|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2013
KEKUASAAN yang dipegang Komisi Pemilihan
Umum (KPU) seakan membuat para komisionernya gelap mata. Mungkin mereka merasa
sangat powerful dan bisa menentukan
jalannya pemilu sesuai kehendak sendiri, seperti ‘kaum tiran’. Sehingga, tanpa
alasan yang jelas, KPU menyatakan empat partai politik (parpol) peserta Pemilu
2014 tidak dapat memenuhi syarat keterwakilan perempuan di daerah pemilihan
(dapil). Akibat persoalan ke terwakilan perempuan itu, KPU mencoret seluruh
kesertaan bakal calon anggota legislatif (caleg)–dari dapil yang dianggap
bermasalah--yang diusung keempat parpol tersebut.
Empat partai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat tersebut
ialah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Gerindra, dan Partai Amanat Nasional (PAN). PKPI
disebutsebut bermasalah dalam keterwakilan perempuan di dapil Jawa Barat V,
Jawa Barat VI, dan NTT I. PPP dituding bermasalah di dapil Jabar II dan Jateng
III, Partai Gerindra di dapil Jabar IX, dan PAN di dapil Sumatra Barat I.
KPU berdalih tindakan itu didasarkan pada UU Pemilu Nomor 8
Tahun 2012, yang menyatakan syarat minimal keterwakilan perempuan sebanyak 30%.
Selain itu, KPU juga punya alasan lain mencoret partai tersebut, yakni karena
penempatan nomor urut bakal caleg perempuan yang dikategorikan tidak memenuhi
syarat. Menurut KPU, dalam daftar caleg dari semua dapil, partai harus
menempatkan 30% caleg perempuannya di urutan nomor atas. Jika tidak demikian,
partai dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS).
Stempel TMS itu punya konsekuensi tidak main-main. Parpol
TMS tak lagi berkesempatan mendapat kursi pada dapil yang dianggap bermasalah
tadi. Alhasil, keputusan KPU tersebut sebenarnya telah mengakibatkan hilangnya
hak pilih sebagian warga negara Indonesia, sekalipun mereka tidak melakukan
kesalahan apa pun.
Sikap berlebihan
Padahal, menurut UU Nomor 8 Tahun 2012, akibat hukum bagi
parpol peserta pemilu yang tidak mematuhi 30% keterwakilan perempuan ialah
diumumkannya parpol yang bermasalah tersebut ke hadapan publik. Selanjutnya, UU
membuka pintu kepada publik pemilih memberi `hukuman' bagi parpol itu dengan
tidak memberikan suara dalam pemilu.
Kekisruhan kian menjadi kala KPU mengatur soal nomor urut
caleg perempuan. Menurut peraturan KPU, dari tiap tiga nomor urut, salah
satunya harus diberikan kepada caleg perempuan. Atau, kalau ada 9 orang caleg,
caleg perempuan harus berada di nomor urut 1, 2, atau 3. Kreativitas KPU
mengatur soal nomor urut caleg jelas berlebihan. KPU tidak berwenang menerapkan
aturan semacam itu.
KPU seharusnya mencermati benar ketentuan tentang
keterwakilan perempuan dan penempatan caleg perempuan pada tata nomor urut
tertentu yang diatur dalam Pasal 53, 55, dan 56 UU Nomor 8 Tahun 2012. Isi
Pasal 55 menyatakan: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53
memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan. Lalu, isi
Pasal 56 ayat 2 mene gaskan: Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1
(satu) orang perempuan bakal calon.
Dalam Penjelasan Pasal 56 (ayat 2) secara gamblang
dinyatakan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat
ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3, dan demikian seterusnya, tidak hanya
pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya.
Penggunaan kata `dapat' bermakna ketentuan tersebut tidak
wajib sehingga tidak terpenuhinya norma tersebut juga tidak dapat diberi
sanksi. Oleh karena bukan menjadi syarat kepesertaan pemilu di dapil, dan tidak
diwajibkan, sewajarnya UU Pemilu tidak mengatur atau memberikan sanksi kepada
peserta pemilu yang tidak memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan tersebut,
baik 30% maupun keberadaannya pada tata nomor urut tertentu.
KPU dapat mengumumkan partai-partai tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan keterwakilan perempuan dan penempatan caleg perempuan pada
tata urutan tertentu di dapil tertentu. Pengumuman semacam itu saja sudah
menjadi sanksi sosial. Sanksi tersebut dapat memberi efek jera karena merugikan
citra partai tersebut di kalangan kaum perempuan.
Nah, karena keterwakilan perempuan bukan syarat
kepesertaan pemilu, dan tidak ada pula sanksinya dalam UU, maka KPU tidak
mempunyai kewenangan untuk menerbitkan peraturan KPU yang menetapkan sanksi, sekaligus
melaksanakannya. Saat ini yang terjadi bukan ultra-petita, yakni KPU memutuskan sesuatu yang melebihi
otoritasnya, melainkan KPU tidak berwenang sama sekali membuat aturan
dan memberikan sanksi tersebut.
Ada
ketidakadilan
Sejak pembahasan RUU Pemilu telah muncul suasana kebatinan
(original intent) untuk tidak memberi
sanksi bila keterwakilan perempuan tidak terpenuhi. Bagaimanapun, menjadi caleg
adalah hak asasi dan pilihan yang tidak dapat dipaksakan kepada siapa pun,
termasuk kepada kaum perempuan, sehingga tidak dapat pula dikenakan sanksi
kepada partai.
Kalau begini, KPU sudah mendorong ketidakadilan. Sebab,
upaya memperkuat posisi politik perempuan mereka lakukan dengan risiko
membatalkan keikutsertaan seseorang yang kebetulan berada di daerah pemilihan
yang keterwakilan perempuannya tidak mencapai 30%. Sementara, hak dipilih dalam
pemilu merupakan hak konstitusional yang juga wajib dihormati dan dilindungi.
Semakin jelas bahwa KPU bertindak melebihi kewenangannya
dan sekaligus sewenangwenang. Tugas dan wewenang KPU sudah terang benderang,
terutama hanya merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan pemilu. Selain itu,
KPU bertugas dan berwenang menerima, meneliti, dan menetapkan partai-partai
politik yang berhak ikut sebagai peserta pemilu. Berbagai pasal dalam Peraturan
KPU Nomor 7 Tahun 2013 terlihat melebih batas yang diatur UU Pemilu. KPU jelas
keliru dalam menafsirkan norma hukum yang terdapat dalam UU No 8 Tahun 2012. Malah
tidak mengherankan jika ada yang menilai, sewaktu menyusun peraturan itu, KPU
cenderung telah menyelundupkan norma hukum baru yang tidak ditemukan dalam UU
No 8/2012.
Jika KPU berkeras menjalankan sanksi pencoretan, itu jelas
bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Sebagai
peraturan pelaksana, apa yang diatur di dalam peraturan KPU tersebut
jelas-jelas berbeda dengan yang sudah tertulis dalam UU. Tidak ada satu pasal
pun di UU yang memberikan kewenangan bagi KPU untuk mencoret bakal caleg karena
alasan yang tidak diperbuat oleh bakal caleg bersangkutan.
Perilaku KPU yang seperti itu hanya akan memancing
perlawanan kalangan parpol sehingga kekacauan jelang pemilu akan kembali
terulang. Mestinya, kalaupun ada syarat yang belum terpenuhi oleh partai dan
bakal calegnya, KPU harus terus mengingatkan dengan komunikasi yang baik dan
bukan asal coret. Tindakan KPU yang asal mencoret bakal caleg jelas melanggar
asas umum pemerintahan yang baik maupun asas audi et alteram partem (hak
untuk didengar terlebih dahulu). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar