|
Setiap
tahun bangsa Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Pada 17 Agustus,
tiap instansi pemerintah melakukan upacara di lapangan sebagai peringatan
kebebasan negara Republik Indonesia dari penjajah.
Begitu juga
siswa-siswa sekolah, bergemuruh memperingatinya di lapangan terbuka. Tiap-tiap
rumah terpasang bendera Merah Putih di halamannya. Kendaraan-kendaraan ikut
memasang si Merah Putih.
Rutinitas yang dilakukan bangsa Indonesia itu bertujuan mengenang hari pembebasan bangsa Indonesia secara de jure yang dilakukan oleh Bung Karno melalui pembacaan proklamasi. Seakan tidak pernah terlewatkan, hari kemerdekaan ditandai dengan seremoni formal, perlombaan (ajang kompetitif), hingga persuasi reflektif melalui pidato-pidato kemerdekaan RI.
Di desa-desa kerap dilakukan ajang perlombaan balap karung, makan kerupuk, dan ajang khas panjat pinang. Di kota-kota diadakan event-event seremonial serta event-event entertainment bernuansa Merah Putih. Semuanya itu dilakukan terus-menerus hingga Dirgahayu HUT ke-68 RI, yang jatuh pada tahun ini, 2013.
Kemerdekaan Sesungguhnya
Di sisi lain, kemerdekaan secara esensial belum terpenuhi di dalam kehidupan bernegara. Rakyat tidak mendapatkan hak otoritatif sebagai warga negara. Rakyat tidak dapat menentukan pilihan hidupnya menjadi lebih baik dan sejahtera. Kebebasan seakan harga yang mahal bagi rakyat.
Dari berbagai sisi, bangsa Indonesia belum menemukan esensi kemerdekaan. Berbagai sisi, seperti ekonomi, politik, budaya, dan agama masih karut marut. Ekonomi Indonesia sepenuhnya masih bergantung kepada perekonomian dunia di tengah-tengah kekayaan alam yang tersedia dari Sabang sampai Merauke.
Eksploitasi
alam, pemanfaatan alam, dan pengembangan sumber daya alam justru menguntungkan
pihak-pihak asing. Padahal, potensi alam yang melimpah seperti itu mampu
menciptakan kekuataan ekonomi-politik global yang dapat tumbuh mandiri di
tengah pergaulan antarnegara.
Bidang politik tidak tumbuh menjadi partisipatif bagi rakyat. Konsep perpolitikan negara tidak tertata dengan baik. Pada prinsipnya pemerintahan saat ini ingin mengusung demokrasi. Namun, indikasi prinsipnya tidak terimplementasi. Berbagai masalah kultural di tubuh kebangsaan tidak pernah tersentuh guna perbaikan.
Mentalitas
masyarakat dibiarkan infantilis. Pengetahuan dan pendidikan masyarakat tidak
dibiarkan karut marut, bahkan secara sistemik. Pesakitan di tubuh pemerintahan
semakin akut, korupsi semakin masif. Subtansi good goverment pun jauh dari
harapan. Begitu akutnya penyakit perpolitikan bangsa ini.
Budaya dan agama pun tidak dapat diharapkan untuk membenahi karut marut politik dan ekonomi tersebut. Kebudayaan bangsa justru semakin menempatkan diri pada posisi subordinat, bangsa bermental terjajah.
Hal itu
dapat terlihat dari tergerusnya berbagai aspek budaya, mulai dari aspek bahasa,
etnik, tradisi, dan lainnya. Sementara itu, mediasi moralitas di dalam
keagamaan seperti jauh api dari panggang. Kekerasan agama, konflik horizontal,
dan konflik tradisional masih saja terjadi. Padahal, bangsa ini merupakan
bangsa cukup dipandang dalam kuantitas keberagamaan.
Keberhasilan suatu pemerintahan membangun negara ditandai lewat kepemimpinan dan akademikus yang berpikir kebangsaan. Selain itu, berbagai persoalan disikapi dengan dialog, bukan dengan cara kekerasan maupun tekanan mental antarkelompok. Apabila keduanya telah terpenuhi, ketersediaan alam (modal) dapat dimanfaat sebagai langkah hegemonik berkebangsaan dan bernegara.
Penyikapannya dilakukan dengan pengembangan diri bangsa itu sendiri. Bangsa Indonesia sudah saatnya berpikir mandiri. Pada hakikatnya, kemerdekaan adalah kemandirian. Tiada kemandirian tanpa penyikapan nasionalisme (kebangsaan). Oleh karena itu, bangsa Indonesia akan mandiri apabila nasionalitas diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di berbagai sektor.
Dengan demikian, perayaan kemerdekaan seharusnya tidak hanya dilakukan seremonial dan momentum. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang tidak terjebak pada nasionalisme musiman tersebut, sebab bangsa yang merdeka menerapkan nasionalisme setiap waktu.
Kepemimpinan bangsa selayaknya menunjukkan sikap yang berpikir kebangsaan pula, bukan berpikir pada ruang lingkup kelompok semata. Pemimpinnya mengutamakan kepentingan bangsa dan kesejahteraan rakyat demi kemandirian bangsa. Akademikusnya mampu pula berpikir kebangsaan, mengutamakan kepentingan umum. Dengan adanya sikap mengutamakan bangsa, tata kelola bangsa akan lebih baik.
Upaya-upaya dialog selalu diterapkan dalam permasalahan bangsa. Hal ini tentu atas dukungan pemimpin berkebangsaan dan akademikus berkebangsaan. Dengan begitu, kehidupan yang aman dan sejahtera tidak menjadi harga yang mahal. Di sanalah terwujud potensi bangsa yang mampu berpikir masa depannya sendiri, bangsa yang merdeka.
Bangsa yang merdeka secara utuh adalah bangsa yang dapat menentukan masa depannya sendiri. Bangsa seperti itu tidak lagi menggantungkan harapan ekonomi pada negara lain, melainkan menjadi mercusuar di dalam pergaulan antarnegara. Filsuf klasik Aristoteles mengatakan, “Kebahagiaan bergantung pada diri sendiri.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar