|
PERKEMBANGAN
rancang bangun kelembagaan penyelenggara pemilu yang sudah sampai pada titik
ketika KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu diletakkan dalam
satu kesatuan fungsi penyelenggara pemilu patut diapresiasi. Desain kelembagaan
yang demikian setidaknya akan berkontribusi memperbaiki ketidakseimbangan
selama ini, bahwa salah satu lembaga menjadi subordinat bagi yang lain,
sehingga pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu sulit dilakukan secara
maksimal.
Pada saat bersamaan, format yang
demikian juga akan mendorong terciptanya sebuah mekanisme saling kontrol
antarpenyelenggara pemilu. Kesempatan KPU dan jajarannya untuk berlaku curang
akan semakin kecil karena ada pengawasan dari institusi yang ‘sama kuatnya’
dengan KPU. Begitu pula dengan Bawaslu, lembaga pengawas itu pun harus menjaga
diri agar terhindar dari tindakan tidak profesional dalam melaksanakan tugas
karena juga diawasi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Tatanan seperti itu
sengaja dibangun untuk lebih memberikan jaminan bahwa pemilu yang jujur dan
adil dapat diwujudkan.
Hanya saja, menggapai citacita
yang demikian bukan perkara gampang. Sebab, dalam posisi setara, benturan
antarpenyelenggara pemilu bukan hal yang mustahil. Penyelenggaraan dua tahapan
pemilu legislatif terakhir membuktikan betapa gesekan tajam antara KPU dan
Bawaslu nyata adanya. Kondisi tersebut tidak dapat lagi dinilai sekadar
dinamika hubungan kelembagaan semata, tetapi sudah masuk pada ranah hubungan
kelembagaan yang kurang sehat dalam penyelenggaraan pemilu.
Dikatakan kurang sehat karena
jika kondisi seperti itu terus dipertahankan, bukan tidak mungkin akan
dimanfaatkan peserta pemilu untuk mengais keuntungan politik dari buruknya
hubungan KPUBawaslu. Salah satu contoh, perseteruan antara KPU dan Bawaslu
dalam menyelesaikan persoalan daftar calon anggota legislatif sementara. Bawaslu
membatalkan keputusan KPU tentang penetapan daftar calon sementara terkait
sejumlah partai politik yang dinyatakan tidak memenuhi syarat di beberapa
daerah pemilihan. Di satu pihak, KPU berpendapat, segala keputusan yang diambil
telah didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun Bawaslu
menilai keputusan KPU tersebut sudah benar, tapi tidak adil (Kompas, 11/7),
sehingga keputusan itu pun dibatalkan.
Tidak ada perlawanan dari KPU
atas putusan Bawaslu karena undang-undang menegaskan keputusan Bawaslu bersifat
terakhir dan mengikat dalam penyelesaian sengketa pemilu. Walaupun demikian,
bukan berarti tidak ada persoalan. Sifat final keputusan Bawaslu telah
menegasikan keharusan adanya koreksi atas putusan Bawaslu. Apa pun yang diputus
Bawaslu tidak dapat dibantah. Terlepas apakah benar atau tidak, keputusan
tersebut harus dijalankan sekalipun mungkin telah menyimpang dari ketentuan
yang digunakan KPU dalam melakukan verifikasi dan penetapan calon anggota
legislatif sementara.
Tiga catatan
Pengalaman penyelenggaraan
tahapan Pemilu 2014 yang tengah berjalan setidaknya sudah meninggalkan tiga
catat an penting. Pertama, terjadi pergeseran pendulum keseimbangan hubungan
antarpenyelenggara pemilu. Desain awal kelembagaan penyelenggara pemilu yang
menempatkan KPU superior atas Bawaslu bergeser ke kondisi sebaliknya; Bawaslu
terlihat lebih superior ketimbang KPU. Setidaknya, kesan itu muncul dalam penyelesaian
sengketa pemilu yang menempatkan keputusan Bawaslu final dan mengikat.
KPU `dipaksa' melaksanakan putusan Bawaslu sekalipun putusan bersebut dalam ukuran-ukuran tertentu dapat dikatakan bermasalah.
KPU `dipaksa' melaksanakan putusan Bawaslu sekalipun putusan bersebut dalam ukuran-ukuran tertentu dapat dikatakan bermasalah.
Kedua, pada saat bersamaan,
pelaksanaan tugas setiap institusi penyelenggara pemilu masih diwarnai ego
sektoral yang destruktif. Belum didasarkan pada semangat dan kearifan untuk
mewujudkan kesuksesan pemilu sesuai asas jujur dan adil. Ego tersebut juga
terlihat dalam proses pembatalan keputusan KPU terkait dengan daftar calon
sementara yang menggugurkan partai politik di sejumlah daerah pemilihan. Dalam
hal ini, Bawaslu menilai peraturan yang digunakan KPU sebagai dasar memutus
pengguguran parpol peserta pemilu di sejumlah daerah pemilihan tidak adil bagi
caleg yang memenuhi syarat. Lalu, untuk maksud menegakkan keadilan pemilu,
Bawaslu membatalkan keputusan KPU yang dibuat sesuai peraturan KPU yang
mengatur pencalonan anggota legislatif.
Jika aturan yang hendak
dipersoalkan, mengapa sedari awal peraturan tersebut dibiarkan begitu saja?
Bagi partai-partai yang merasa diperlakukan tidak adil, kenapa tidak
mencegahnya pada saat proses konsultasi pembentukan peraturan di DPR? Untuk
Bawaslu, sudahkah proses pembentukan peraturan KPU diawasi secara benar sehingga
peraturan tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi peserta
pemilu? Membiarkan peraturan KPU yang tidak adil, lalu kemudian
mempersoalkannya pada saat dilaksanakan, bukankah hanya sebuah wujud sikap
kurang fair yang akan berdampak pada kebaikan penyelenggara pemilu?
Ketiga, keengganan menyelesaikan
masalah menurut kanal-kanal yang tersedia.
Dalam arti, apabila terdapat materi muatan peraturan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan rasa keadilan, jalan keluar bukanlah menabraknya, melainkan melakukan pengujian terhadap materi yang dianggap bermasalah. Bahkan untuk peraturan selevel peraturan KPU tersedia mekanisme pencegahan agar tidak menyimpang dari materi yang seharusnya dimuat. Yaitu, konsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum peraturan KPU ditetapkan, juga pengawasan oleh Bawaslu terhadap tahapan penyusunan peraturan pelaksana penyelenggaraan pemilu.
Dalam arti, apabila terdapat materi muatan peraturan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi atau bertentangan dengan rasa keadilan, jalan keluar bukanlah menabraknya, melainkan melakukan pengujian terhadap materi yang dianggap bermasalah. Bahkan untuk peraturan selevel peraturan KPU tersedia mekanisme pencegahan agar tidak menyimpang dari materi yang seharusnya dimuat. Yaitu, konsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum peraturan KPU ditetapkan, juga pengawasan oleh Bawaslu terhadap tahapan penyusunan peraturan pelaksana penyelenggaraan pemilu.
Pada kenyataannya, semua ingin instan.
Masalah yang terjadi hanya diselesaikan untuk jangka pendek, tetapi melupakan
dampak buruk jangka panjang dari keputusan penyelesaian masalah yang diambil.
Tiga catatan tersebut patut
segera dijawab secara bersama oleh KPU dan Bawaslu. Keseimbangan hubungan harus
segera diciptakan dengan membangun kesepahaman bersama terkait dengan
ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam menyelenggarakan tahapan pemilu.
Selain itu, kearifan untuk membangun dua lembaga dalam satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilu mestilah dibangun secara sadar oleh setiap penyelenggara
pemilu. Kiranya, hanya itulah jalan untuk segera mengakhiri dualisme
penyelenggara pemilu yang sudah ditabuh. Dengan jalan itu pula, harapan
terselenggaranya Pemilu 2014 yang jujur dan adil tetap dapat dipelihara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar