Selasa, 20 Agustus 2013

Pemiskinan di Alam Kemerdekaan

Pemiskinan di Alam Kemerdekaan
Posman Sibuea ;   Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas, Medan
KORAN JAKARTA, 19 Agustus 2013


“Dari sudut pandang keadilan dan kemakmuran, Indonesia kini berjalan dalam jalur yang amat berbahaya. Kelompok kaya semakin mendapat perlindungan negara, sementara rakyat miskin kian terpinggirkan.”

Hari Sabtu, 17 Agustus lalu, seluruh rakyat memperingati Hari Kemerdekaan RI. Setiap tanggal tersebut, ada pertanyaan yang sering muncul: apa artinya kemerdekaaan bagi bangsa? Pertanyaan tahun ini, apa arti 68 tahun merdeka bagi 100 juta rakyat miskin?

Perayaan kemerdekaan seharusnya selalu menjadi momen kontemplasi guna merenungkan kembali proses panjang perjuangan. Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi justru sebuah awal untuk mengumpulkan energi untuk memperjuangkan masyarakat adil dan makmur.

Jika 68 tahun lalu, secara formal, kemerdekaan bermakna lepas dari penjajahan, sekarang, makna harus dilihat dari perspektif penguatan kedaulatan rakyat di segenap aspek dan sistem kehidupan bernegara. Fokus perjuangan generasi setelah kemerdekaan adalah meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Tanpa bermaksud mengurangi kemajuan yang telah banyak dicapai dalam proses pembangunan selama 68 tahun, patut diakui pula situasi Indonesia masih jauh dari tujuan proklamasi yang sesungguhnya. Pembangunan di sektor ekonomi, pendidikan, dan kesehatan belum sesuai harapan. Masyarakat masih mengalami proses pemiskinan!


Belum Merdeka

Tak salah kalau hingga sekarang sebagian masyarakat masih merasa belum merdeka. Merujuk pada fakta yang dirasakan sebagian besar rakyat saat ini, tampaknya perlu direnungkan lebih jauh makna kemerdekaan. Dalam pembangunan ekonomi, aroma campur tangan asing dalam sejumlah proses pembangunan masih kental.

Negara harus mengimpor tepung terigu, sementara di sini banyak sumber tepung lokal yang melimpah dan mengimpor daging sapi di tengah luasnya sumber protein hewani di Tanah Air.

Itu berarti kemerdekaan bangsa harus diterjemahkan dalam format pembentukan kedaulatan ekonomi, demokratisasi, serta kebebasan seluruh rakyat dari segala bentuk belenggu kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Semakin dalam dan merata kemiskinan merambah kehidupan rakyat atau semakin jauh ketertinggalan mereka terhadap akses pendidikan, kesehatan dan lapangan kerja, semakin jauh pula makna dan cita-cita kemerdekaan.

Republik Indonesia, hingga menginjak usia 68 tahun, ternyata warganya belum merdeka dari kemiskinan. Banyaknya jumlah orang miskin, meski diklaim pemerintah menurun, tetap merepresentasikan kegagalan negara menyusun kebijakan yang menopang kehidupan kelompok miskin.

Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 menunjukkan, jumlah penduduk miskin per Maret 2010 mencapai 31 juta. Potret kemiskinan menunjukkan sejumlah kenyataan ironis. Sebagian penghuni wilayah kaya sumber daya alam (SDA) hidup miskin mengenaskan. Penduduk miskin bisa karena struktural. Kemiskinan bukan karena kesalahan diri sendiri, melainkan karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan kebijakan yang tak berpihak pada rakyat banyak.

Kekayaan alam yang melimpah masih saja berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan. Orang yang menikmati kemakmuran jumlahnya relatif sangat kecil dibanding sebagian besar warga yang hidup dalam kemiskinan dengan beban hidup yang kian berat.

Mereka yang menikmati kekayaan SDA, baik pertanian pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan kelautan, maupun pertambangan, terbatas hanya pada sekelompok orang. Kekayaan SDA itu tidak terkait nyata dengan perubahan kualitas mayoritas kehidupan rakyat. Proses pemiskinan rakyat berjalan di atas kekayaan alam negeri yang terjarah oleh kekuasaan konspiratif antara penguasa dan pengusaha.

Meski fenomena kaya-miskin adalah isu permanen yang tidak bisa dihilangkan dalam kehidupan, tingkat kesenjangannya tidak boleh terlalu besar. Menjadi ironis lagi jika penyebab kesenjangan adalah ketidakadilan yang bersumber dari kebijakan pemerintah. Contoh, biaya pendidikan yang makin mahal telah membawa konsekuensi bias karena hanya orang kaya yang mampu menikmati layanan pendidikan berkualitas.

Akibatnya, ketika jurang pemisah kaya miskin tidak bisa dijembatani pemerintah dengan menciptakan lapangan kerja, kualitas sumber daya manusia akan rapuh. Ini terlihat dari penurunan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index, HDI) Indonesia belakangan. Laporan Pembangunan Manusia setiap tahun menyebutkan bahwa peringkat pembangunan manusia Indonesia berada di urutan ke-110 dari 182 negara. Dibanding anggota ASEAN lainnya, peringkat pembangunan manusia Indonesia terus mengalami perapuhan.

Rendahnya peringkat HDI masuk akal karena ayunan pendulum proses pemiskinan menghamtam pilar HDI, yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Krisis ekonomi yang bermuara pada kian tergerusnya daya beli berdampak pada derajat kesehatan masyarakat yang makin buruk.

Obat dan alat-alat kesehatan, termasuk persediaan alat kontrasepsi, menjadi barang langka. Maka, dikhawatirkan akan terjadi baby boom diikuti lost generation karena penurunan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar akan makanan bergizi dan pendidikan anak. Kesehatan dan pendidikan terkorbankan karena pemerintah tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan yang bersih sehingga virus kontaminan koruptor bersemayam dalam tubuh sebagian pejabat pencari rente.

Ketika pundi-pundi harta para pejabat pemerintah kian bertambah, sementara rakyat justru kian menggelepar dalam kemiskinan, ini sungguh sebuah kezaliman negara dalam memperlakukan rakyatnya. Fakta menunjukkan lebih dari 100 juta penduduk negeri ini berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mereka adalah masyarakat yang berpenghasilan di bawah 2 dollar AS atau sekitar 20.000 rupiah sehari (Bank Dunia, 2009).

Pemiskinan Karakter

Dari sudut pandang keadilan dan kemakmuran, Indonesia kini berjalan dalam jalur yang amat berbahaya. Kelompok kaya semakin mendapat perlindungan negara, sementara rakyat miskin kian terpinggirkan. Indonesia kini sulit memenuhi target pembangunan Millennium Development Goals (MDGs), khususnya menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran serta jumlah kelaparan.

Pada tahun 2009, pengangguran ditargetkan 5,1 persen dari jumlah penduduk. Kenyataannya, hingga sekarang, pengangguran masih di kisaran 8,5 persen. Ini menunjukkan penyerapan tenaga kerja masih amat rendah. Diduga jumlah pengganggur kian bertambah setelah kenaikan harga BBM bulan Juni 2013.

Penurunan jumlah angka kemiskinan yang tidak sesuai target MDGs mencerminkan kegagalan pemerintah merumuskan kebijakan pembangunan nasional. Jumlah orang miskin makin membuih, dan kehidupan mereka kian terpuruk akibat kebijakan kenaikan harga BBM 44 persen.

Harga pangan terus meroket. Inilah yang menyebabkan proses pemiskinan. Ternyata pemiskinan tidak hanya terjadi dalam bidang kehidupan ekonomi, namun telah merambah ke berbagai aspek kehidupan, yakni degradasi budaya dan karakter. Pergelaran kekerasan yang belakangan ditunjukkan sekelompok orang dengan aksi brutalnya yang menuntut penutupan tempat atau rumah ibadah dari warga yang berbeda keyakinan merupakan serpihan contoh. Pemiskinan budaya di tengah kehidupan masyarakat yang plural terjadi saat masyarakat tidak mampu lagi menghargai esensi pluralitas hanya karena fanatisme agama yang sempit.

Pertanyaannya sekarang, adakah pendidikan karakater semakin berkualitas setelah 68 tahun? Materi pendidikan di sekolah mengharuskan pengembangan pengetahuan (kognisi), keterampilan, kemampuan, dan karakter (afeksi), namun para guru acap terjebak hanya mengajarkan pencapaian nilai kognisi (kecerdasan intelektual) guna mengejar target kurikulum. Nilai afeksi (kecerdasan emosional), seperti pembentukan karakter, sikap etos kerja, patriotisme, nasionalisme, dan soft skill kian terabaikan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar