Sabtu, 06 Juli 2013

Krisis Mesir dan Nasib Islamis

Krisis Mesir dan Nasib Islamis
Azis Anwar Fachrudin ;  Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (FSAI),
Pengajar PP Nurul Ummah, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Juli 2013


MESIR memanas kembali. Mesir sudah terbelah tajam sejak Muhammad Mursi menduduki takhta kepresidenan. Friksi politik Mesir mencapai puncak ketegangannya pada Ahad (30/6), tepat setahun masa jabatan Presiden Mursi. Jutaan massa, antara pendukung Mursi dan oposisi, bentrok di Alun-Alun Tahrir.

Dikabarkan, gelombang protes kali ini yang terbesar dalam sejarah Mesir--lebih besar daripada Revolusi 25 Januari. Gerakan protes itu terencana rapi. Disebut dengan tamarod (pemberontakan). Juru bicara gerakan tamarod Mahmud Badr mengklaim telah mengumpulkan lebih dari 22 juta tanda tangan (petisi) menentang Mursi. Itu jumlah yang melebihi jumlah pemilih Mursi pada pemilu tahun lalu yang mencapai 13,23 juta.

Hingga artikel ini ditulis, kubu Mursi masih kukuh bertahan. Mursi dan pendukungnya menolak memenuhi tuntutan tamarod yang melantangkan suara irhal... irhal (pergilah, hengkanglah!).

Dalam wawancaranya dengan the Guardian, Mursi menyatakan secara implicit bahwa ia ingin mempertahankan legitimasi pemerintahan. Menurutnya, jika tuntutan tamarod dipenuhi, itu bisa jadi preseden sejarah kelam bahwa setiap presiden akan mudah terancam lengser. Argumen itu masuk akal.

Mursi ingin menjaga wibawa pemerintahan. Kubu pendukung Mursi pun berulangulang menekankan bahwa jika pemilu digelar lagi dan yang jadi presiden bukan dari kalangan islamis, misalnya, tiada jaminan negara akan lebih aman.

Bila tiap presiden yang terpilih melalui pemilu demokratis dilengserkan dengan protes, imbas ke depannya minimal ada dua. Pertama, pemilu tak punya legitimasi, sebab tiap hasilnya selalu diprotes. Kedua, negara semakin dilanda chaos sebab friksi islamis-sekuler ini bukannya mereda, justru makin menegang.

Betapapun, fakta besarnya pemberontakan ini tak bisa dikesampingkan. Ikhwanul Muslimin (IM) mencatat sejarah baru di Mesir: tertimpa kemarahan besar dari begitu banyak elemen rakyatnya. Itu tak dialami Gamal Abdel Nasser Hussein, Anwar El Sadat, dan Muhammad Hosni El Sayed Mubarak. IM dulu mendapat banyak simpati karena sikap oposannya. Kini IM dan kaum islamis lainnya menjadi k musuh bersama.

Pemberontakan ini memang diduga dipropagandakan politikus-oposan yang tidak terima dengan hasil pemilu lalu. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Besarnya gerakan pemberontakan ini lebih mencerminkan begitu tajamnya polarisasi sosial-politik di tubuh masyarakat Mesir.

Tajamnya polarisasi itu, misalnya, sangat tampak dari penggunaan retorika untuk menuduh lawan politiknya. Sementara liberal menuduh kaum islamis tak mengerti dasar-dasar negara demokrasi modern, kaum islamis menjatuhkan vonis bahwa yang melawan mereka berarti anti-Islam, mode penghalusan dari `kafir'. Benturan truth-claim semacam itu mempertajam friksi sosial.

Problem Otoriterisme

Persoalan mendasar yang terjadi pada para tiran Arab sebenarnya bukan pada lamanya mereka menduduki takhta, melainkan seberapa besar kuasa yang dipunya. Inilah yang kini terulang pada rezim IM; lack of power sharing.

Revolusi 25 Januari menandakan gejolak psikis, rakyat Mesir tidak sabar menghadapi otoriterisme yang hanya berganti baju (islamisme). Kaum islamis dominan di parlemen bahkan hendak mengeruk semua institusi yang mestinya berguna demi prinsip check and balances ala demokrasi. Setahun perjalanan pemerintahan Mursi dipenuhi dengan pertarungan politis antara islamis dan dengan pertarungan politis antara islamis dan sekularis-militer.

Yang disayangkan, dalam setiap pertarungan itu, kaum islamis selalu menutup pintu negosiasi (ingat dekrit Mursi akhir tahun lalu). Akibatnya, terjadilah kebuntuan saluran politik oposisi. Islamisme Mesir, setelah berhasil me lenggang ke kursi kuasa, memainkan manuver politik sang pemenang meraup semua (the winner takes all).

Ini menjadi pelajaran pertama bagi kaum islamis agar mengenyahkan watak otoriterisme dalam ideologi islamisme itu sendiri. Gerakan pemberontakan itu bisa diibaratkan semprotan aliran yang kencangnya seirama dengan kerasnya sumbatan politik yang diperbuat IM dan pendukungnya.

Kaum islamis perlu menyadari bahwa dalam sistem demokrasi, ia harus mampu koeksis dengan oposisinya, bukan malah menumpas dan menyumbat saluran politiknya. Beberapa analis menyebutkan, salah satu gejolak psikis yang menyebabkan sikap otoriterisme IM itu ialah besarnya rasa kerentanan akan perbedaan pendapat yang menjadi keniscayaan demokrasi.

Kita tahu, Mursi adalah wakil pertama kalinya dari kaum islamis yang menduduki takhta kepresidenan Mesir. Mereka belum punya pengalaman. Bisa dikatakan, mereka `gagap' dengan `liarnya' demokrasi modern. Gejolak psikis semacam itu menyebabkan kaum islamis begitu khawatir pada serangan dari mereka yang dianggap `kafir'. Gejolak psikis tersebut mengejawantah pada retorika para loyalis IM yang, kalau tidak menyalahkan oposisi sebagai penentang Islam, mengarahkan kesalahan pada antek asing, alias ada konspirasi.

Krisis politik Mesir kali ini mestinya bisa menjadi pelajaran bagi kaum islamis untuk lebih terbuka. Demokrasi di Mesir masih bayi, dan mereka belum jadi negara new-democracy. Mesir adalah negara democracy-inprogress.


Peristiwa tamarod ini selayaknya menjadi pengingat bagi pemerintahan islamis di kemudian hari, seandainya Presiden Mursi bersedia mengadakan pemilu lagi. Di atas segalanya, Mursi kali ini bisa terjebak dilema. Mursi mesti hati-hati sebab di balik gerakan protes ada kelompok militer yang mengintip, dan menunggu kesempatan untuk keluar dengan jemawa. Krisis Mesir kali ini tak mudah diatasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar