|
MEDIA
INDONESIA, 04 Juli 2013
MESIR memanas kembali. Mesir sudah
terbelah tajam sejak Muhammad Mursi menduduki takhta kepresidenan. Friksi
politik Mesir mencapai puncak ketegangannya pada Ahad (30/6), tepat setahun
masa jabatan Presiden Mursi. Jutaan massa, antara pendukung Mursi dan oposisi,
bentrok di Alun-Alun Tahrir.
Dikabarkan, gelombang protes kali ini yang terbesar dalam
sejarah Mesir--lebih besar daripada Revolusi 25 Januari. Gerakan protes itu
terencana rapi. Disebut dengan tamarod (pemberontakan). Juru bicara gerakan
tamarod Mahmud Badr mengklaim telah mengumpulkan lebih dari 22 juta tanda
tangan (petisi) menentang Mursi. Itu jumlah yang melebihi jumlah pemilih Mursi
pada pemilu tahun lalu yang mencapai 13,23 juta.
Hingga artikel ini ditulis, kubu Mursi masih kukuh
bertahan. Mursi dan pendukungnya menolak memenuhi tuntutan tamarod yang melantangkan suara irhal...
irhal (pergilah, hengkanglah!).
Dalam wawancaranya dengan the Guardian, Mursi menyatakan
secara implicit bahwa ia ingin mempertahankan legitimasi pemerintahan. Menurutnya,
jika tuntutan tamarod dipenuhi, itu bisa jadi preseden sejarah kelam bahwa
setiap presiden akan mudah terancam lengser. Argumen itu masuk akal.
Mursi ingin menjaga wibawa pemerintahan. Kubu pendukung
Mursi pun berulangulang menekankan bahwa jika pemilu digelar lagi dan yang jadi
presiden bukan dari kalangan islamis, misalnya, tiada jaminan negara akan lebih
aman.
Bila tiap presiden yang terpilih melalui pemilu demokratis
dilengserkan dengan protes, imbas ke depannya minimal ada dua. Pertama, pemilu
tak punya legitimasi, sebab tiap hasilnya selalu diprotes. Kedua, negara
semakin dilanda chaos sebab friksi
islamis-sekuler ini bukannya mereda, justru makin menegang.
Betapapun, fakta besarnya pemberontakan ini tak bisa
dikesampingkan. Ikhwanul Muslimin (IM) mencatat sejarah baru di Mesir: tertimpa
kemarahan besar dari begitu banyak elemen rakyatnya. Itu tak dialami Gamal
Abdel Nasser Hussein, Anwar El Sadat, dan Muhammad Hosni El Sayed Mubarak. IM
dulu mendapat banyak simpati karena sikap oposannya. Kini IM dan kaum islamis
lainnya menjadi k musuh bersama.
Pemberontakan ini memang diduga dipropagandakan
politikus-oposan yang tidak terima dengan hasil pemilu lalu. Namun,
persoalannya tidak sesederhana itu. Besarnya gerakan pemberontakan ini lebih
mencerminkan begitu tajamnya polarisasi sosial-politik di tubuh masyarakat
Mesir.
Tajamnya polarisasi itu, misalnya, sangat tampak dari
penggunaan retorika untuk menuduh lawan politiknya. Sementara liberal menuduh
kaum islamis tak mengerti dasar-dasar negara demokrasi modern, kaum islamis
menjatuhkan vonis bahwa yang melawan mereka berarti anti-Islam, mode
penghalusan dari `kafir'. Benturan truth-claim
semacam itu mempertajam friksi sosial.
Problem
Otoriterisme
Persoalan mendasar yang terjadi pada para tiran Arab
sebenarnya bukan pada lamanya mereka menduduki takhta, melainkan seberapa besar
kuasa yang dipunya. Inilah yang kini terulang pada rezim IM; lack of power sharing.
Revolusi 25 Januari menandakan gejolak psikis, rakyat Mesir
tidak sabar menghadapi otoriterisme yang hanya berganti baju (islamisme). Kaum
islamis dominan di parlemen bahkan hendak mengeruk semua institusi yang
mestinya berguna demi prinsip check and
balances ala demokrasi. Setahun perjalanan pemerintahan Mursi dipenuhi
dengan pertarungan politis antara islamis dan dengan pertarungan politis antara
islamis dan sekularis-militer.
Yang disayangkan, dalam setiap pertarungan itu, kaum
islamis selalu menutup pintu negosiasi (ingat dekrit Mursi akhir tahun lalu).
Akibatnya, terjadilah kebuntuan saluran politik oposisi. Islamisme Mesir,
setelah berhasil me lenggang ke kursi kuasa, memainkan manuver politik sang
pemenang meraup semua (the winner takes
all).
Ini menjadi pelajaran pertama bagi kaum islamis agar
mengenyahkan watak otoriterisme dalam ideologi islamisme itu sendiri. Gerakan
pemberontakan itu bisa diibaratkan semprotan aliran yang kencangnya seirama
dengan kerasnya sumbatan politik yang diperbuat IM dan pendukungnya.
Kaum islamis perlu menyadari bahwa dalam sistem demokrasi,
ia harus mampu koeksis dengan oposisinya, bukan malah menumpas dan menyumbat
saluran politiknya. Beberapa analis menyebutkan, salah satu gejolak psikis yang
menyebabkan sikap otoriterisme IM itu ialah besarnya rasa kerentanan akan
perbedaan pendapat yang menjadi keniscayaan demokrasi.
Kita tahu, Mursi adalah wakil pertama kalinya dari kaum
islamis yang menduduki takhta kepresidenan Mesir. Mereka belum punya
pengalaman. Bisa dikatakan, mereka `gagap' dengan `liarnya' demokrasi modern.
Gejolak psikis semacam itu menyebabkan kaum islamis begitu khawatir pada
serangan dari mereka yang dianggap `kafir'. Gejolak psikis tersebut mengejawantah
pada retorika para loyalis IM yang, kalau tidak menyalahkan oposisi sebagai
penentang Islam, mengarahkan kesalahan pada antek asing, alias ada konspirasi.
Krisis politik Mesir kali ini mestinya bisa menjadi
pelajaran bagi kaum islamis untuk lebih terbuka. Demokrasi di Mesir masih bayi,
dan mereka belum jadi negara new-democracy.
Mesir adalah negara democracy-inprogress.
Peristiwa tamarod
ini selayaknya menjadi pengingat bagi pemerintahan islamis di kemudian hari,
seandainya Presiden Mursi bersedia mengadakan pemilu lagi. Di atas segalanya,
Mursi kali ini bisa terjebak dilema. Mursi mesti hati-hati sebab di balik
gerakan protes ada kelompok militer yang mengintip, dan menunggu kesempatan
untuk keluar dengan jemawa. Krisis
Mesir kali ini tak mudah diatasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar