasilkan nilai tambah. Ia menjalankan orchestrating management. Ibarat Adhie MS mengorkestrasi sebuah pertunjukan musik besar. Ia buka satu-dua titik, lalu yang lain saling menghubungkannya.
Pelabuhan, bandara, kawasan ekonomi produktif, food cluster, dan seterusnya. Sebab di situ ada banyak opportunity yang terbuka bagi kita, bagi SDM, bagi kaum muda, dan siapa saja yang mau berubah. Masalahnya, tidak semua orang bisa membaca tanda-tanda baru itu. Sebagian besar masih terlena oleh silaunya cahaya SDA yang membuat mereka tidak bisa melihat lebih jauh. Lagi pula setiap permulaan memang tidak bisa dilihat dengan jelas. Sebab ini adalah visi.
Sebagian lagi baru bisa melihat ketika SDA itu benar-benar sudah habis dan ekonominya tak bergerak. Ibarat mengendarai mobil, kebanyakan orang baru membawa kendaraannya ke bengkel begitu mesinnya rusak atau mogok di jalan. Sedikit sekali orang yang mengganti akinya sebelum batas waktunya berakhir.
Dan ketika orang membawa mobilnya yang tidak rusak ke sebuah bengkel, petugasnya malah bertanya: ”Ini kan tidak rusak Pak, mengapa dibawa ke sini?” Dengan lugu dan bijak, customer itu hanya bisa menjawab: ”Justru sebelum rusak, saya harus memperbaikinya.” Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, mohon maaf lahir dan batin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar